Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out


IKU AKU LAGI MIMPIN HADAD LAN ATTAS

read more


OJOK PELOTOTI YO IKI AREK AREK UKM RADIO KU...

read more
INI FOTO WAKTU GW PKL IN BLITAR

read more

IMPLEMENTASI STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN

BAB I PENDAHULUAN

Konsep pemikiran dan operasionalisasi menejemen pendidikan terpadu akan banyak ditentukan oleh tujuan dan arah keterpaduan, yang menyatakan bahwa arah pendidikan di Pondok Pesantren saat ini adalah dalam pembinaan IMTAQ, IPTEK dan Skill fungsional atas dasar kebutuhan. Keterpaduan akan ditekankan dalam menata manajemen dan implementasinya yang untuk saat ini harus dimiliki oleh lembaga pendidikan pesantren dengan strategi pengembangan pendidikan yang telah dirumuskan.

Atas dasar beberapa pemikiran di atas, pembahasan kita berfokus pada masalah Implementasi dari stategi pendidikan pesantren. Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan, maupun nilai, dan sikap.[1]

Pada akhirnya akan membentuk pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok serta, sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan.

Di samping itu, sistem pendidikan pesantren melestarikan ciri-ciri khas dalam interaksi sosialnya, yaitu: 1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan Kyai serta taat dan hormatnya para santri kepada Kyai yang merupakan figur kharismatik dan menjadi contoh yang baik; 2) Semangat menolong diri sendiri dan mencintai diri sendiri dengan kewiraswastaannya; 3) Jiwa dan sikap tolong-menolong, kesetiakawanan, dan suasana kebersamaan dan persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren; 4) Disiplin waktu dalam melaksanakan pendidikan dan beribadah; 5) Hidup hemat dan sederhana; 6) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan, seperti tirakat, shalat tahajud diwaktu malam, i’tikaf di masjid untuk merenungkan kebesaran dan kesucian Allah SWT) Merintis sikap jujur dalam setiap ucapan dan perbuatan.


BAB II PEMBAHASAN


A. Pengembangan progam


Ketika arus global sudah merambah masyarakat secara menyeluruh, pendidikan pesantren dituntut menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap, sehingga saat ini banyak pesantren selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.[2]

Dalam pengembangan program pendidikan di pesantren ada hal-hal yang harus di perhatikan oleh pengelola pesantren, yaitu, munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para ustadz pembimbing.

Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para ustadz. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua sebagaimana pesantren.[3]

Pengembangan progam pendidikan meliputi program jangka pendek. Tahun ke-1 sampai ke-3, menengah. Tahun ke-4 sampai ke-6, dan jangka panjang. Tahun ke-7 sampai ke-10. dalam implementasinya program tersebut bisa di jelaskan sebagai berikut:

1. Kurikulum

a) Jangka pendek. Yaitu, Penerapan kurikulum dengan prosentase yang proposional, yaitu 80 persen disusun oleh pusat, dan 20 persen di susun di tingkat daerah atau disesuaikan dengan muatan lokal.

b) Jangka menengah. Yaitu pesantren atau sekolah memiliki kelenturan dalam menentukan waktu serta pesantren bisa merubah beberapa pelajaran yang diangap penting

c) Jangka panjang. Yaitu pembentukan standart inti kompetisi untuk menjaga kualitas pendidikan dan menngfokuskan semua pelajaran untuk menjaga kesatuan bangsa dan negara

2. sarana dan prasarana.

a) Pengadaan sarana dan prasarana ditentukan dengan kebutuhan yang ada di pesantren atas kerjasama antara pesantren dan pemerintah, baik pusat maupun daerah

3. tenaga pendidikan.

a) kepala sekolah atau pengelola pesantren

Ø pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip kependidikan secara umum secara bertahap.

Ø Memiliki keluasan dalam pengelolaan manajemen pesantren.

Ø Memiliki kemandirian serta kebijakan yang luas, jauh dari intervensi

b) ustadz atau asatidz

Ø seleksi yang disesuaikan dengan kemampuan ustadz yang mengikuti standart pemerintah dan pesantren

Ø pengangkatan dan penempatan

Ø penghargaan

c) pengawas atau komite pesantren

Ø pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip pendidikan dan kepengawasan

Ø menumbuhkan profesionalitas pengawasan[4]

B. Pengembangan Anggaran


Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas 2003. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.[5]

Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Dalam implementasi angaran pesantren hal yang paling mendasar adalah memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

a) Dana pembangunan, pengeluaran dana ini diatur dan digunakan untuk pembangunan dan pembenahan sarana fisik lembaga, dana ini di sesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah ustadz serta peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut.[6]

b) Dana rutin, dana rutin adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional satu tahun anggaran. Dana rutin pengunaanya meliputi pelaksanaan progam belajar mengajar, pembayaran gaji ustadz maupun personil, serta pemeliharaan dan perawatan sarana prasarana lembaga pendidikan.

Dari kedua prinsip ini dapat di jabarkan sebagai berikut:
Membangun unit belajar/ruang kelas baru berikut sarana – prasarananya termasuk sarana olahraga, yang ditempuh baik melalui anggaran pemerintah (pusat dan daerah) maupun melalui pemberdayaan pertisipasi masyarakat dengan pengelolaan yang efisien dan kontrol yang semakin ketat.
Mengembangkan model –model alternatif layanan pendidikan yang efisien dan relevan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung, baik kerena persoalan ketidakmampuan biaya maupun persoalan konflik sosial politik, untuk selanjutya dioperasionalkan oleh pengelola pendidikan daerah.
Memberikan beasiswa kepada keluarga miskin dan kepada siswa yang berprestasi dan bagi siswa yang secara sosial ekonomis tidak beruntung, yang bersumber dari pemerintah dan/atau masyarakat dengan memperhatikan prinsip pemberdayaan, kesempatan, pemerataan dan keadilan.
berkerjasama denga lembaga-lembaga lain. Baik negeri maupun swasta dalam bentuk imbal swadaya, sehingga lebih berdaya dalam mengelola pendidikan serta memacu partisipasi yang semakin meluas dari instansi lainnya.[7]

C. Prosedur

Dalam implementasinya pengembangan pendidikan pesantren harus mengacu pada UU yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.

Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.

Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

untuk sampai pada kemampuan mengatur penyelenggaraan dan pendidikan dengan baik di setiap satuan pendidikan tidak terkecuali pesantren diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ” capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur . Ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk kegiatan tersebut . Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap tersebut adalah, Tahap Pra format, ialah tahap dimana satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya. Tahap Formalitas, ialah pesantren yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi ustadz, juimlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta jumlah kualitas pendidikan lainnya. Dengan capasity building pesantren dapat meningkatkan kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transisional. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah umum yang telah ada dan dikorelasikan dengan pendidikan pesantren, terutama menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah. Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan kreativitan ustadz , pendayagunaan perpustakaan, sekolah secara optimal.Tahap otonomi, pada tahap ini dapat dikatakan pesantren sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu. Satuan pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.[8] Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:

1. Melaksanakan program menjadi merumuskan/melaksanakan program.

2. Keputusan terpusat menjadi keputusan bersama/partisipatif.

3. Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak fleksibel.

4. Sentralistik menjadi desentralistik.

5. Individual menjadi kerjasama

6. Basis birokratik menjadi basis profesional

7. Diatur menjadi mandiri

8. Malregulasi menjadi deregulasi

9. Informasi terbatas menjadi informasi terbuka

10. Boros menjadi efisien

11. Pendelegasian menjadi pemberdayaan

12. Organisasi vertical menjadi organisasi horizontal


D. Studi Kasus


studi kasus ini dilakukan di Pondok Pesantren Putra-Putri an-Nahdliyah di jalan raya karangploso, kepuharjo Malang. Bentuk dari pesantren ini adalah pesantren kholaf yang mengabungkan antara model pendidikan pesantren klasik dan modern.

1. Sejarah Berdirinya

Pondok Pesantren an-Nahdliyah didirikan oleh Yayasan sunan kalijogo tahun 1988. Sebelum mendirikan pesantren, yayasan sudah memiliki sejumlah kegiatan, antara lain mendirikan pengajian di Masjid kampung-kampung, Selain itu yayasan juga memiliki majelis taklim, Studi Islam, yayasan kemudian mendirikan panti asuhan untuk menampung anak yatim piatu dan anak dari orang tua tidak mampu. Selain itu, mereka membangun gedung sekolah yang diproyeksikan untuk menampung anak-anak yatim piatu tersebut. Pada perkembangan berikutnya, gedung sekolah itu menjadi cikal bakal Pondok Pesantren an-Nahdliyah.

diketuai KH M manshur, Pesantren tersebut dalam perkembangannya maju pesat, sehingga dibangunlah asrama untuk menampung santri.. semua amal usaha berada di bawah pengelolaan Yayasan sunan kalijogo. Yayasan berfungsi sebagai induk, sedangkan amal usaha sebagai pelaksana kegiatan. Yayasan tak ubahnya dengan organisasi papan nama, sehingga amal usaha yang ada berjalan sendiri-sendiri. Karena mereka memiliki otonomi penuh dari yayasan.

2. Kondisi Santri dan Ustadz/Guru

Pondok Pesantren mekanisme kerjanya diatur oleh yayasan. Pondok ini memiliki pengasuh pesantren. Di bawah pengasuh terdapat kepala-kepala sekolah, ketua-ketua seksi, wali kelas, pembina, dewan guru, dan OPPA (Organisasi Pelajar Pesantren an-Nahdliyah). Pengasuh pesantren berperan sebagai penanggung jawab umum, yang membawahi kepala-kepala sekolah, sekretaris, bendahara dan seluruh seksi. Pengurus ini setiap bulan melakukan pertemuan sekali untuk mengevaluasi hasil kerja, melakukan perbaikan, memecahkan kasus dan berbagai persoalan.

3. Penyelenggaraan Pendidikan

Pondok Pesantren An-Nahdliyah menyelenggarakan pendidikan secara variatif. Disamping menyelenggarakan pendidikan pesantren juga menyelenggarakan pendidikan sekolah, antara lain : Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah. Dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah tersebut pesantren mengacu pada kurikulum Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Namun kepada siswa juga diberlakukan kurikulum pesantren dan kegiatan ekstra kurikuler. Secara umum kurikulum dari pemerintah, meliputi :

a) Pendidikan agama meliputi akidah, akhlak, fiqih, Qur’an, hadits, dan sejarah kebudayaan Islam.

b) PPKN

c) Bahasa Indonesia

d) Bahasa Inggris

e) Bahasa Arab

f) Ilmu Pengetahuan Alam

g) Ilmu Pengetahuan Sosial

h) Matematika

Sedangkan kurikulum Pondok Pesantren meliputi : Al-Qur’an dan Tajwid, Tafsir- ilmu Tafsir, Hadits dan ilmu Hadits, Tauhid, Fiqih dan Ushul Fiqih, Akhlak, Siroh dan Sejarah Islam dan Tsaqofah (Peradaban Islam).

Sementara itu, kegiatan ekstra kurikuler meliputi pendidikan jasmani dan kesehatan, olahraga, komputer, tata boga, menjahit, kesenian (qasidah dan drumb band) dan muhadhoroh (latihan pidato tiga bahasa). Kegiatan santri Pondok Pesantren dimulai dari pukul 04.00 pagi. Mereka bangun tidur, kemudian menjalankan shalat subuh di masjid. Setelah selesai mengikuti pengajian Al-Quran secara kolektif di bawah bimbingan seorang ustadz/ustadzah atau salah seorang santri senior yang di anggap memiliki kecakapan membaca kalam Allahi ini. Bimbingan baca Al-qur’an berlangsung selama kurang lebih 15 menit dan setelah itu disambung dengan kegiatan kebersihan umum di lingkungan komplek pesantren dengan pembagian tugas berdasarkan kelompok kerja. Kegiatan ini berlangsung kira-kira 10 sampai 15 menit. Selesai kerja bakti seluruh santri menuju kamar mandi dengan air yang sudah tersedia di kolam atau melalui keran-keran yang dialirkan dari bak penampungan yang cukup besar. Aktivitas ini dilanjutkan dengan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah dengan terlebih dahulu sarapan pagi.

Pondok Pesantren an-Nahdliyah dari tahun ketahun semakin berkembang dan kredibilitasnya terus meningkat di mata masyarakat. Hal ini terbukti baik secara kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas banyak lulusan di terima masuk ke berbagai perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, bahkan ada yang memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Sedangkan secara kuantitas jumlah santri terus bertambah dari tahun ke tahun.

Meningkatnya prestasi akademik dan makin bertambahnya jumlah santri di dukung beberapa faktor. Pertama, implementasi dari progam-progam yang terencana dengan baik, sarana dan prasarana yang dimiliki pesantren cukup lengkap. Kedua, proses pengelolaan sosialisasi keberadaan pesantren yang dilakukan secara gencar melalui media elektronika, media massa maupun dengan memperkenalkan produk pesantren melalui penampilan drumb band, kebolehan santri tampil berpidato dan berceramah pada bulan Ramadhan, seni qasidah dan pidato tiga bahasa yang disiarkan secara luas di Televisi.



BAB III SIMPULAN

pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, melainkan lembaga sosial yang hidup. Supaya pesantren betul-betul bisa menapaki tangga menuju cita-cita mulia itu, memerlukan beberapa langkah yang antara lain: 1) Penyelenggaraan program pendidikan pesantren yang lebih bercorak sosial, tanpa meninggalkan corak keagamaan. 2) Memberikan kesempatan pada para santri untuk memperoleh pengalaman-pengalaman kemasyarakatan dan sekaligus memanfaatkan mereka bagi pekerjaan-pekerjaan kemasyarakatan. 3) Pesantren hendaknya menjadi pusat penerang pemikiran baru keagamaan dan memperkenalkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru bagi usaha membangun dan memodernisir masyarakat. 4) Memanfaatkan semaksimal mungkin sumbangan pihak luar, pemerintah atau instansi, sehingga dampaknya dapat dirasakan masyarakat luas. 5) Proyek bersama antar pesantren dan madrasah agar dapat maju bersama dengan pekerjaan dan identitas masing-masing. 6) Mencari kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi atau tempat dan usaha lain untuk latihan kerja dan pendidikan kejujuran.

read more

Dilema Pesantren: Mempertahankan Tradisi V Menghadapi Modernitas

Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada lembaga pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya “masyarakat informasi” (the informational society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan teknologi tinggi (high-tech), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya sehingga pesantren dituntut dapat menunjukkan eksistensinya dapat diakui oleh pihak manapun.

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren ‘dipaksa’ memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put pendidikan. Kompetisi yang semakin ketat itu, memosisikan lembaga pesantren untuk senantiasa dapat mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, khususnya umat Islam. Ini menunjukkan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya dengan tetap memperhatikan misi awal pesantren itu sendiri.

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Misalnya, mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga administrasi, guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimal disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya (Karel Steenbrink, 1994, 167), tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) dapat lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern (baca: sesuai dengan kebutuhan). Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman (baca: kuno), maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah semua yang berwatak lama itu kurang baik?

Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang ada di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perpaduan antara teologi As’ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Senada dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata ‘adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140).

Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Pendapat ini sebanrnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, “al-Muhafadhah ‘ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah” (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan teknologi. Oleh Sebab itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan sebuah pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang semakin kompetitif.

Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, dapat sejalan dengan watak asli dari kultur pesantren.

read more

pendidikan pesantren via Gender

TEMPO Interaktif, Jember:Sebagai sebuah entitas pendidikan Islam tertua, hingga kini pondok pesantren masih bersifat bias gender dan diskriminatif. Dalam konsep maupun praktek, pendidikan yang dijalankan masih menganut sistem patrilinial.

Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, KH. Hussein Muhammad dan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Widyastuti Purbani mengemukakan hal itu dalam acara "Pelatihan Penguatan Hak-hak Perempuan Berperspektif Islam untuk Guru dan
Pengasuh Pesantren", di Pesantren Nurul Islam, Jember, Jum'at (11/02).

"Secara umum, kondisi di pesantren, dalam hal konsep misalnya penafsiran ayat Al Qur'an maupun Hadits, serta model-model pengajaran yang menempatkan santri putri dalam posisi di bawah alias terhegemoni. Ini harus diakui, dan perlu dibenahi," kata Hussein.

Salah satu faktor penting yang mesti diubah adalah faktor kepemimpinan di dalam pesantren. Mereka, kata Husein, semestinya menjadi pilar utama untuk menghapus diskriminasi itu. Karena salah satu kelemahan pesantren, terutama yang tradisional, adalah aspek kepemimpinan yang sentralistik, yang berpusat pada kiai. "Pesantren tak ubahnya sebuah kerajaan kecil. Kiai memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan pesantren yang nyaris mutlak, (dan) seolah representasi
Tuhan," ujarnya.

Widyastuti menambahkan, upaya pengenalan sekaligus pengajaran kurikulum pendidikan berbasis gender, mestinya tidak hanya dilakukan di pesantren putri saja. "Karena persoalan gender bukan persoalan perempuan semata. Bahkan beberapa masalah berawal dari laki-laki," ucapnya.

read more

lembaga pondok pesantren

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.

Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah 1999:149). Selanjutnya, pondok pesantren berperan dalam era kebangkitan Islam di Indonesia yang menurut Prof. Azyumardi Azra telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini. Akhirnya, pada awal abad ke-21 ini, dalam konteks peran Amerika Serikat melawan terorisme dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali1, pondok pesantren dituding memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Tuduhan tersebut adalah hal yang sangat serius bagi lembaga-lembaga pondok pesantren di Indonesia, terutama pada saat ini ketika Amerika Serikat dan sekutunya sedang mencari dan mencoba menebak tindakan berikut jaringan teroris yang ternyata sudah muncul di Indonesia.

Stigma ‘sarang teroris’ yang belakangan ini melekat pada pondok pesantren di Indonesia berdasarkan dari proses pencarian dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali. Ada dua hal utama dari investigasi peledakan bom di Bali tersebut yang penting dalam tuduhan pondok pesantren ini. Pertama, penangkapan Kyai Abubakar Basyir yang dituduh berkaitan dengan kepemimpinan jaringan teroris Jemaah Islamiyah (JI) di Indonesia dan Asia Tenggara. Kedua, penangkapan dan pengakuan tiga orang saudara dari pondok pesantren di desa Tenggulun, Jawa Timur yang merencanakan dan melakukan peledakan bom di Bali. Ini berarti bahwa memang ada kaitan di antara pondok pesantren di Indonesia dan jaringan teroris internasional.

Masalahnya muncul karena bukti ini harus dilihat dengan sikap proporsional. Walaupun beberapa pondok pesantren dituduh berkaitan dengan jaringan teroris internasional dan tindakan ekstrim, itu tidak berarti bahwa semua pondok pesantren menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan bagaimana posisi pondok pesantren terhadap proses penyebaran ajaran Islam ekstrim di Indonesia, perlu didefinisikan dulu, apa maksud dari ekstrim?

Pada umumnya, sesuatu yang ekstrim adalah sesuatu yang kurang seimbang. Sesuatu yang luar biasa, yang kelebihan, dan yang di luar nilai-nilai umum. Misalnya olahraga ekstrim, bahasa ekstrim atau cuaca ekstrim. Dalam konteks agama, tindakan ekstrim termasuk tindakan yang mendorong kekerasan misalnya: teroris yang meledakkan bom dengan tujuan membunuh diri dan sebanyak mungkin orang lain. Maupun pendapat (atau ajaran) ekstrim adalah pendapat yang tertutup dan bersikap kurang toleran terhadap agama atau kepercayaan lain. Bisa dikatakan juga bahwa banyak ajaran ekstrim menolak kemajuan teknologi dan modernisme di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang mengancam kesucian masyarakat.

Maka ada tiga sifat yang harus dimiliki untuk menentukan kalau ajaran itu ajaran ekstrim. Yaitu: mendorong tindakan keras, memiliki pikiran yang tertutup dan kurang toleran, dan memiliki sikap melawan modernisme.


Tujuan Penelitian:
Menurut Singelton dan Straits (1999:322), tujuan studi lapangan adalah untuk: sungguh paham apa yang obyek studinya berpikir dan apa yang mereka lakukan; untuk mengerti apa yang mereka mengerti; dan untuk benar-benar memperdalam budaya mereka. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk membuat gambaran deskriptif mengenai pondok pesantren Darur Ridwan, Parangharjo, Banyuwangi, Jawa Timur. Saya berharap laporan ini bermanfaat sebagai pengantar dunia pesantren yang sampai sekarang masih belum diketahui dan dipahami masyarakat secara umum di negara-negara Barat.

Dalam penelitian ini, saya ingin menjawab pertanyaan berikut ini: Siapa bersekolah di pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa mereka memilih pendidikan agama? Siapa pemimpin pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa dia mendirikan pondok pesantren Darur Ridwan? Apa yang diajar di pondok pesantren Darur Ridwan? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya berharap saya bisa menjawab satu pertanyaan lagi, yaitu, apakah pondok pesantren Darur Ridwan terlibat dalam pembinaan atau penyebaran ajaran Islam yang moderat atau ekstrim?

Metode Penelitian:
Metode penelitian yang digunakan dalam proyek studi lapangan ini adalah kualitatif studi kasus. Unsur-unsur penelitian kualitatif meliputi analysis yang terbuka dengan fokus penelitian yang bisa berubah dan banyak perhatian terhadap penggunaan wawancara mendalam.

Studi kasus adalah analisa kehidupan unit sosial, misalnya; (satu atau beberapa) kelompok, masyarakat, organisasi atau individu. Studi kasus kadang-kadang digambarkan sebagai metode ‘naturalistik’ yang paling mengutamakan teknik observasi langsung dalam jangka waktu yang lama dan terus-menurus, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian studi kasus sering digunakan untuk memperkenalkan masyarakat umum kepada gaya hidup yang unik dan/atau masalah-masalah yang dihadapi sebuah masyarakat and individu (Encyclopedia of Social Research, 1997).

Ada keragaman teknik observasi dan wawancara mendalam dalam rangka studi kasus. Teknik observasi yang saya gunakan dalam penelitian ini disebut observasi peserta dimana peneliti menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan kelompok yang akan diteliti. Untuk mengobservasi kehidupan masyarakat pondok pesantren Darur Ridwan sebagai peserta, saya harus menetap di pesantren tersebut. Akhirnya saya tinggal bersama keluarga K.H. Aslam dan para santrinya selama kurang lebih empat minggu (tetapi tidak terus menerus). Saya terlibat dalam aktivitas sehari-hari di pondok termasuk berpakaian jilbab, shalat lima kali sehari, pengajian baik di dalam pondok bersama para santri maupun di luar pondok, kelas mata pelajaran umum dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.

Sifat positif tentang teknik observasi peserta itu adalah bahwa peneliti lebih gampang diterima, orang yang mau diobservasi menjadi lebih terbuka, kelompok dapat diobservasi dalam lingkungan yang natural dan peneliti mampu memperdalam budayanya serta mengembangkan pengertian yang lebih lengkap mengenai kegiatannya. Namun demikian, juga ada sifat negatif yang bisa mempengaruhi kualitas hasil penelitian; misalnya, peneliti menjadi kurang objektif karena terlalu akrab atau ada hal-hal yang lupa diobservasi karena sudah kebiasaan.

Sebagai peserta kegiatan sehari-hari di pondok, teknik-teknik wawancara yang paling banyak digunakan adalah wawancara non-formal karena sifatnya flexibal, bebas terpimpin, lebih terbuka dan memang lebih cocok untuk suasana santai yang sering saya alami. Namun demikian, teknik wawancara formal juga digunakan dimana rancangan wawancara dipakai sehingga fokus pembicaraan telah di tentukan dengan jelas dan bisa diarahkan oleh peneliti untuk menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat.


BAB 2 – KAJIAN PUSTAKA

Unsur-unsur sebuah pesantren:
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”

Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

a.Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).

b.Masjid:
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.

c.Santri:
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).

e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.

Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).

Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia:
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.

Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)

Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985:41).

Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.

Menurut survai yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1:


TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Madrasah
Jumlah Santri
Jakarta
167
14 513
Jawa Barat
1 046
69 954
Jawa Tengah
351
21 957
Tawa Timur
307
32 931
Jumlah:
1 871
139 415
(Dhofier, 1985:40)

TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15 767
Jawa Barat
2 237
305 747
Jawa Tengah
430
65 070
Tawa Timur
1 051
290 790
Jumlah:
3 745
675 364
(Hasbullah, 1999:140)

Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985:20).

Dari data-data tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI? Menurut saya, sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu, pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan sistem pendidikan pesantren modern yang akan dibahasi dalam bagian berikut.

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren:
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.

Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28).

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).

read more

definisi pondok pesantren

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.

Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah 1999:149). Selanjutnya, pondok pesantren berperan dalam era kebangkitan Islam di Indonesia yang menurut Prof. Azyumardi Azra telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini. Akhirnya, pada awal abad ke-21 ini, dalam konteks peran Amerika Serikat melawan terorisme dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali1, pondok pesantren dituding memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Tuduhan tersebut adalah hal yang sangat serius bagi lembaga-lembaga pondok pesantren di Indonesia, terutama pada saat ini ketika Amerika Serikat dan sekutunya sedang mencari dan mencoba menebak tindakan berikut jaringan teroris yang ternyata sudah muncul di Indonesia.

Stigma ‘sarang teroris’ yang belakangan ini melekat pada pondok pesantren di Indonesia berdasarkan dari proses pencarian dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali. Ada dua hal utama dari investigasi peledakan bom di Bali tersebut yang penting dalam tuduhan pondok pesantren ini. Pertama, penangkapan Kyai Abubakar Basyir yang dituduh berkaitan dengan kepemimpinan jaringan teroris Jemaah Islamiyah (JI) di Indonesia dan Asia Tenggara. Kedua, penangkapan dan pengakuan tiga orang saudara dari pondok pesantren di desa Tenggulun, Jawa Timur yang merencanakan dan melakukan peledakan bom di Bali. Ini berarti bahwa memang ada kaitan di antara pondok pesantren di Indonesia dan jaringan teroris internasional.

Masalahnya muncul karena bukti ini harus dilihat dengan sikap proporsional. Walaupun beberapa pondok pesantren dituduh berkaitan dengan jaringan teroris internasional dan tindakan ekstrim, itu tidak berarti bahwa semua pondok pesantren menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan bagaimana posisi pondok pesantren terhadap proses penyebaran ajaran Islam ekstrim di Indonesia, perlu didefinisikan dulu, apa maksud dari ekstrim?

Pada umumnya, sesuatu yang ekstrim adalah sesuatu yang kurang seimbang. Sesuatu yang luar biasa, yang kelebihan, dan yang di luar nilai-nilai umum. Misalnya olahraga ekstrim, bahasa ekstrim atau cuaca ekstrim. Dalam konteks agama, tindakan ekstrim termasuk tindakan yang mendorong kekerasan misalnya: teroris yang meledakkan bom dengan tujuan membunuh diri dan sebanyak mungkin orang lain. Maupun pendapat (atau ajaran) ekstrim adalah pendapat yang tertutup dan bersikap kurang toleran terhadap agama atau kepercayaan lain. Bisa dikatakan juga bahwa banyak ajaran ekstrim menolak kemajuan teknologi dan modernisme di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang mengancam kesucian masyarakat.

Maka ada tiga sifat yang harus dimiliki untuk menentukan kalau ajaran itu ajaran ekstrim. Yaitu: mendorong tindakan keras, memiliki pikiran yang tertutup dan kurang toleran, dan memiliki sikap melawan modernisme.


Tujuan Penelitian:
Menurut Singelton dan Straits (1999:322), tujuan studi lapangan adalah untuk: sungguh paham apa yang obyek studinya berpikir dan apa yang mereka lakukan; untuk mengerti apa yang mereka mengerti; dan untuk benar-benar memperdalam budaya mereka. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk membuat gambaran deskriptif mengenai pondok pesantren Darur Ridwan, Parangharjo, Banyuwangi, Jawa Timur. Saya berharap laporan ini bermanfaat sebagai pengantar dunia pesantren yang sampai sekarang masih belum diketahui dan dipahami masyarakat secara umum di negara-negara Barat.

Dalam penelitian ini, saya ingin menjawab pertanyaan berikut ini: Siapa bersekolah di pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa mereka memilih pendidikan agama? Siapa pemimpin pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa dia mendirikan pondok pesantren Darur Ridwan? Apa yang diajar di pondok pesantren Darur Ridwan? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya berharap saya bisa menjawab satu pertanyaan lagi, yaitu, apakah pondok pesantren Darur Ridwan terlibat dalam pembinaan atau penyebaran ajaran Islam yang moderat atau ekstrim?

Metode Penelitian:
Metode penelitian yang digunakan dalam proyek studi lapangan ini adalah kualitatif studi kasus. Unsur-unsur penelitian kualitatif meliputi analysis yang terbuka dengan fokus penelitian yang bisa berubah dan banyak perhatian terhadap penggunaan wawancara mendalam.

Studi kasus adalah analisa kehidupan unit sosial, misalnya; (satu atau beberapa) kelompok, masyarakat, organisasi atau individu. Studi kasus kadang-kadang digambarkan sebagai metode ‘naturalistik’ yang paling mengutamakan teknik observasi langsung dalam jangka waktu yang lama dan terus-menurus, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian studi kasus sering digunakan untuk memperkenalkan masyarakat umum kepada gaya hidup yang unik dan/atau masalah-masalah yang dihadapi sebuah masyarakat and individu (Encyclopedia of Social Research, 1997).

Ada keragaman teknik observasi dan wawancara mendalam dalam rangka studi kasus. Teknik observasi yang saya gunakan dalam penelitian ini disebut observasi peserta dimana peneliti menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan kelompok yang akan diteliti. Untuk mengobservasi kehidupan masyarakat pondok pesantren Darur Ridwan sebagai peserta, saya harus menetap di pesantren tersebut. Akhirnya saya tinggal bersama keluarga K.H. Aslam dan para santrinya selama kurang lebih empat minggu (tetapi tidak terus menerus). Saya terlibat dalam aktivitas sehari-hari di pondok termasuk berpakaian jilbab, shalat lima kali sehari, pengajian baik di dalam pondok bersama para santri maupun di luar pondok, kelas mata pelajaran umum dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.

Sifat positif tentang teknik observasi peserta itu adalah bahwa peneliti lebih gampang diterima, orang yang mau diobservasi menjadi lebih terbuka, kelompok dapat diobservasi dalam lingkungan yang natural dan peneliti mampu memperdalam budayanya serta mengembangkan pengertian yang lebih lengkap mengenai kegiatannya. Namun demikian, juga ada sifat negatif yang bisa mempengaruhi kualitas hasil penelitian; misalnya, peneliti menjadi kurang objektif karena terlalu akrab atau ada hal-hal yang lupa diobservasi karena sudah kebiasaan.

Sebagai peserta kegiatan sehari-hari di pondok, teknik-teknik wawancara yang paling banyak digunakan adalah wawancara non-formal karena sifatnya flexibal, bebas terpimpin, lebih terbuka dan memang lebih cocok untuk suasana santai yang sering saya alami. Namun demikian, teknik wawancara formal juga digunakan dimana rancangan wawancara dipakai sehingga fokus pembicaraan telah di tentukan dengan jelas dan bisa diarahkan oleh peneliti untuk menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat.


BAB 2 – KAJIAN PUSTAKA

Unsur-unsur sebuah pesantren:
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”

Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

a.Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).

b.Masjid:
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.

c.Santri:
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).

e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.

Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).

Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia:
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.

Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)

Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985:41).

Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.

Menurut survai yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1:


TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Madrasah
Jumlah Santri
Jakarta
167
14 513
Jawa Barat
1 046
69 954
Jawa Tengah
351
21 957
Tawa Timur
307
32 931
Jumlah:
1 871
139 415
(Dhofier, 1985:40)

TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15 767
Jawa Barat
2 237
305 747
Jawa Tengah
430
65 070
Tawa Timur
1 051
290 790
Jumlah:
3 745
675 364
(Hasbullah, 1999:140)

Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985:20).

Dari data-data tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI? Menurut saya, sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu, pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan sistem pendidikan pesantren modern yang akan dibahasi dalam bagian berikut.

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren:
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.

Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28).

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).

read more

Permasalahan Anak Jalanan dan Alternatif Pemecahannya

Latar Belakang
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Mereka adalah amanah tuhan yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Dalam UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara” bermakna pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil rights and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).
Penanganan anak jalanan di seluruh wilayah kota besar di Indonesia belum mempunyai model dan pendekatan yang tepat dan efektif. Keberadaan Rumah Singgah menurut hasil penelitian Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Depsos (2003), dinilai kurang efektif karena tidak menyentuh akar persoalan, yaitu kemiskinan dalam keluarga “(Kompas, 26 Pebruari 2003). Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga belum banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung tidak efektif. Keluarga merupakan “pusat pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan pertama” yang memungkinkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat dan cerdas. Pemberdayaan keluarga dari anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan dan agamanya, diasumsikan merupakan basis utama dan model yang efektif untuk penanganan dan pemberdayaan anak jalanan.
Data tersebut cukup memperihatinkan, karena idealnya sebagai “kota percontohan” DKI dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah di seluruh propinsi di Indonesia. Selama ini, penanganan anak jalanan melalui panti-panti asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif. Hal ini antara lain terlihat dari “pola asuh” yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.
1.2. Rumusan Masalah
1.Apa saja faktor penyebab munculnya anak jalanan?
2.Bagaimana pandangan masyarakat mengenai masalah anak jalanan?
3.Apa saja alternatif pemecahan permasalahan anak jalanan?
1.3 Tujuan
1.Memberikan deskripsi permasalahan anak jalanan di kota besar.
2.Memberikan solusi pemecahan masalah oleh secara kolaboratif oleh masyarakat, LSM, Keluarga, dan pemerintah.

Bahasan Masalah
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Kegiatan yang dilakukan anak jalanan di jalan menggunakan jalan sebagai tempat tinggal dan hidup, untuk bermain, untuk berjualan. Tempat tinggal anak jalanan tinggal di Taman Kota, tinggal di emper toko, dan tinggal di rumah. Sumber mendapatkan uang dengan cara meminta-minta, dengan cara berjualan, dan dengan cara mengamen. Pihak yang dinilai paling dekat dengan anak jalanan adalah orang tuanya, dengan saudaranya, dan dengan pihak lain.
Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga yang berada di lingkungannya yang biasanya keluarganya adalah keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi sesungguhnya peran orang tua anak jalanan tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja.

2.1 Faktor penyebab munculnya anak jalanan
Berdasarkan dari peta permasalahan anak jalanan baik yang berada di kota besar dapat dipetakan permasalahan sebagai berikut :
Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidak berfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak betahan anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.
Rendahnya pendidikan orang tua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.
Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial.
Belum optimalnya social control di dalam masyarakat.
Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base.


2.2 Pandangan Masyarakat

2.2.1 Aparat Keamanan
Pandangan aparat keamanan mengenai anak jalanan dinilai bahwa selama ini anak jalanan tidak pernah melakukan tindakan kriminal. Pada siang hari mereka pergi mengamen mengikuti jalur bus kota. Kejahatan yang paling sering dilakukan oleh anak jalanan yaitu berkelahi diantara mereka karena meributkan daerah operasi atau mencuri tetapi yang paling banyak adalah berkelahi diantara mereka. Penegak hukum hanya melakukan penahanan sesuai dengan Undang– undang yang berlaku karena belum ada hukum khusus mengenai anak– anak jalanan, dengan demikian masih dirasa cukup sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak–anak tersebut tidak melakukan kejahatan, adapun yang saat ini telah dilakukan adalah dengan cara membatasi areal operasi anak jalanan atau jalur–jalur yang diperbolehkan untuk menjadi daerah operasinya. Sedang pada malam hari mereka berkumpul dan tidur di taman kota.
Selain itu juga upaya yang telah dilakukan oleh aparat keamanan selain merazia adalah mengawasi secara terus-menerus, jangan sampai anak jalanan melakukan tindak kriminal atau tersangkut dengan penyalahgunaan narkoba.

2.2.2 Tokoh Agama

Partisipasi tokoh agama sangat berperan dalam pengentasan anak jalanan. Sesungguhnya Islam memiliki konsep pembinaan keluarga. Islam juga mengajarkan betapa besar tanggungjawab orang tua dalam mendidik anak. Maka kalau anak-anak disibukkan dengan pendidikan, mereka tidak turun ke jalan.
Sedang model yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga anak jalanan adalah: Perlu diperbanyak lembaga- lembaga sosial yang dapat menampung mereka. Kemudian untuk keluarganya perlu diberikan penyuluhan mengenai peningkatan penghasilan (ekonomi keluarga).
Mengenai pelibatan tokoh agama dalam rangka pemberdayaan ekonomi keluarganya menurut saya: Tokoh agama harus ikut mendorong mereka melalui penyuluhan dan pengajian akan pentingnya peningkatan ekonomi keluarga melalui usaha produktif.
Adapun bentuk pembinaannya haruslah komprehensif dan semua pihak harus terlibat. Pihak pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, pondok pesantren, takmir masjid yang punya akses pada kemasyarakatan semuanya harus aktif, turut mengontrol proses pembinaan serta perkembangan anak jalanan. Selain itu, pembinaan juga bukan saja dari sisi moral, akan tetapi juga harus bersifat jangka panjang. Misalnya, mereka seyogyanya diberi bekal keterampilan agama, ke depan mereka dapat mandiri dan hidup terarah sesuai cita-citanya masing-masing.

2.2.3 LSM
LSM mengharuskan anak jalanan harus tetap sekolah dengan cara sekolah di waktu senggang hal ini dilakukan agar anak tersebut tetap mendapat pendidikan yang layak dan memadai walaupun untuk menyadarkan anak-anak untuk sekolah masih sulit tetapi semakin hari semakin bertambah yang berminat untuk sekolah. Tidak kalah beratnya juga untuk menyadarkan orangtua agar anak-anak mereka tetap sekolah dengan berbagai penjelasan sehingga orang tua anak tersebut mendukung anaknya untuk sekolah. Untuk menangani anak jalanan, lembaga tersebut belum ada kerjasama dengan lembaga pemerintahan atau lembaga lainnya, dalam soal dana lembaga tersebut mencari donatur-donatur yang bersedia membantunya.

2.3 Alternatif Pemecahan Masalah
Alternatif model penangannan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base.
Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan.
Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat.
Multi-system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.


Penutup

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian kami dapat disimpulkan sebagai berikut :
Secara umum profil anak jalanan di Indonesia berasal dari keluarga yang menikah. Mereka menjadi anak jalanan disebabkan karena rendahnya kondisi sosial ekonomi keluarga. Di samping itu, sebagian besar anak jalanan menggunakan uang hasil usahanya untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka jarang bertemu dengan orang tuanya dan tidak betah di rumahnya. Mereka rata-rata menghabiskan waktunya di jalan selama lebih dari 12 jam. Aktivitas paling menonjol yang dilakukan oleh anak jalanan adalah berjualan seperti asongan dan menyemir sepatu sedangkan lainnya lebih banyak yang berjualan dan mengamen di bis-bis kota.
Dilihat dari profil keluarga rata-rata jumlah anaknya 3-4 orang sangat mendukung anaknya bekerja di jalan dan mendukung pula untuk anaknya bersekolah. Keluarga mereka pernah mengikuti penyuluhan program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) tetapi tidak mengikuti program tersebut dengan alasan program tersebut tidak mendukung perekonomian keluarga. Keluarga mereka tidak memiliki pendapatan yang tetap dan tinggal di rumah sewa atau menempati tanah negara.
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan antara lain (a) rendahnya pendapatan keluarga, (b) keluarga disharmonis, (c) rendahnya pendidikan orang tua, (d) keluarga urban yang tidak memperoleh sumber-sumber ekonomi di daerah asalnya, (e) persepsi orang tua yang keliru tentang kedudukan anak dalam keluarga.
Di samping itu rendahnya kontrol sosial terhadap permasalahan anak jalanan juga menyebabkan permasalahan anak jalanan semakin menjamur, dan diperparah oleh adanya eksploitasi anak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Peta permasalahan anak jalanan dapat dikatagorikan menjadi 6 (enam) yaitu (a) desakan ekonomi keluarga, (b) rumah tinggal yang kumuh membuat anak tidak betah di rumah (c) rendahnya pendidikan orang tua (d) tidak adanya payung kebijakan penanganan anak jalanan, (e) lemahnya kontrol sosial dan (f) tidak berperannya lembaga-lembaga sosial.
Berdasarkan profil dan peta masalah dapat dirumuskan tiga jenis alternatif model penanganan anak jalanan yaitu: family based, institutional based dan multi-system based.

read more

KEAGUNGANMU

YA ROBBY WAHAI TUHANKU SEKIRANYA SEMUA PENDUDUK BUMI INI SELURUHNYA MEMBENCIKU BIARLAH AKU TAK PEDULI ASALKAN ENGKAU TETAP MENCINTAIKU. YA ROBBY WAHAI TUHANKU SEANDAINYA AKU MENYEMBAHMU KARNA AKAN TAKUT AKAN NERAKAMU DAN BERHARAP AKAN SURGAMU MASUKKAN AKU KE NERAKA MU SEKARANG JUGA. NAMUN JIKA AKU BERIBADAH PADAMU KARNA BERHARAP AKAN CINTAMU JANGANLAH ENGKAU UNTUK MENIKMATI SURGAMU.

read more

Aliran-aliran pemikiran dalam Islam

Introduction

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kat”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.

Munculnya perbedaan antara umat Islam

Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

Pada masa nabi Muhammad berada di Madinah dengan status sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam bersatu di bawah satu kekuasaan politik. Setelah beliau wafat maka muncullah perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah kepemimpinan. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga.

Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.

Sikap Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar” sehingga layak dibunuh.

Aliran-aliran teologi Islam

Persoalan “dosa besar” ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran pemikiran karena ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang bisa menjadi kafir karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran Khawarij mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh. Paham Khawarij ini memicu munculnya paham yang berseberangan yang mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosanya terpulang kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak. Paham ini dilontarkan oleh aliran Murji’ah. Sementara aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir tapi juga tidak bisa disebut mukmin. Mereka berada pada posisi antara keduanya yang dikenal dengan istilah al-manzilah baina al-manzilatain.

Dalam hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada dua aliran yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka dalam berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act. Menurut Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme. Dalam masalah ini aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mu’tazilah yang juga mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu sehingga manusia diminta pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul Hasan al-Asy’ari (935 M) seorang pengikut Mu’tazilah yang keluar dari Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang disebut dengan Asy’ariah memilih posisi lebih dekat ke Jabariah.Menurutnya seluruh perbuatan manusia adalah atas kehendak Allah hanya saja manusia, menurutnya, bisa berikhtiar. Selain Asy’ariah, Tahwiah dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.

read more