Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Mempertanyakan Etika Penerbit Buku Recycle

Pernah membeli buku dan kecewa karena ternyata Anda pernah membeli buku yang sama dengan judul berbeda? Saya pernah. Berkali-kali malah. Sebut saja beberapa buku tes CPNS yang saya beli untuk persiapan menjajal nasib menjadi pegawai negeri. Lalu buku-buku psikotes ketika berburu pekerjaan dan memerlukan tes psikologi. Kemudian juga buku-buku Kahlil Gibran yang booming di awal 2000-an. Yang terakhir saya beli kumpulan cerpen laris Budi Darma, Laki-Laki Lain dalam Secarik Surat.

Buku-buku kumpulan soal tes CPNS dan psikotes diterbitkan beberapa penerbit dengan judul yang kurang lebih sama. Buku disegel sehingga saya hanya berpaku pada pengantar di setiap sampul belakang untuk mengira-kira isinya. Ternyata setelah dibeli, isi buku-buku dengan penerbit berbeda itu banyak kesamaan, bahkan ada yang nyaris sama. Hanya nomor soalnya saja yang diubah-ubah. Karena itu, banyak kunci jawaban yang tak sesuai dengan soalnya. Saya selaku konsumen yang ingin mendapatkan informasi soal yang variatif tentu saja kecewa.
Buku Kahlil Gibran setali tiga uang. Ini mungkin buku yang paling banyak diterbitkan dalam banyak versi melebihi karya orisinil penulisnya. Adhe dalam bukunya Declare (2008) menuliskan bahwa karya-karya Gibran telah diterbitkan oleh lebih dari 20 penerbit dengan 76 judul berbeda. Luar biasa bukan? Ini fenomena yang menarik sekaligus memprihatinkan. Sosok Gibran yang sufi itu dikenal hingga ke kalangan anak-anak remaja SMP. Ada memang karya yang orisinil, seperti Sayap-sayap Patah dan Sang Nabi. Tapi selebihnya adalah judul-judul baru hasil ''kreativitas'' penerbit yang isinya kebanyakan potongan cuplikan dan bahkan saduran. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang Gibran, pembeli akan mengira itu semua karya baru (lain) dari Gibran.
Sementara itu, buku Budi Darma, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, diterbitkan oleh Bentang (anak penerbitan Mizan), merupakan daur ulang dari buku kumpulan cerpen yang terbit sebelumnya dengan judul Kritikus Adinan. Buku ini dikemas dengan gaya buku baru. Sampul sama sekali berbeda dan pengantar sampul belakang menarik, plus foto diri pengarang. Pada buku baru ini ditambahkan satu karya baru. Jika Anda pernah membeli kaset dari penyanyi yang merupakan repacked atau recycled --lagu-lagu lama ditambahi satu-dua lagu baru-- buku ini menggunakan strategi pemasaran yang sama.
Bagi fans berat --yang selalu ingin mengoleksi karya idolanya-- edisi recycled pun akan disikat meski mengeluarkan sejumlah uang untuk karya yang sudah pernah dimiliki. Tapi, bagi konsumen yang ingin membaca dan mengetahui hal baru apa lagi yang disuguhkan dari seorang begawan seperti Budi Darma, membeli karya recycled tentu mengecewakan.
Segendang sepenarian dengan Bentang, Qanita (lagi-lagi, anak penerbitan Mizan) menerbitkan karya fenomenal Fatima Mernissi berjudul Perempuan-perempuan Harem. Buku ini pernah diterbitkan Mizan dengan judul berbeda, Teras Terlarang. Tak ada keterangan sama sekali di buku edisi baru itu, bahwa dua buku dengan judul berbeda itu memiliki isi yang sama, terjemahan dari Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood. Hanya sedikit keterangan di lembar copyright: Edisi baru, cetakan 1, Juni 2008. Keterangan ini pun bias karena melahirkan asumsi rancu bahwa buku ini baru.
Penerbit Serambi, juga melakukan hal yang sama. Tapi mereka agak fair karena mencantumkan judul lamanya dengan font yang lebih kecil, Event Angel Ask: Bahkan Malaikat pun Bertanya karya terjemahan dari Jeffrey Lang dari judul yang digunakan untuk penerbitan sebelumnya; Bahkan Malaikat pun Bertanya.
ScriPtaManent adalah penerbit yang menerbitkan ulang Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M. Dahlan dengan judul baru Jalan Sunyi Seorang Penulis. Yang terakhir ini lebih ''jujur'' karena memberikan keterangan di sampul belakang --meski dengan tulisan kecil dan samar: ''edisi terbaru: aku, buku, dan sepotong sajak cinta''.
Buku-buku recycle yang disajikan dengan judul baru tanpa informasi lengkap tentang kebaruan dan perbedaannya dengan terbitan sebelumnya, bagi saya, merugikan pembaca. Apalagi pembeli tak diberi kesempatan yang berlebih untuk melakukan pemeriksaan. Sebab buku-buku yang tergelar di toko kerap terbungkus segel plastik (wrapping) dan tak boleh dibuka sebelum menyelesaikan ''administrasi'' di meja kasir.
Calon pembeli hanya berbekal narasi singkat atau komentar-komentar pembaca yang umumnya figur publik agar calon pembeli terpikat dan terjerat. Menurut saya, ini gaya pengelabuhan yang tak bertanggung jawab.
Dalam menegakkan ''mata rantai'' perbukuan, penerbit adalah pilar yang memegang peran penting di antara penulis, percetakan, distributor, toko buku, perpustakaan, dan pembaca. Penerbit adalah filter pertama dari transfer ilmu pengetahuan yang akan diterima konsumen. Penerbit yang menentukan naskah mana yang akan terbit dan mana yang tak perlu dikonsumsi pembaca.
Sebagai konsumen, pembaca buku tentu saja akan terampas haknya untuk mendapatkan pengetahuan yang utuh dikarenakan ulah penerbit yang ugal-ugalan mengganti-ganti judul dengan isi buku yang sama. Kenapa tak tetap diterbitkan dengan judul sama saja? Tambahan isi baru atau beberapa revisi bisa diberikan sebagai keterangan. Dengan begitu, pembeli bisa mendapatkan bahan pertimbangan yang layak apakah ingin membeli lagi edisi terbarunya atau tidak. Jika memang buku itu laris dan dicari pembaca, pastilah buku itu akan tetap habis.

Namun, jika penerbit memang meniatkan untuk mengelabuhi pembaca, maka ini sebentuk penipuan publik yang bekerja di dunia perbukuan. Calon pembeli tak mendapat informasi yang utuh tentang apa-apa yang akan dibeli dan dibacanya.
Mestinya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang kritis atas barang niaga demi perlindungan hak konsumen juga mencermati soal ini. Sehingga pembodohan ini tak bekerja terus-menerus, bahkan di dalam sebuah dunia yang menjadi agen pencerahan akal budi dan selalu merapalkan jargon besar: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

read more

Integritas dan Jalan Hidup Intelektual

Menjadi intelektual di zaman yang penuh dengan godaan anti-intelektualisme tidaklah mudah. Menjadi intelektual berarti terlibat dalam persoalan-persoalan yang melingkupi lingkungan sekitar tanpa kehilangan integritas dan keotentikan. Persoalannya kemudian, mungkinkah mengambil posisi yang demikian saat ini?

Gempuran budaya populer yang dibawa oleh teknologi dan perkembangan audio-visual membawa konsekuensi yang tak terelakkan bagi pergeseran dunia pemikiran dewasa ini. Pengaruh budaya populer yang mengutamakan ''komunikativitas'' (communicativeness), yaitu tersampaikannya ide-ide menjadi lebih komunikatif di mata orang kebanyakan, telah mengubah cara seorang intelektual mengutarakan gagasannya. Dulu, kita terpikat dengan pemikiran-pemikiran intelektual yang mengutamakan abstraksi, yang mendalam dan sarat dengan muatan ide. Tetapi kini, kondisi yang berbeda membawa pemandangan yang berbeda pula, di mana seorang intelektual harus banyak menyesuaikan pemikirannya dengan tuntutan orang kebanyakan. Ia harus mengemas ide-idenya menjadi lebih atraktif dan komunikatif di hadapan orang lain.

Tuntutan eksternal untuk menjadi lebih komunikatif, lebih menarik, dan ''menghibur'', membawa akibat-akibat yang, pelan tapi pasti, membuat peran-peran intelektual kian merosot dari hari ke hari. Banyak intelektual yang hidup tanpa intelektualisme dalam pemikirannya. Para intelektual menjadi mudah tidak percaya diri jika ia harus menyampaikan gagasannya secara langsung kepada publik. Ia akan lebih merasa nyaman, merasa lebih ''enjoy'' (meminjam ungkapan sebuah iklan), jika ia mengemas terlebih dulu pemikirannya dalam bentuk-bentuk yang populer dan mudah dicerna.

Kemerosotan yang terjadi adalah terdistorsinya kebebasan kreatif seorang intelektual dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya. Setidak-tidaknya, ada satu hal yang terlihat kemudian, sebagai akibat dari kondisi tersebut, yaitu: begitu mudahnya dunia pemikiran dewasa ini terjatuh ke dalam sikap-sikap konformisme; sebuah sikap yang ditandai dengan pengiyaan secara tidak kreatif atas opini umum.

Buku, sebuah dokumen tertulis tentang pemikiran seseorang, barangkali bisa dianggap barometer dalam perjalanan seorang intelektual. Mengamati buku dan karya-karya intelektual yang dihasilkan dalam beberapa waktu belakangan ini, bisa diamati bersama betapa terpesonanya dunia pemikiran pada apa yang disebut dengan lazim sebagai ''trend''. ''Trend'' adalah ungkapan lain dari kepopuleran sebuah ide di mata publik kebanyakan. Sejauh mana sebuah karya dapat menyesuaikan diri dengan trend yang ada, tergantung dari sejauh mana karya tersebut mampu menampilkan dirinya secara renyah dan komunikatif bagi audiens. Dan, semakin ia trendy, semakin sebuah pemikiran dapat konformis (baca: selaras-sejalan) dengan keinginan publiknya, maka semakin ia populer dan ''sukses''.

''Popularisme'', konformisme, dan kegandrungan pada hal-hal yang menjadi buah bibir masyarakat pada umumnya dapat dirasakan secara kuat dalam bidang-bidang yang dulunya melahirkan eksperimen-eksperimen serius dalam dunia pemikiran; bidang-bidang keilmuan yang sebelumnya banyak memunculkan perdebatan-perdebatan yang mendalam, yang merangsang pemikiran generasi berikutnya; bidang-bidang pemikiran yang dahulu digarap dengan konsistensi pemikiran yang tangguh dan ulet. Bidang kebudayaan, misalnya, di Indonesia telah melahirkan seorang generasi intelektual seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang mengkaji dengan mendalam bentuk-bentuk kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan tradisi dan modernitas. Bukan sosok Takdir yang paling penting dalam hal ini, tetapi peran yang dia ambil dalam perdebatan itu yang membuatnya layak dihargai. Takdir, dalam beberapa karyanya, mungkin menunjukkan kualitas yang tidak sebaik apa yang digagasnya. Puisi-puisinya tidak sekuat pemikiran kebudayaannya; novel-novelnya tidak sekuat pemikirannya tentang sastra; dan seterusnya. Bukan karya Takdir itu sendiri yang penting untuk mendapat sorotan dalam konteks ini, melainkan apa yang terbentuk dari karya-karya itu, paradigma pemikiran yang konsisten disuarakan dari dalamnya (meskipun kita perlu meneliti juga inkonsistensinya), dan pertanyaan-pertanyaan menantang yang muncul dari interpretasi atas karya-karya itu.

Pemikiran di bidang keagamaan juga semakin langka memperlihatkan gairah akan kemendalaman dan kultur kajian yang sungguh-sungguh. Agak sulit mencari perdebatan yang mendalam seperti terlihat dari kajian tentang Islam dan sekularisme dalam pemikiran Nurcholish Madjid dan Natsir; tentang Islam dan budaya lokal dalam pemikiran Gus Dur muda; tentang agama dan modernisasi serta pembangunan dalam pemikiran Soedjatmoko. Seperti halnya dalam kasus Takdir di atas, bukan sosok pribadi Nurcholish atau Natsir, atau Soedjatmoko, yang menarik untuk diperbincangkan, melainkan yang terpenting adalah peran yang mereka ambil, posisi, dan sikap yang mereka perjuangkan, yang kemudian menentukan signifikansi pemikiran mereka dalam percaturan intelektual saat itu. Nurcholish menunjukkan beberapa pengulangan dalam karya-karyanya yang belakangan sehingga tidak sepenuhnya baru; Natsir tidak terlalu produktif di akhir-akhir hidupnya; Gus Dur kehilangan sentuhannya sebagai ilmuwan di usia tua karena kesibukannya dalam politik; atau Soedjatmoko yang terlalu berhati-hati dalam mengungkapkan gagasan. Bukan sosok atau karya satu-dua mereka yang terpenting, tetapi paradigma yang terbentuk dalam perjalanan intelektual mereka saat itu.

Paradigma yang baru, yang muncul dari kegelisahan akan situasi, merupakan sesuatu yang berharga yang langka ditemukan saat ini. Dalam bidang kebudayaan, kita lebih banyak menghasilkan karya sastra daripada kajian sastra; lebih banyak novel daripada telaah dan pemikiran sungguh-sungguh tentang novel; lebih banyak kumpulan cerita daripada jurnal sastra; lebih banyak selebritis daripada para pemikir sastra; dan barangkali lebih banyak gosip dan isu tentang konflik antar-berbagai komunitas sastra daripada pemikiran yang tulus dan jernih tentang masalah sastra tertentu. Hal yang agak serupa juga terlihat dalam ranah pemikiran keagamaan: kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang penuh dengan rangsangan untuk membenci, provokasi, atau semacamnya daripada karya yang meletakkan agama untuk dikaji. Atau sebaliknya, kita lebih banyak menghasilkan buku agama yang praktis, ringan, atau populer; daripada buku pemikiran agama.

Dua bidang di atas baru sekelumit contoh dari kompleksitas dunia pemikiran dewasa ini. Dalam keduanya terlihat gejala, dunia pemikiran begitu cepat kehilangan pesonanya akan kemendalaman. Gejala yang, barangkali, boleh disebut sebagai ''simplified-mindedness'', sebuah pola berpikir yang terlalu menyederhanakan.

Saat ini, perluasan pola pikir ekonomi (economy-minded), yang melihat segala sesuatu sebagai produk yang harus dijual, juga menjadi tantangan dunia pemikiran. Sebuah buku, di alam yang berpola pikir demikian, akan dilihat semata-mata sebagai produk yang keberhasilannya diukur dari laku-tidaknya buku tersebut. Keberhasilan buku itu tidak dilihat dari kualitas ide di dalamnya, melainkan dari seberapa banyak oplah buku itu laris. Intelektualisme kontemporer menjadikan pemikiran sebagai bisnis, dan bisnis sebagai pemikiran.

Jalan hidup seorang intelektual saat ini benar-benar di ambang kegamangan. Hanya ada satu pilihan baginya: menjadi seorang intelektual sejati yang mau bergulat dengan kegelisahan dan keterasingannya, dan mau memperjuangkan idenya. Atau menjadi intelektual tanpa intelektualisme, yang selalu kompromistis dan konformis dengan keadaan.



read more

Dari Pengantin ke Mempelai

Entah berapa puluh kali saya menghadiri undangan pesta perkawinan yang sangat mewah, di gedung mewah, kursinya mewah, sajian makanannya mewah, pakaian orang-orang yang hadir mewah, dan tentu saja kostum dan rias pengantinnya pun mewah. Pokoknya suasana dalam acara pesta-pesta itu terasa serbaaduhai meskipun tidak seperti di surga.

Bagi orang yang mampu, bagaimana mungkin perkawinan anak tidak akan dimeriahkan? Perpaduan dua jiwa dalam perkawinan itu bisa dimetaforakan, ibarat dua butir embun dari ufuk yang berlainan kemudian bersatu dalam sekuntum mawar. Alangkah indahnya

Maka tepat sekali kalau dirayakan, dipestameriahkan, bahkan dimewahkan asalkan tidak sampai merugikan orang lain. Mungkin juga pesta meriah itu sebagai tanda terima kasih sekaligus sebagai pengumuman kepada khalayak ramai bahwa si Tono telah sah sebagai suami si Tini. Maka musik pun bergema, bunga-bunga bermekaran, sukaria dan senyum ceria menyingsing di sekitar makanan yang lezat cita rasanya. Semua menjadi sah karena menunjukkan kemuliaan martabat manusia. Menghadiri acara seperti itu saya senang, dan tentu saja ikut bergembira, serta berdoa semoga kedua mempelai mampu mengekalkan cinta sampai usia tua. Dengan demikian saya merasa terlibat lahir batin dalam acara itu.

Itulah pengalaman konkret saya dalam menghadiri pesta pernikahan seorang teman atau putra seorang sahabat dalam format yang mewah. Tapi, bukan hanya pesta perkawinan mewah yang saya datangi. Pada saat yang lain saya menghadiri undangan pernikahan seorang kenalan yang tinggal di desa sebelah.

Mempelai perempuannya seorang buruh tani, yang kalau musim hujan turun membantu menanam padi atau menabur benih jagung. Pada hari-hari biasa ia membantu ayahnya menyabit rumput untuk makanan sapi yang dititipkan orang kepada orang tuanya. Sedangkan mempelai putra bekerja sebagai tukang becak di kota.

Saat itu mempelai putra memakai kemeja, sarung, dan kopiah. Tidak ada jas, tidak ada untaian kalung melati, dan keris lambang kejantanan. Ia hanya berpakaian seperti biasanya orang akan pergi ke masjid di Hari Jumat. Sedangkan mempelai putri memakai kebaya dan kerudung. Tidak ada rias wajah, tidak ada lipstik, dan potlot alis, kecuali usapan bedak yang sangat tipis. Tak ada kemewahan dan keceriaan. Detik-detik itu sungguh mengharukan. Saya sadar sedang menyaksikan pernikahan sepasang mempelai miskin. Ada airmata diam-diam meleleh dalam dada saya.

Ketika akad nikah diucapkan di depan undangan yang tidak lebih 20 orang itu, saya mendengar suara mempelai pria seperti sedang mengucapkan sumpah setia kepada kehidupan, meskipun ia hidup dan berenang dalam laut kemiskinan. Suaranya seperti sangat yakin bahwa dalam kemiskinan dan serba-kekurangan seperti itu tidak ada halangan baginya untuk maju mewujudkan cinta menjadi sebentuk kenyataan sebagai suami istri. Di samping itu, tidak ada halangan untuk menghisap madu kebahagiaan dalam lubuk penderitaan. Saya jadi ingat ucapan Kang Sobary (Mohamad Sobary) dalam bahasa Jawa, ''Nggolek suket ura-ura, numpak sedan mbrebes mili'' (menyabit rumput sambil menembang, naik mobil tapi sambil menangis. Red).

Pulang dari upacara akad nikah yang mengharukan itu, saya bayangkan kedua mempelai menikmati madu cinta tanpa pesta dan kemeriahan. Mereka akan tetap berjuang untuk mengatasi penderitaannya. Mereka kawin karena fitrahnya mencintai hidup dan ingin juga menikmati sari-sari kehidupan seperti orang-orang yang berkecukupan. Mereka percaya pada kucuran keringat, jauh dari rasa putus asa.

Pasangan mempelai miskin bukan hanya yang saya kisahkan ini. Mungkin jutaan atau puluhan juta pasangan yang kawin tanpa pesta, karena mereka memang tak mampu. Tapi, karena mereka hidup di bumi Indonesia, sama-sama minum air Indonesia mereka tentu saja saudara kita. Pertanyaannya, adakah rasa persaudaraan yang tulus dengan mereka? Kalau persaudaraan itu ada bagaimana bentuk konkretnya?

Pertanyaan di atas sudah sepantasnya menjadi bahan renungan, untuk melahirkan kecerdasan yang membaut rasa kasih sayang bisa ditebar secara nyata, dalam persaudaraan yang indah. Barangkali kita memerlukan spirit kepahlawanan dalam bentuk yang lebih segar. Kita memerlukan penataan dan pembangunan budi pekerti yang mengutamakan kebersamaan. Rasa kebangsaan yang matang ialah rasa senasib sepenanggungan dalam bentuk tindakan nyata.



read more

Pamflet Tragedi Pendidikan Indonesia

Bagaimana potret dunia pendidikan di Indonesia? Baru-baru ini, masyarakat Indonesia mendapatkan sebuah jawaban yang ringkas, sederhana, tetapi amat mengena. Jawaban itu tersaji dalam novel fenomenal berjudul Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang menjadi semakin populer saat filmnya dirilis akhir September lalu. Dalam novel yang pada dasarnya adalah memoar itu, Andrea menyajikan potret ketimpangan akses pendidikan di tanah kelahirannya, Pulau Belitung, yang sepertinya juga masih menjadi masalah nasional.

Buku terbaru karya Darmaningtyas ini memberikan gambaran yang lebih terperinci tentang hal itu. Buku yang ditulis pengamat pendidikan lulusan Filsafat UGM ini bertolak dari pertanyaan sederhana: mengapa hingga kini pendidikan dasar masih belum dapat dinikmati semua warga negara Indonesia? Apakah benar masalah utamanya terletak pada ketersediaan dana yang terbatas, sebagaimana jawaban yang sering kita dengar dari pemerintah?

Melalui buku ini, Darmaningtyas menunjukkan bahwa ada penyebab yang lebih mendasar atas belum terpenuhinya hak-hak pendidikan masyarakat. Penyebabnya adalah trio racun yang sampai saat ini masih terus menjadi virus yang merusak masyarakat. Yakni utang luar negeri, korupsi yang merajalela, dan inefisiensi. Tiga racun ini dipaparkan secara cukup detail dalam masing-masing satu bab khusus.

Utang luar negeri Indonesia hingga kini telah memberi dampak yang signifikan, termasuk terhadap sektor pendidikan. Pada 2003, total utang Indonesia mencapai USD 150 miliar. Jumlah ini melampaui produk domestik bruto (GDP) yang dihasilkan Indonesia. Pada 2004, total pembayaran bunga pinjaman memakan 92,67 persen dari total penerimaan negara, yakni sebesar USD 7,9 miliar. Karena beban pembayaran utang begitu tinggi, maka dampak yang paling terasa oleh masyarakat saat ini adalah pengurangan subsidi untuk berbagai sektor, mulai pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian, dan sebagainya. Akibatnya, biaya pendidikan naik. Beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka berubah status menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), eufemisme bagi privatisasi, yang intinya membuat pendidikan kemudian berbiaya mahal. Dengan dukungan ketentuan hukum yang menjadi payung legitimasi atas proses ini, masyarakat menjadi lemah untuk menuntut tanggung jawab negara atas penyediaan sarana pendidikan yang dapat dijangkau.

Yang sungguh mengenaskan, utang yang menggunung itu ternyata masih harus ditambah dengan penyakit kronis lainnya, yakni korupsi. Dana pinjaman untuk beasiswa dan dana bantuan operasional (DBO) untuk membantu sektor pendidikan pada saat krisis selain dinilai diskriminatif ternyata juga banyak mengalami kebocoran dan salah sasaran. Temuan Tim Pengendali Program JPS yang diketuai Mar'ie Muhammad memaparkan bahwa salah sasaran program beasiswa SD-SMTA mencapai 60 persen. Pada saat yang sama pemerintah justru mengucurkan dana BLBI yang mencapai Rp 144 triliun untuk para pengusaha yang hingga kini penyelesaiannya masih gelap. Dana melimpah yang dikemplang ini sebenarnya dapat menjadi biaya untuk mengatasi masalah pendidikan di negeri ini.

Korupsi merajalela di mana-mana, mulai dari lembaga pemerintah, BUMN, lembaga legislatif, bahkan juga dalam dunia pendidikan. Pengelolaan dana buku ajar, misalnya, oleh Darmaningtyas diangkat sebagai salah satu contoh yang diulas dengan rinci.

Faktor ketiga yang menjadi racun pendidikan di Indonesia, yang menghambat akses kaum miskin untuk memperoleh pendidikan dasar yang baik adalah inefisiensi dana pendidikan, dana negara, atau dana masyarakat. Karena tak efisien, dana yang memang terbatas itu jauh dari sasaran, bocor ke mana-mana, atau diterima oleh orang yang tidak tepat.

Darmaningtyas menyajikan banyak contoh inefisiensi, mulai yang terjadi di badan legislatif, pemerintahan, lembaga pendidikan, hingga masyarakat. Di antara yang digambarkan adalah pemborosan dana akibat pelaksanaan pilkada atau pemilu. Apakah biaya yang dikeluarkan cukup impas dengan harga (pendidikan) demokrasi yang didapat?

Inefisiensi di departemen pendidikan yang juga dibahas, antara lain menampilkan contoh tentang pembangunan gedung SMPN 2 Pasongsongan, Sumenep (Madura). Di situ tersedia sembilan ruang kelas, satu ruang guru, satu ruang perpustakaan, dan satu ruang laboratorium. Padahal, ketika Darmaningtyas berkunjung ke sana pada 2002, sekolah itu hanya memiliki 63 murid. Artinya, hanya membutuhkan tiga ruang kelas.

Di Madiun dibangun gedung senilai Rp 43 miliar untuk rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang akhirnya mangkrak dan tak digunakan, karena pejabatnya belum siap menjalankan program tersebut. Di sekolah, inefisiensi juga banyak ditemukan, mulai dari program study tour, penyediaan seragam, buku LKS (lembar kerja siswa), dan sebagainya.

Meski demikian, Tyas juga mengkritik masyarakat yang juga banyak mengeluarkan dana tak efisien, seperti untuk pulsa telepon seluler yang mungkin sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, atau hal-hal mewah serupa. Baru-baru ini kita juga mendapat informasi dari Masyarakat Peduli Bahaya Tembakau bahwa ternyata rokok telah menggerogoti sumber keuangan rumah tangga miskin karena mereka ternyata membelanjakan 12,4 persen pendapatannya untuk membeli rokok, dengan mengorbankan gizi keluarga, kesehatan, termasuk pendidikan.

Kekuatan buku ini terletak pada data-data yang disajikan yang begitu melimpah. Dengan bahan kliping berbagai media massa dan sumber lain, Tyas meyakinkan pembaca bahwa keterpurukan pendidikan di Indonesia bukan karena dana yang terbatas, tapi lebih karena utang, korupsi, dan inefisiensi. Semua setali tiga uang: menyengsarakan nasib pendidikan masyarakat. Padahal, masalah pendidikan di Indonesia begitu akut, mulai dari soal filosofi dan ideologi pendidikan, inkonsistensi kebijakan, hingga fasilitas yang terbatas atau problem mikro lainnya.

Judul Buku : Utang dan Korupsi Racun Pendidikan

Penulis : Darmaningtyas

Penerbit : Pustaka Yashiba

Cetakan : I, Juli 2008

Tebal : xiv + 280 halaman


read more

Geliat Kaum Tradisionalis


Pada 2006, Ahmad Baso, intelektual muda NU asal Makassar, meluncurkan buku, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Membaca buku itu, perhatian saya segera tertuju pada frase NU Studies. Secara verbatim, NU Studies berarti kajian tentang NU. Kalau sekedar mengurai dari makna harfiahnya, frase NU Studies terkesan tidak begitu istimewa. Tetapi yang dikehendaki Baso melebihi makna harfiah itu.

Dengan NU Studies, tegas Baso, NU tidak lagi sekadar dijadikan objek, tetapi menjadi subjek yang dapat menarasikan dirinya (NU) yang terbebas dari pencitraan-pencitraan negatif sebagaimana pendekatan kolonialisme (colonialism). Dengan kata lain, Baso ingin agar semua kajian tentang NU menggunakan perspektif ''orang dalam'' (insider), bukan perspektif ''orang luar'' (outsider) sehingga narasi tentang NU menyerupai narasi yang dibuat oleh orang-orang NU sendiri.



Kegelisahan Baso pernah dialami Zamakhsyari Dhofier, mahasiswa doktoral di The Australian National University, Canberra, Australia. Kegelisahan Dhofier di samping dipicu oleh langkanya kajian terhadap fenomena NU dan lingkungan di sekitarnya, juga karena --kalau toh NU dijadikan sebagai bahan kajian-- penjelasan terhadap NU jauh dari memuaskan karena terlalu condong pada pendekatan ''orang luar''.

Kegelisahan Dhofier kemudian dituangkan dalam penelitian disertasi Ph.D-nya, The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java (1980). Dua tahun kemudian, tesis tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit LP3ES dengan judul, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1982).

Dhofier memang tidak meneliti NU, melainkan pesantren. Tetapi, bagi yang akrab dengan NU, tentu menyadari bahwa pesantren merupakan pilar penting bagi kaum ''Islam tradisional'' pada umumnya, dan NU pada khususnya. NU dan pesantren tak ubahnya seperti dua sisi mata uang.

Penelitian Dhofier segera mendapat perhatian dan menjadi rujukan peneliti berikutnya. Salah satu nilai lebih penelitian Dhofier bila dibandingkan dengan peneliti lainnya, adalah pada pencitraan terhadap komunitas ''Islam tradisional''. Dhofier mengaku tidak puas terhadap peneliti sebelumnya yang cenderung negatif dalam membuatkan pencitraan terhadap dunia pesantren.

Dhofier menyebut dua nama yang dinilai gagal dalam memahami pesantren, yakni Clifford Geertz dan Deliar Noer. Menurut Dhofier, kedua nama itu secara sepihak mencitrakan ''Islam tradisional'' sebagai komunitas yang menempati posisi kelas dua di bawah komunitas ''Islam modernis''. Tidak cukup di situ, ''Islam tradisional'' juga dianggap akrab dengan pelbagai praktik keagamaan sinkretik. Tidak seperti Geertz dan Noer, Dhofier justru menemukan berbagai episode kreatif pada komunitas ''Islam tradisional''. Dengan menggunakan teori continuity and change (kesinambungan dan perubahan), Dhofier sampai pada suatu titik simpul, pesantren sebagai pilar utama NU terus menggeliat merancang perubahan dengan tetap berpijak pada tradisi keilmuan klasik.

Perubahan di tubuh ''Islam tradisional'' mendapatkan energi baru ketika pada 1984 terjadi peristiwa yang memiliki makna historis bagi perkembangan NU pada masa-masa berikutnya. Pada tahun itu, NU menorehkan catatan penting melalui muktamar yang berlangsung di Situbondo. Setidaknya ada dua catatan penting dari muktamar tersebut. Pertama, NU melakukan reposisi politik dengan kembali ke Khittah 1926. Kedua, muktamar berhasil memilih Kiai Achmad Siddiq (1926-1991) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menempati posisi penting dalam keorganisasian NU. Kiai Ahmad Siddiq menempati posisi sebagai Rais 'Am Majelis Syuriah, sedangkan Gus Dur di posisi ketua umum Lajnah Tanfidziyah.

Khittah 1926 serta terpilihnya Gus Dur, ditambah Kiai Achmad Siddiq di posisi syuriah, merupakan energi baru bagi kelanjutan perubahan dalam komunitas ''Islam tradisional'' sehingga tetap eksis dan dinamis kendati menghadapi pelbagai tantangan yang semakin rumit. Bagaimana geliat perubahan komunitas ''Islam tradisional'' di era Gus Dur? Pertanyaan inilah yang dijawab Djohan Effendi dalam buku ini. Buku ini semula merupakan disertasi Effendi sebagai syarat menyelesaikan studi di Departement of Religious Studies, School of Social Inquiry, Faculty of Arts, Deakin University, Australia. Karena ingin menyajikan geliat perubahan NU di era Gus Dur, tentu hal yang wajar jika Effendi perlu memberikan highlight pada mantan presiden keempat ini.

Pada bagian awal buku ini (hlm. v), misalnya, Effendi mengatakan bahwa sebagai pimpinan NU, Gus Dur telah menjadi inspirator bagi kiai dan intelektual muda (NU) terlibat dalam pengembangan wacana keagamaan baru (new religious discourses).

Tampaknya tidak ada yang berlebihan pada ungkapan Effendi tersebut. Sepertinya peran Gus Dur dalam menciptakan atmosfer baru, setidaknya di kalangan warga nahdliyin, terutama dari sisi intelektual, sulit dibantah. Bahkan, peran Gus Dur bisa dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yang melampaui komunitasnya sendiri.

Sekadar perbandingan, John L. Esposito dan John O. Voll (2001), misalnya, menyebut Gus Dur sebagai salah seorang tokoh (intelektual) yang layak disebut sebagai makers of contemporary Islam. Menurut Esposito dan Voll, Gus Dur layak diposisikan demikian karena terbukti memberikan kontribusi dalam upaya mensintesiskan antara modernitas dengan tradisi Islam sepanjang 1980-1990-an. Kontribusi ini pula yang ingin diurai oleh Effendi pada saat Gus Dur mengendalikan NU sejak 1984.

Beberapa kalangan terutama yang masih memercayai mantra positivisme, tradisi sering dipandang sebagai penghambat kemajuan. Bila ingin maju, masyarakat harus memutus mata rantai dengan tradisi. Begitulah mantra positivisme. Mantra ini jelas tidak bisa digunakan oleh komunitas ''Islam tradisional'' (pesantren dan NU). Sebab kekuatan komunitas ini justru pada tradisi tersebut. Seperti banyak peneliti lain, Effendi juga melakukan pencandaraan terhadap karakter tradisionalisme NU yang berakar pada kiai, pesantren, kitab (kuning atau klasik), dan tradisi keilmuan dari ulama otoritatif ''tempoe doeloe'' yang disebut juga dengan ulama klasik atau ulama salaf.

Di mata Gus Dur, semua unsur yang membentuk karakter tradisionalisme pada NU, bisa menjadi kekuatan jika dikelola secara bertanggung jawab. Bukankah kalangan ''Islam tradisional'' memiliki mantra sendiri untuk merespons perubahan tanpa mengorbankan tradisi, yakni: al-muhafadzatu bil-qadimish-shalih wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah. Dengan mantra ini, kata Effendi, kalangan ''Islam tradisional'' mampu mencari jalan tengah antara konservatisme dengan kreativitas (hlm. 89).

Kreativitas kalangan ''Islam tradisional'' terlihat pada kemampuan mereka dalam merespons pelbagai wacana publik yang sarat dengan kontroversi seperti demokrasi, kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan (gender) di ranah politik, dan HAM. Semua wacana ini dikatakan kontroversial karena di kalangan Islam sendiri terjadi silang pendapat. Bahkan kalangan Islam garis keras mengharamkan semua wacana tersebut. Tidak seperti Islam garis keras, kalangan ''Islam tradisional'' justru mengakrabi wacana tersebut serta memberikan penguatan secara teologis. (*)

---

Judul Buku : A Renewal Without Breaking Tradition:
The Emergence of a New Discourse in Indonesia's
Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era
Penulis : Djohan Effendi
Penerbit : Interfidei, Jogjakarta
Cetakan : I, Agustus 2008
Tebal : 314 halaman


read more

DEMI SELEMBAR NYAWA

“ Yah, seperti rusa yang terluka….”
“ Maksudmu?”
“ Aku pernah menyaksikan sebuah film tentang segerombolan rusa yang tengah berlari dikejar seorang pemburu. Seekor di antara rusa-rusa itu berlari sangat kencang. Dialah rusa yang telah terluka oleh senapan sang pemburu. Namun ia belum mau menyerah, ia berlari, terus, terus lurus ke depan, meninggalkan keadaannya. Ia berlari sekencangnya melupakan sakit dan perih yang ia rasa. Berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Hingga ketika sakit dan perih itu tak lagi dirasakannya, ia menemukan dirinya telah berada di barisan terdepan, jauh meninggalkan rusa-rusa lainya. Ia telah menjadi pemenangnya!”

“ Jangan katakana bila aku harus bermimpi…. Aku terlalu takut melakukannya.”
“ Ah, dulu aku bahkan tak berani memimpikan bahwa aku masih hidup esok hari, apalagi memimpikan untuk menjadi diriku hari ini.”
“ Itu kau! Aku tidak akan mampu!”
“ Hanya usaha yang membedakan kita, selebihnya, kita sama.”
“ Tuhan telah mentakdirkan sesuatu yang sangat berbeda antara kau dan aku. Aku tidak akan pernah menjadi seperti dirimu.”
“ Elya, berhentilah untuk berharap menjadi diriku. Aku adalah aku, sedang kau adalah kau! Kalaupun kelak kau bisa mencapai posisiku kali ini, kau tetap tak akan menjadi diriku.”
“ Waktuku terbatas Andini…. Aku hanya tinggal menunggu hari. Untuk menggerakkan tubuhku sendiripun aku perlu orang lain. Tapi bolehkah aku berharap untuk merasa berarti bagi orang lain? meninggalkan namaku di hatinya?”
“ Tidak! Kau tidak boleh berharap! Kau hanya boleh mewujudkannya!”
“ Aku…..”
“ Waktu yang terbatasi adalah cambuk yang melecutmu. Berlarilah Elya! Bila kau hanya berjalan, kau takkan mnjadi pemenang. Kau akan tertinggal dan tergilas oleh waktu.”
“ Andaikan aku bisa menyumbangkan jantung, hati dan limpaku untuk Mayang, aku akan memberikannya. Toh sebelum ataupun setelah dua bulan kematian itu akan datang menjemputku. Tapi sayang, kangker itu telah meracuni semuanya. Aku tak dapat memberikan apapun, aku tak berarti, aku ingin lebih cepat mati…”
“Elya, kau masih punya senjata, penamu! Kau penulis! Dengan tulisanmu kau akan bisa menyembuhkan Mayang!”
“ Itu semua dulu Andini! Aku bukan lagi penulis! Aku bahkan tak dapat mengangkat penaku untuk menulis. Hampir semua ogan tubuhku lumpuh!”
“ Tidak Elya! Kau lebih kuat dari yang kau bayangkan. Bukan tanganmu yang akan menjadikanmu penulis, tapi semangat dalam dirimu. Kau rusa terluka yang tengah berlari Elya, kau harus cepat! Kau tak boleh terkejar waktu!”
“ Aku tidak bisa! Jangan paksa aku!!!”
“ Angkat wajahmu, tatap lurus ke depan, tegakkan posisimu, pusatkan fikiranmu pada titik fokus yang kau tuju, maka kau akan merasa bahwa kau bisa melakukan lebih dari yang kau fikirkan!”
“ Benarkah…?”
“ Berhentilah bertanya. Kau sendiri yang akan menjawab!”
***
Aku harus hidup. Aku tidak boleh berhenti sebelum mengakhiri kisah ini. Demi hidup, demi mati, demi selembar nyawa Mayang, demi pena dan kertas ini, demi huruf, kata, kalimat dan paragraph yang tidak boleh terhenti dan mati, dan demi semangat yang telah terlanjur berkobar dan hampir membakarku.
Aku harus hidup. Aku belum boleh mati. Penyakit dalam tubuhku inilah yang seharusnya mati. Ia yang lebih pantas!
Mayang, tunggulah sayang. Tunggulah sampai lembar-lembar kertas ini menjadi gulungan uang yang akan membayar dokter-dokter itu menyembuhkanmu. Maafkan bila kau harus menunggu tanganku yang selalu bergetar setiap menggenggam dan menggoreskan mata pena ini. Tapi lihatlah sayang, tinta itu tetap tumpah, seperti hujan di luar sana, melahirkan baris-baris yang merangkai kegelisahanku menokohkan semua lakon dalam ceritaku.
Semuanya takkan lama Mayang, percayalah, aku takkan berjalan, aku akan berlari sekencangnya, seperti rusa yang terluka!
Tetaplah mengalir tintaku, sebelum kutuntaskan semuanya, kau tak boleh terputus!
“ Mbak Elya, waktunya minum obat dan istirahat.”
Sial! Kenapa makhluk putih ini datang sekarang? Dia berjalan menuju meja di sampingku, membuka laci dan mengeluarkan bungkusan berisi keping-keping putih. Ah, terkutuklah obat-obat itu! Merekalah yang selalu membuatku terpisah dengan dunia yang kuhidupkan dalam kisahku. Tunggulah, aku akan menyelesaikannya.
“ Ini obat-obatnya Mbak, silahkan…”
Perawat itu menyerahkan beberapa keping bulatan kecil ke telapak tanganku, serta segelas air.
“ Mbak Elya tidak membutuhkan apa-apa lagi?”
Aku menggeleng. Ia mengalihkan matanya dari tatapanku yang mungkin menakutkannya.
“ Saya permisi…”
Aku enggan mengangguk. Perawat itu pergi. Susah payah kugeser posisiku untuk meletakkan kembali gelas yang terasa sangat berat bagiku. Gelas itu hampir oleng oleh getaran tanganku yang tak terkendali. Aku sadar, tenagaku kini kian melemah. Bahkan hanya untuk segelas air yang dulu bebannya tak kurasakan.
Akhirnya gelas itu berhasil kuletakkan di tepi meja. Dan kini sebelah tanganku yang lain bergerak menyisipkan butir-butir kecil dalam genggamanku jauh ke dalam sarung bantal, menyusul butir-butir lain yang terdahulu.
Tidak! Aku tidak akan menelannya. Aku tidak akan menghilangkan waktu singkatku hanya untuk melenakan diri akibat efek yang ditimbulkannya.
***
Aku belum mati. Sepotong hari baru telah datang. Entah hari ini akan utuh hingga datangnya malam nanti, atau hanya akan berhenti kala siang, sejam mendatang atau entah kapan. Dan penaku tak boleh berjalan. Ia harus berlari kencang. Sekencang rusa yang terluka.
Tapi tanganku…., ah, mengapa tak hendak bergerak? Tolong, jangan sekarang! Kalaupun tubuh usang ini telah letih dan enggan bergerak, kumohon jangan tangan ini. Hanya ia yang selama ini membantuku merasa tetap hidup, ada, berada di dunia ini. Ada selembar nyawa yang harus dihidupinya, milik Mayang!
Syaraf otakku menegang, meronta, tak ingin terkalahkan oleh ketidaksadaran. Ia tidak ingin tertidur. Seserpih detikpun!
Penglihatanku kian samar, semuanya seperti menjelma bayang, bahkan selimut yang menutupi tubuhku tak ku kenali keberadaannya, aku hanya dapat merasakannya tanpa melihat, telingaku berdenggung, dadaku terasa hampa dari udara, aku tak dapat bernafas. Dan jemariku begitu kaku saat meraba mencari pulpen yang biasanya ku letakkan disisi bantal. Syaraf-syaraf di kepalaku berdenyut hebat, sakit tak terkata, tubuhku seakan tersengat aliran listrik hingga menegang menyakitkan. Allah..............aku masih tak inggin mati ..........
Beberapa tangan menyentuhku, menimbulkan sensasi sakit maha dahsyat tak terkira, tapi aku tak dapat mengaduh, energiku terlalu lemah untuk membuka mulut. Tak sedikitpun organku yang tak merasakan sakit. Oh, inikah sakaratul maut........? Benarkah dua bulan sisa waktuku untuk menikmati dunia ini telah selesai? Apakah kangker dalam tubuhku ini yang akan menjadi pemenang atas ragaku yang akan direngutnya? Oh, aku lupa menghitung sisa hariku. Tolong aku, aku tak ingin berhutang atas alur hidup ceritaku. Aku tak ingin semua tokoh yang ku hidupkan kelak menuntutku dan menggentanyangi kuburku. Mayang, lukiskan wajahmu di penglihatanku! Biar aku memandangmu hingga waktu hidupku sedikit lebih panjang. Allah, kali ini saja, jangan hukum aku karena hendak melawan batas waktumu! Aku harus hidup Allah! Jangan dulu ambil nyawaku. Aku yakin hanya Kau yang berhak menambah episode kehidupanku.
Ahh! Jemariku meraih sesuatu! Aku merasakannya, benda kecil panjang yang selalu ku genggam bergetar bila mataku terbuka. Penaku!
Terima kasih Allah! Kau kirim kembali senjataku, dengan pena ini aku akan melawan semuanya. Ini kuasaMu Allah!
Oh, aku dapat merasakannya, ada keributan di telingaku, aku kembali mendengar! Aku menang!
“Sus, ini kelalaian anda, rupanya obat-obat kita telah beberapa hari tidak dikonsumsi pasien ini. Seharusnya anda benar-benar mengawasinya, Dewan Kesenian telah mengansuransikan banyak dana untuk penyembuhannya“.
Allah! Itu suara! Aku benar-benar dapat mendengarnya!
Silau! Ada cahaya yang kulihat. Mayang itukah kau ......
Ah!!!
Gelap yang pekat.
***
Aku tersadar, tapi aku begitu takut membuka mataku. Kali ini, akankah alamku telah berubah? Apakah semuanya telah berakhir.....? Apakah duniaku telah terpisah dari pena, kertas, dan sehamparan imajinasiku? Apakah seuntai asaku untuk sempat berguna bagi orang lain sebelum mati hanyalah tinggal puing yang mengenangnya saja aku akan merana kecewa? Mayang, telah adakah orang yang lebih kuat dariku yang tengah mempertahankan nyawamu?
Ya Allah! Apa ini? Benda ini? Pena! Apakah dokter dan perawat-perawat itu telah menguburkan benda ini bersamaku? Oh, betapa ringannya kini tanganku meraihnya. Aku tidak merasakan getaran yang baisanya mengakrabi tangan dan jemariku kala menggenggamnya.
Sedikit keberanianku timbul, kugerak-gerakkan anggota tubuhku yang lain. Semuanya memang telah tiada, rasa sakit yang selama ini merejamku, rasa kaku yang mendera itu, semuanya telah lenyap. Kini bahkan aku merasa menikmati kematian yang selama ini kutakutkan.
Tidak, kurasa aku tidak takut mati, aku hanya terlalu ingin berbuat sesuatu untuk orang lain sebelum matiku. Dengan segala keterbatasanku.
Suara langkah! Aku mendengar suara langkah! Pasti bukan perawat itu yang datang! Kali ini malaikat, malaikat yang akan mengintrogasikulah yang datang.
“ Ini sebuah keajaiban.“ Suara dokter! “ setelah seminggu koma, kanker itu telah lenyap dari pasien ini, nyaris tanpa meninggalkan bekas apapun.“
Oh, siapakah pasiennya yang beruntung itu? Mengapa bukan aku yang mendapat keajaiban itu?
“ Benar Dok, sebelumnya saya memang telah yakin, ia akan sembuh. Semangatnya yang telah mengalahkan keganasan penyakitnya.“
Itu suara Andini!
“ Anda benar, ketika koma, ia terus mengigau, menyebut-nyebut nama Mayang. Ia juga kerap berkatakata tentang sebuah.....entahlah, menurut saya seperti sebuah alur kisah. Ia menyebut banyak nama dalam igauannya.“
“ Bukan igauan. Ia seorang penulis. Penulis memang akan berumur lebih panjang selama masih ada sesuatu yang bisa ditulisnya. Terlebih untuk orang lain.“
“ Subhanallah...., sungguh keajaiban yang menakjubkan.“
“ Dok! Lihatlah! Tangannya bergerak memegang pena itu! Berikan kertasnya! Ia telah kembali! Rusa yang terluka itu telah melupakan sakitnya, ia hampir menang!“
Kuberanikan diriku membuka mata dengan segenap tenagaku. Sebuah kertas terulur menyambut. Aku tak sempat melihat tangan siapa yang memberikannya. Kertas putih itu kulihat begitu haus akan tinta penaku. Pun jutaan huruf, kata dan kalimat mendesak ingin dimuntahkan dari mulut penaku.
Aku tidak boleh berjalan!
Aku harus berlari seperti rusa yang terluka!
Demi selembar nyawa milik Mayang!



read more

DAN…TAK…TAK…TAK…

Dan…
Tak…tak…tak…
Suara itu…
Dia datang!
Lantai putih yang dipijaknya mulai melagukan sebuah irama. Lagu tanpa kata indah dan musik merdu yang justru selalu dinanti-nantikannya penuh harap. Ia tertegun menikmatinya. Gendang telinganya menajam, seolah ia berharap ada suara yang lebih dari tak…tak…tak…yang mengalun panjang itu.
Dan suara itu kian dekat, kian lekat menghentak-hentak, seolah suara itu bukan menapak pada jengkal-jengkal yang dilaluinya, namun memekak jauh di dasar lubang telinganya. Ia sangat ingin mendongak kala itu, tapi inginnya patah dengan ketakutannya untuk mengangkat wajah. Dan iapun tinggal memiliki pasrah yang tak pernah jengah menghantui desah demi desah.

Dan sepasang benda putih itupun muncul dari ujung yang diterkanya, persis secantik ketika ia melihatnya pertama kali. Seluruh perhatiannya seketika terpusat tanpa dapat tercegah. Bola matanya seolah lekat pada kemolekan benda panjang melangsing itu. Pandangannya nyala dengan binar. Ia ingin lupa menjadi dirinya setiap kali saat-saat itu terjadi dan terjadi, sampai ia nyaris tak sadar bahwa pandangannya telah merayap jauh menelusuri putih pualam yang menggonjang ganjing detak jantungnya itu, memaksa berbutir-butir keringat menerobosi pori-porinya. Bajunya basah sepagi itu. Desah-desahnya terhenti, degub-degub dalam rongga dadanya dipaksanya pula. Ia khawatir suara-suara yang hanya dapat didengarnya sendiri itu mengusik romansa yang dihangatkannya dalam pandangan itu.
Dan…
Tak…tak…tak…itu menjatuhkaan satu lagi butiran keringat di kening. Lelaki itu semakin kerepotan menahan ujung-ujung syaraf kulitnya yang tiba-tiba saja bergetaran. Ia ingin beralih, tapi ia juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk sepasang putih panjang melangsing itu.
Dan…
Tak…tak…tak…itu membelok, bergerak satu-satu denga irama tetap ke arahnya berdiri. Ia semakin blingsatan. Putih pualam itu sangat gencar menggodanya, mengundang syaraf kelakiannya untuk berdiri tegap menegang seperti sepasukan tentara ketika pemeriksaan barisan oleh komandan. Teringat ia kala mengalami hal yang hampir serupa dengan keadaannya itu. Ketika setahun lalu ia berkeringat dalam dingin malam yang sangat. Kendali sekujur tubuhnya tak dikuasainya lagi, bahkan ia merasa tak menginjak lantai saat itu. Ia ingin menghentikan semuanya, tapi ia juga teramat sayang untuk melewatkannya.
Dan malam itu pertama kali ia melihat seorang wanita berada dalam kamarnya. Wanita yang sesiang tadi menjadi pengantinnya. Wanita yang akan menjadi alas tidurnya.
Wajah perawan itu pucat, matanya memendam ketakutan saat melihat kedatangannya. Ia seolah berprasangka bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk atas dirinya malam itu. Tidur telentangnya gelisah, bahkan perawan itu nyaris bangun dengan gugup kala ia duduk di sisi pembaringannya.
Dan…
Tak…tak…tak…
Putih pualam itu membangun memorinya lebih tinggi. Malam itu ia merasa matanya kian liar menjarah apa saja yang menjadi bagian dari pengantinnya. Ia meraih pundak perawan di depannya, mengelusnya dan perlahan mendorongnya dengan halus kembali dalam posisi telentangnya semula. Ia tidak tahu harus melakukan apa, kesadarannya menyuruh untuk mengikuti instruksi nalurinya.
Dan…
Tak…tak…tak…
Sepasang putih pualam itu kali ini menantangnya. Ia menggigit bibir, tapi sakit yang ditimbulkannya tak membuat isi otaknya yang menggelegak terusik. Mata itu terbelalak berkilatan. Air liurnya hampir menetes. Telinganya mendengung-dengung seakan ingin menghalangi hati nuraninya yang berteriak-teriak mengingatkan bahwa ia bukan penjahat, ia orang baik, ia tidak layak memperturutkan naluri kehewanan yang selama ini berhasil didamaikan dengan hati dan otaknya. Hati nurani itu juga berteriak mengingatkan tentang perut buncit istrinya yang mengandung benih darah dagingnya, tapi dengung-dengung di telinganya tak memperdengarkan itu semua. Ia benar-benar tuli, ia hanya merasakan desir darahnya mendidih, isi celananya yang basah dan matanya sendiri yang buas. Ia haus, ia lapar, ia letih, ia bosan menahan puasa batinnya yang hampir delapan bulan semenjak perawan yang diperistrinya tengah mengandung di rumahnya.
Dan…
Tak…tak…tak…
Ia panik. Kepalanya menoleh kanan dan kiri dengan gusar. Koridor itu rupanya hanya milik mereka berdua. Dinding dan lantai yang mengepung keduanya seolah telah bersiap memejamkan mata, menyumpal telinga dan membekap mulut demi mempersilahkannya. Ia merasa nafas panasnya menyembur garang, kulitnya sendiri yang dilewati hawa itu bergidik. Matanya melebar, detak-detak jantungnya mengalami percepatan yang menyebabkan nafasnya tersengal. Tak ada apapun selain putih pualam di atas sepasang putih panjang penyebab tak…tak…tak…itu yang memenuhi kepalanya. Ia lupa dimana meletakkan Tuhan, ia lupa sepasang malaikat yang selalu mengawalnya, ia lupa ada surga yang diinginkannya seperti ia lupa ada neraka yang sangat ditakutinya. Ia lupa mati, diri, juga janji-janji untuk sang istri. Ia hanya haus, lapar, letih.
Dan…
Tak…tak…tak…
Entah mengapa rangkakan detik-detik itu menjadi lamban, ataukah mungkin lantai koridor di depannyalah yang kian memanjang, ataukah mungkin pula tak…tak…tak… itu hanya berjalan ditempat? Lelaki itu kian resah. Tangan kanannya bermain kasar pada sebuah gagang kayu berujung kain yang sejak tadi tak lepas dari tangannya, sedang sebelah tangannya lagi memainkan ujung seragam biru bertanda pengenal yang setiap hari dikenakannya.
Sebenarnya banyak hal yang harus ia kerjakan setiap kali seragam itu melekat ditubuhnya. Pekerjaan yang sungguh merupakan rutinitas yang melelahkan raga dan jiwanya. Tapi apatah dikata, dari mana lagi ia mendapat uang untuk makan bila ia tidak melakukannya. Ia sadar profesi yang harus dijalaninya itupun telah merengut sebagian harga dirinya, bahkan mungkin bukan lagi sebagian , keseluruhan, hanya ada dua pilihan yang disodorkan untuknya, mati kelaparan atau merelakan diri untuk sebuah pekerjaan yang tidak pernah menjadi cita-cita orang. Yah, memang belum pernah ada orang yang bercita-cita ingin menjadi cleaning servise, ditempat semegah apapun. Pastilah yang dicita-citakan adalah menjadi manager, direktur atau bahkan pemilik tempat-tempat megah itu. Setiap hari ia harus bangun lebih pagi dari para pegawai dan pekerja-pekerja lain, berseragam rapi, bersepatu, kemudian mulai menyapu, mengepel, dan membersihkan kamar mandi sampai waktu kerja datang membawa para pegawai dan karyawan yang berduyun-duyun menginjak-nginjak hasil kerjanya dengan sepatu-sepatu mahal mereka. Dan ia hanya boleh diam, tanpa protes atau menegur, kehadirannya hanya seperti bayangan yang tak pernah mendapat posisi dan nilai dari orang-orang sekitarnya. Jangankan mendapat senyum atau tegur sapa, lirikanpun bahkan ia rasakan sebagai sebentuk pelecehan baginya, karena mata-mata itu tak pernah memberi harga pada kediriannya.
Raganya lelah, pun jiwanya sangat-sangat lelah
Dan…
Sudah seminggu sejak ia mendapat shift pagi, tak…tak…tak… itu mulai berkenalan dengannya, ia bernama Stiletto, berkulit putih dengan tinggi tumit sekitar 20 cm. Bentuk panjanganya yang langsing menjadi sangat indah dimatanya. Diatasnya, sepasang benda cantik lain berdiri menjulang tinggi laksana menara, tanpa penghalang selembar benangpun yang membalutnya. Ia berada bebas merdeka memamerkan diri dengan seluruh warna dan pesonanya, di ujung teratas, sehelai kain terjuntai ringan mengangguk-angguk menggiring ayunan demi ayunan dibawahnya. Masih ada belahan yang dapat dilihat lelaki itu bila putih pualam itu membelakanginya, sebuah celah kecil diantara kain yang melilit itu, celah yang menggemaskan, celah yang membuatnya begetaran, celah yang membuat angannya melayang-layang penasaran, celah yang sering mendorong hasratnya untuk mengulurkan tangan menyingkap sehelai kain itu dan melihat apa yang disembunyikan dibaliknya.
Dan… tak…tak…tak…itu hanya dikenalnya sebatas itu, karena ia tak pernah mengangkat matanya untuk melihat lain-lain di atas kain kecil itu, yang dipastikannya, di atas sana akan ada sebentuk biola yang mengundangnya untuk memeluk, sepasang bukit untuk diraba dan sebentuk wajah dan rambut tersisir yang mewujudkan sosok nyata pemilik tak…tak…tak…itu sebagai manusia. Wanita tepatnya, petugas receptionist yang selau datang ketika ia melakukan aktivitasnya di pagi buta, orang yang selalu pertama kali menginjak-injak hasil karyanya, wanita yang selalu muncul dengan tak…tak…tak…sepatunya yang khas, yang tak…tak…tak…itu seolah menyuruhnya melihat, mendekat dan menghentikannya. tak…tak…tak… yang menawarkan kesempatan untuk mengobatinya dari haus lapar yang tak ia temui di rumah sang istri.
Dan…
Tak…tak…tak…itu tak lagi jauh darinya. Ia telah dekat dan kian dekat. Ia melihat lenggangan di atas Stiletto itu seperti adegan replay di televisi, amat lambat, amat perlahan. Putih pualam itu memenuhi pandangannya, ia tak dapat berpaling. Putih pualam itu justru ia rasakan menuju padanya, melenggok menyediakan apa yang ia inginkan. Ia tak meminta, tapi putih pualam itu memahami gejolaknya. Ia laksana bidadari yang dihadiahkan untuk hidangan buka puasa batinnya. Ia merasa tidak meminta, sungguh, tidak meminta, ia hanya menerima, ia hanya disuguhi, hanya dipersilahkan.
Dan…
tak…tak…tak… itu menyuruhnya meletakkan gagang kayu berujung kain pel di tangannya. Dan…. tak…tak…tak…itu menyuruhnya mulai melangkah menyambut kedatangannya, dan… tak…tak…tak…itu menyuruhnya melupakan hati dan akalnya.
Dan…
Satu satu lelaki itu mengayunkan langkahnya, dan tujuannya telah tiba, ia sampai tepat di hadapan putih pualam dan tak…tak…tak… itu.
Dan…
Tak…tak…tak…itu diam. Lelaki itupun diam. Tingal selangkah lagi dua anak manusia itu akan bertubrukan. Semuanya hening. Tak…tak…tak…itu tak berbekas. Sang lelaki masih lekat matanya pada putih pualam di depannya. Stiletto itu semakin jelas dikenalinya, begitu anggun menopang betis indah di atasnya. Detik-detik menggelisahkan isi kepala, lelaki petugas cleanng service itu belum berhasil memutuskan harus memulai dari mana. Ia baru sadar bahwa apa yang sedang dan akan dilakukannya sangatlah tidak terencana. Ia tdak pernah berniat melakukan apapun selain menikmati suara tak…tak…tak… itu. Sama sekali tidak. Semuanya serba spontan, semuanya serba kebetulan, semua hanya lantaran kesempatan dan penawaran sang tak…tak…tak…yang mungkin sama sekali tidak sadar telah mencuri perhatiannya, meracuni otak dan hatinya serta menantang kelaki-lakiannya.
Resah lelaki itu memuncak. Kekhawatirannya membengkak. Ia nyaris terlonjak kala sebuah getar meronta-ronta di kantong bajunya.
“ Tit tilit tit tililililit……..”
Suara itu menguap pula dari HP tua di kantnognya. Fokus perhatiannya pada putih pualam itu buyar seketika. Tangan berototnya menyelinap cepat meraih benda yang telah berhasil mengusiknya. Ia tidak menyaksikan ketika pemilik tak…tak…tak…di depannya mengerutkan kening mempertanyakan tingkahnya dalam diam.
Sebuah pesan.
Mas Narto, istri sampeyan sudah melahirkan. Cepat pulang setelah kerja.
Sang lelaki terpana. Ia takjub dengan hal yang serba tiba-tiba itu. Jarinya diam, ia tak memiliki bahasa untuk membalas pesan singkat itu.
“ Maaf, anda menghalangi jalan saya.”
Suara itu memecah keterpakuan sang lelaki. Ia mendongak mengangkat wajah, mendobrak ketakutan yang selama ini mengungkungnya. Ditatapnya wajah di depannya lurus-lurus. Wajah bertopeng bedak dengan merah yang rekah di bibirnya. Juga ranum kemerahan di pipinya.
Ia cantik. Sungguh terlalu cantik dari apa yang dibayangkannya, juga lebih cantik dari wanita yang telah diperistrinya.
Sebuah getaran di tangan lelaki itu kembali menghentakkannya. Disusul nada dering khusus yang mengabarkan bahwa entah di seberang mana HP sang istri sedang memanggilnya.
Ia tahu harus memilih, ia tahu harus memutuskan, ia tahu ia yang akan menentukan lanjutan kisahnya hari ini. Ia hendak maju menuntaskan kegelisahannya, namun HP di tangannya terus berteriak-teriak dan meronta-ronta menuntutnya. Langkahnya yang hendak melangkah surut ke belakang. Ia mundur beberapa jenak dan menekan tombol terima untuk menghentikan keramaian di HPnya.
“ Mas…”
Suara pelan berbisik lewat HP yang menempel di telinganya. Suara itu lemah, lelah.
Dan….
Tak…tak…tak…itu membelah sunyi. Tak…tak…tak…itu memulai lagi iramanya. Tak…tak…tak…itu kembali berayun meningggalkannya. Dan… tak…tak…tak… itu meninggalkan hening di hatinya.



read more

BULAN SAMAR DI LANGIT JOGJA

Sebuah senyum rekah di bibir gadis itu. Ia menghela nafas seraya menyandarkan tubuh kurusnya pada sebatang kayu yang menyangga langit-langit kamar. Seketika tarikan wajahnya merenggang, seakan puluhan benang kusut di pikirannya terurai lurus seketika. Ia memejamkan mata, binar-binar di raut mukanya kian purna kala sebentuk wajah hadir di lamunannya.
Yah, badai itu akhirnya tinggal riak kecil saja. Dan sebuah kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya kian dekat. Tinggal menunggu jam, menghitung menit dan detik yang sangat tidak berarti dibanding hari-hari penantiannya selama ini. Dan sesuatu yang ditunggunya itulah yang akan merombak total kehidupannya, sesuatu yang pernah bahkan sering dan selalu didambakannya sebagai seorang wanita. Semuanya tidak lagi hanya angan, sebuah SMS dalam inbox HP di genggamannya adalah bukti semua itu.
Tiba-tiba gadis itu membuka mata dan menegakkan kembali posisi duduknya, ia mengaktifkan HP dan membuka inbox. Ia ingin membaca sekali lagi SMS yang terakhir diterimanya. SMS dari sebuah nama yang mendominasi isi HPnya.


Pri, aku…..
Bukan! Bukan SMS itu yang dicarinya, sebuah SMS lagi.
Mas kangen, Pri….
Bukan juga!
Sedang apa kamu sayang…?
Bukan!
Gadis bernama Pri itu terus menekan tombol gulir. Rupanya banyak sekali SMS yang entah tidak sempat atau tidak ingin ia hapus dari memory HPnya. Ia mulai gelisah setelah tiga SMS yang dibukanya bukanlah SMS yang ia cari. Jangan-jangan yang dibacanya tadi hanyalah sebuah ilusi, atau tadi ia masih terbawa alam mimpinya karena memang ketika itu hari masih terlalu dini.
SMS ke empat belas, SMS terakhir.
Pri, hari ini aku pulang ke Jogja, tunggu aku di rumahmu, aku datang melamar.
Yah, ini dia SMSnya!
Dada gadis bernama Pri itu kian mengembang, seolah menampung ribuan bunga yang tengah bermekaran disana. Herman! Herman! Herman! Hanya nama itu yang mendengung-dengung di seantero batinnya. Seolah ia yakin Herman yang berada berpuluh-puluh kilometer darinya akan mendengar setiap degub jantung, debar hati dan hela nafasnya yang kini berirama bahagia.
Wajah Herman yang matang terpanggang terik matahari tak juga hendak enyah dari matanya. Dan gadis itu menikmatinya. Ia ingin mengenang pangeran pujaan hatinya yang mungkin hanya tampan di matanya. Pangeran yang semenjak empat tahun lalu hadir dalam kehidupannya. Ketika itu Herman secara tidak sengaja mampir ngopi di warung Emaknya. Dan dari pandangan pertama yang terjadi di warung sederhana itu, bermulalah sebuah cinta yang juga sederhana milik Pri. Dan mata Herman yang kala itu juga tengah memandangnya mengisyaratkan ‘ya’ untuk cintanya.
Hingga datanglah masanya hubungan mereka harus dicoba. Setahun setelah purna percintaan di warung kopi itu, Herman datang di suatu pagi, sebuta pagi ini.
“ Pri, aku mau pergi ke Jakarta. Kamu jaga diri baik-baik ya…”
Pri yang tengah menemani Herman menyeduh kopi buatannya itu terlonjak. Ia tidak pernah mengira rencana yang memang sebelumnya tak pernah sama sekali disinggung-singgung Herman padanya.
“ Aku mau cari uang. Aku rasa, sudah saatnya lelaki sepertiku harus merantau.”
Pri diam, ia belum menemukan kata untuk menyela.
“Pri, kamu berdo’a saja, semoga disana aku cepat dapat kerja. Kalau nanti uangku sudah banyak, aku akan pulang dan kita akan menikah!”
Kukuh sekali lelaki itu mengatakan keinginannya, sekukuh tapak tangannya yang erat menggenggam tangan Pri dan membuatnya hanya bisa tertunduk. Sebenarnya ia ingin berkata pada sosok di depannya bahwa ia begitu takut perpisahan, ia takut kehilangan waktu-waktunya yang indah saat menunggu warung bersama pelanggan istimewanya itu, ia juga takut bila di Jakarta nanti akan banyak gadis yang membuat Herman melupakannya. Tapi sayang, semuanya hanya bisa ditelannya sendiri karena seketika itu telinganya menangkap suara sandal jepit yang diseret tertatih mendekatinya. Emak datang, dan ia tidak mau mojoknya bersama Herman mengundang kecurigaan beliau.
Dengan hati yang tak lagi utuh ia berlalu dari tempatnya, meninggalkan separoh hatinya yang dibawa pergi oleh Herman setelah membayar kopi pada Emak.
Kala itu, dari balik pintu yang menyekat warung dan ruang tamu di rumah Pri, setetes air mata jatuh. Menandakan sepotong hati yang terluka oleh duka. Ia tidak berani untuk berteriak memanggil kekasihnya atau berlari menyusul sungguhpun ia sangat ingin melakukannya. Hanya tatapannya yang lepas yang merengek mencegah setiap langkah Herman, tapi kaki kokoh itu tak peduli, ia terus menjauh menciptakan jarak yang kian tak tertempuh.
Dan kedatangan hari ini telah membuktikan kesetiaan Herman yang dirindu-rindukannya. Waktu tiga tahun di tengah hiruk pikuk ibu kota tidak membuatnya lupa pada gadisnya di desa. Hari ini ia akan datang, melamarnya! Oh, betapa ia tak pernah merasa sebahagia ini.
“ Pri! Kok masih mbangkong di situ?” Suara di belakang gadis yang tengah terbuai lamunannya itu nyaris membuatnya terlonjak. Ia buru-buru meletakkan HPnya di bawah bantal dan bangkit dari tempatnya.
“ Kamu itu Pri! sejak dulu Emak nggak setuju kamu beli HP. Bikin males! Buang-buang uang! Eh, la kok Pak Lekmu ngeyel beli HP buatmu! Ya ini akibatnya!”
Pri hanya diam mendengar gerutuan Emak. Dia terlalu bahagia hingga enggan untuk berdebat dengan beliau pagi ini. Ia melangkah ke dapur, mengambil setumpukan piring dan membawanya ke warung di beranda rumah.
Pikirannya masih juga bergentayangan ketika keheningan di warung itu mulai pecah oleh datangnya beberapa pelanggan. Sebenarnya ia sangat ingin membagi perasaannya pada orang-orang itu, pada Emak, juga Bapak. Tapi ia tidak bisa memungkiri keraguan yang mulai menyusup mengganggu bahagianya. Ia khawatir terjadi sesuatu yang membuat menit-menit ke depan yang dinantikannya urung terjadi. Jika Herman membohoginya dan tidak datang untuk melamar, sedang ia telah menceritakan hal itu pada orang lain, maka seumur-umur hidupnya akan habis hanya untuk bersembunyi dari bayangan malu yang mengejar-ngejarnya.
Dan warna-warna perasaan itu akhirnya hanya disimpannya sendiri, dalam diam, dalam setiap gerakan tangan, dalam setiap desah dan resah.
Seorang lelaki rebah pada sandaran kursi di dalam bus sepi penumpang yang melaju cepat membelah pagi yang masih basah berembun. Mata lebarnya yang tajam menerawangi pemandangan di luar jendela bus, pikirannya mengembara ke dunia yang entah dimana. Dunia tanpa nama yang hanya ada bahagia di dalamnya.
Ia datang. Melunasi janjinya pada seseorang.
“ Dengaren kamu mau ngepel rumah, Pri!”
Sapaan Emak tidak mengusik Pri yang tengah mengepel lantai ruang tamu. Gadis itu tetap melanjutkan pekerjaannya.
“ Biasanya kamu paling males bersih-bersih rumah. Makanya sampai sekarang urung payu rabi!”
Gadis itu hanya tersenyum. Terutama untuk tiga kata terakhir Emaknya.
Tunggulah Mak, tunggu sampai hari ini menjawabnya. Aku belum ingin mengatakannya pada Emak. Biar Herman yang melakukannya. Hati sang gadis menjawab tanpa suara.
“ Lo, kok malah senyum-senyum sendiri Pri! Kamu ini memang aneh hari ini! Jangan-jangan kamu kelebon demit!”
Emak menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berlalu. Sayup-sayup masih terdengar omelan perempuan yang hampir berusia setengah abad itu dari dalam kamarnya. Namun Pri tidak sempat mendengar dan memikirkannya. Ia hanya ingin tersenyum tanpa beban apapun hari ini.
Sepi sepeninggal Emak membuat Pri semakin asyik bercengkrama dengan lamunannya. Layaknya seorang perawan yang menunggu masa-masa pinangannya yang telah begitu dekat, hatinya kian dilanda debar yang mendegubkan jantungnya kian kencang. Ia gugup, takut, malu dan entah apalagi nama perasaanya. Ia mengira-ngira apakah kiranya Herman juga merasakan hal yang sama sepertinya. Pri menebak-nebak, seperti apakah wajah pangerannya itu kini setelah enam tahun di tanah orang? Sikapnya, tutur katanya, apakah Herman masih seperti dulu ketika sebelum meninggalkan kampung halamannya? Apakah ia masih memiliki tatap mata tajam yang dulu seakan mampu menembus hatinya dan meninggalkan bekas yang bernama cinta?
Pri jengah menerka-nerka jawaban dari semua pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya. Ia meraba sakunya dan mengintip layar HP yang menyembul dari celah bajunya.
Ia menghela nafas berat sejenak kemudian dan meletakkan kembali benda itu di dasar sakunya.
Ia masih menunggu, dengan segenap sepi dan diamnya, menungu pemenuhan janji seseorang yang telah mencuri hatinya.
Sebuah bus berhenti di pertigaan menjelang pasar. Seorang lelaki berkemaja kotak-kotak turun membawa tas besar. Ia berhenti sejenak memandangi kepergian bus yang tadi ditumpanginya, lantas melanjutkan langkahnya masuk area pasar.
Di sebuah kios pakaian yang paling akhir, lelaki yang tak lain adalah Herman itu berhenti. Sesaat ia membolak-balik tumpukan pakaian di depannya. Pada deretan mukena yang bergantungan, gerakan tangannya melambat. Beberapa mukena yang dipegangnya dibanding-bandingkan. Dan salah satu dari sekian model mukena itu membuatnya tertegun. Sebuah mukena putih berenda biru. Kemudian sebuah wajah berkelebat, wajah Pri yang kian cantik dalam balutan mukena indah itu.
“ Beli mukena, Mas?” penjaga kios itu menghampirinya.
“ Yang ini berapa?”
“ Seratus tujuh puluh Mas. Boleh kurang.”
“ Seratus, Mas.”
“ Wah, belum dapat. Pasnya tambah dua puluh ribu lagi.”
Herman menimbang. Uang di sakunya tak seberapa jumlahnya. Tapi ia teringat sesuatu, sesuatu yang membuatnya mau melakukan apa saja demi mendapatkannya, termasuk kini membuatnya dengan mantap merogoh beberapa lembar uang kertas dari sakunya.
Yah, sebuah cita-citalah yang membuatnya seyakin itu. Siapapun dirinya, apapun yang pernah dilakukannya, profesi apapun yang dilakoninya di ibu kota, berapapun orang yang menganggapnya hina, tak berharga, sampah masyarakat, tapi cita-cita itulah yang masih selalu ia pertahankan mati-matian dalam hidupnya, cita-cita untuk memiliki seorang wanita sholehah untuk menjadi pendamping hidupnya, memperistri seseorang yang akan menerimanya apa adanya. Bukan karena dan untuk apa. Dan pilihannya telah jatuh pada Pri. Pri yang bukan siapa-siapa, Pri yang bukan apa-apa, Pri yang orang biasa, Pri yang bukan sarjana, bukan anak orang berpunya, bukan keturunan raja. Pri yang diharapkannya akan memperbaiki kehidupannya dengan kekuatan cinta.
Herman mengulurkan beberapa lembar uang untuk membayar pilihannya. Dan dengan langkah lebar yang lebih tegap, ia menjinjing bungkusan itu menelusuri jalanan pasar yang hanya tinggal beberapa meter dari warung yang tengah dihuni seorang gadis yang belum lelah menunggunya.
Langkahnya ringan, tanpa beban, penuh harapan. Yah, hari ini ia merasa berada di puncak kebahagiaan. Ia merasa inilah hari yang paling istimewa yang telah begitu lama ia nantikan. Ia tak peduli lalu lalang orang yang berseliweran di depannya, ia tak peduli dengan kebisingan pagi yang tak seperti biasanya, ia tidak menyadari betapa tergesanya langkah orang-orang yang berpapasan dengannya, ia tidak sadar bumi yang yang dipijaknya tengah bergoyang, dan kejadian yang teramat cepat itu juga membuatnya tidak merasa betapa maut tengah datang menyambanginya bersama hantaman tembok beton dari langit-langit pasar berlantai dua yang runtuh menimpa tubuhnya.
Di hari yang belum siang itulah, di bawah puing reruntuhan pasar yang lengang, lelaki itu menghembuskan nafas panjang, perlahan, dan takkan terulang. Lelaki itu pergi kepada Tuhannya membawa hati yang berbunga bahagia.
Seorang gadis berlari kencang setelah berhasil menyelinap memisahkan diri dari gerombolan orang yang berlarian panik ke arah utara. Larinya yang menantang arah membuat heran beberapa orang yang melihatnya. Orang-orang yang meneriakinya teracuhkan. Ia tak peduli. Ada sesuatu yang harus membuatnya kembali ke rumah, sesuatu yang amat berharga yang tak ingin ia tinggalkan.
“ Tsunami!!!”
“ Tsunami!!!
“ Tsunami!!!”
Teriakan kalut itu tak tertangkap gendang telingannya. Getaran bumi yang kembali bergoncang tak juga menggentarkan nyalinya. Ia lupa Tsunami yang pernah disaksikannya di layar kaca. Ia lupa bahwa ia hanya memiliki selembar nyawa. Ia harus pulang, menanti seseorang yang akan datang. Ia tidak boleh pergi. Ia tidak boleh membuat pangerannya kecewa bila ia tak menyambut kedatangannya.
Ia terus berlari, menerobos arus manusia yang juga berlari, ia terjatuh, bangun, berlari kembali, melompati serakan-serakan runtuhan toko di sepanjang jalan, menginjaki puing-puing pasar, menerobos bangunan-bangunan yang tinggal rangka tak utuh. Ia belum sadar, betapa beberapa menit lalu semuanya masih berdiri kokoh. Ia tidak sempat terpana, tidak sempat takjub, tidak sempat bereaksi apapun atas pemandangan yang dilewati matanya. Ia hanya ingin melakukan satu hal. Menunggu. Menunggu seseorang yang akan melunasi hutang janji padanya.
Hari hampir siang. Hari yang tanpa matahari. Ia berhenti di depan tiang listrik dengan coretan cat yang amat ia kenali. Beberapa meter dari tiang itulah, beberapa menit lalu masih berdiri sebuah rumah. Rumah yang ia tuju, rumah yang tidak ingin ia tinggalkan. Rumah yang kini lebur tanpa bentuk.
Mata gadis itu nanar dalam keterpakuannya. Ia baru terkejut menyadari keheningan yang mengepungnya. Ia baru teringat wajah-wajah penuh ketakutan yang tadi di temuinya di sepanjang jalan. Ia baru teringat betapa kuatnya tangan Bapak yang mencengkram lengannya memaksanya untuk ikut berlari. Dan ia juga masih ingat, bahwa hari ini adalah hari yang ditunggunya. Hari yang dicita-citakannya. Hari yang akan mengembalikan Herman padanya.
Ia menyeret kakinya ke depan, mendekati tumpukan genting, tembok, kayu, kaca, bambu dan entah apalagi yang teronggok remuk di depannya.
Tubuhnya limbung. Ia tersungkur bersimpuh dengan tubuh gemetar. Jemarinya meraba semua benda yang terjangkau olehnya.
Hari ini Herman akan datang. Ia tak boleh pergi. Ia akan tetap menunggu lelaki itu bersama segala rasa, jiwa dan raganya. Entah apapun yang terjadi!
Sore datang di Jogja seperti hari kemaren. Beberapa orang juga telah kembali berdatangan setelah isu Tsunami yang menakutkan mereka tidak terjadi. Tiada wajah yang tak bersedih kala itu. Tiada hati yang tak pedih melihat apa yang diperjuangkan seumur hidup mereka kini musnah di depan mata. Ada ibu yang berteriak-teriak mencari anak bayinya, ada ayah yang menemukan anaknya tewas tertimbun dinding rumahnya, ada balita lapar yang tak berhenti menangis di gendongan petugas kemanusiaan, ada nenek tua yang mengerang menahan kakinya yang terjepit runtuhan bata.
Matahari tak hendak menengok Jogja di penghujung musim penghujan itu. Awan berarak pekat di atas sana. Seorang gadis di sisi puing rumahnya terduduk diam. Ia berbicara tanpa kata pada hatinya, menekadkan sesuatu yang harus tetap dilakukannya. Hari hampir berakhir, tapi belum berakhir, masih ada waktu untuk menunggu. Ia yakin Herman tetap akan datang hari itu.
Dan malam yang mulai datang tak mengantarkan juga sosok Herman padanya. Ia tertunduk bersama tangisnya yang pecah. Ia ingin berteriak pada apapun, memeluk siapapun. Sedang di langit pekat, bulan kian samar, gerimis luruh berderai



read more

Pesta Syukuran

Pesta Syukuran
PAK Mahdi sudah tampil rapi, berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung kotak-kotak biru. Ia berdiri di ambang pintu pagar rumahnya, menyambut tamu undangan. Kemarin, surat undangan syukuran sebanyak 200 lembar telah dikirimkan ke rumah-rumah tetangga sekitar dan teman-teman dekat.

Di ruang keluarga yang cukup luas mirip aula itu, Bu Mahdi sibuk mempersiapkan hidangan ala prasmanan dengan menu istimewa. Di atas meja panjang yang terbalut kain hijau, ada gule dan sate kambing, sate ayam, ayam bakar, ayam goreng, opor ayam, bestik daging sapi, sop buntut, acar, sambal hati. Juga ada berbagai macam buah segar: apel merah, anggur hijau, jeruk impor, peer dan pisang mas.

Dengan wajah berseri-seri, Pak Mahdi melirik arlojinya. Sudah jam 19:30. Ia menduga, tamu undangan akan hadir tepat pada jam 20:00, sesuai waktu yang tertulis di dalam surat undangan. Menit-menit berlalu, dan ketika arlojinya sudah menunjukkan jam 19:55, belum ada satu pun tamu yang hadir. Bu Mahdi tergopoh-gopoh keluar dari ruang keluarga, setelah selesai mempersiapkan hidangan istimewa itu.

"Kok belum ada yang datang, Pak?" tanyanya dengan wajah tegang.
"Mungkin orang-orang di lingkungan perumahan ini sangat disiplin, Bu. Mereka mungkin akan datang tepat pukul delapan. Lima menit lagi," jawab Pak Mahdi dengan wajah yang juga tiba-tiba nampak tegang.

Bu Mahdi mencibir. "Uh! Menghadiri undangan pesta kok dipas jamnya. Dasar sok disiplin," gerutunya dengan kesal.
Pak Mahdi juga mulai dilanda kesal, karena belum juga ada seorang pun tamu undangan yang hadir di rumahnya. Ia mulai bertanya-tanya, kenapa tetangga-tetangga dekatnya juga belum hadir? Apakah mereka sedang tidak ada di rumah? Ia memang belum mengenal semua tetangganya, karena baru saja pindahan sepekan lalu. Rumah barunya yang megah berlantai dua itu terletak di tengah-tengah lahan kosong di tengah perumahan itu. Dulu, ia membeli sejumlah kaplingan sekaligus, dan di bagian tengah kaplingan itulah ia mendirikan rumah megahnya itu. Kini, rumahnya itu satu-satunya rumah termegah di kawasan perumahan itu. Rumah-rumah tetangganya hanya bertipe 21 dan 36.

"Mungkinkah semua tetangga dan teman-teman dekatmu tidak ada yang bersedia hadir, Pak?" tanya Bu Mahdi dengan wajah kesal.
"Sabarlah, Bu. Mungkin sudah menjadi kebiasaan di kampung ini, jika menghadiri undangan selalu terlambat." Pak Mahdi mencoba menghibur diri.

"Tapi ini sudah lewat lima belas menit, Pak."
Kembali Pak Mahdi melirik arlojinya. Memang sudah lewat lima belas menit dari jam delapan. Wajah Bu Mahdi dan Pak Mahdi semakin tegang, karena menit-menit terus berlalu, tapi belum juga ada satu pun tamu undangan yang hadir.

Tiga orang pembantu dan dua sopirnya nampak tersenyum-senyum di ambang pintu ruang keluarga. Mereka pasti berharap agar pesta syukuran itu gagal, atau hanya dihadiri sebagian kecil tamu undangan. Sebab, jika pesta syukuran itu gagal atau hanya dihadiri sebagian kecil tamu undangan, maka akan ada banyak sisa hidangan yang bisa dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga di rumah.

Kini sudah jam 21 kurang 10 menit. Dan tetap belum ada seorang pun tamu undangan yang hadir. Dengan kesal, Pak Mahdi kemudian mencoba menelepon teman-teman dekat yang telah diundangnya. Tapi ternyata mereka semua mematikan hp-nya. Sedangkan telepon di rumah mereka juga tidak bisa dihubungi.

"Apa perlu kita menyuruh sopir-sopir itu untuk mengingatkan tetangga-tetangga dekat agar segera hadir, Pak?" Bu Mahdi bingung.
"Ah, tak usah repot-repot, Bu."

"Tapi bagaimana kalau pesta syukuran malam ini gagal, Pak?"
"Kalau tidak ada yang bersedia datang, kita justru tidak repot-repot, Bu."

"Kamu ini bagaimana sih, Pak?"
"Ah, sudahlah, Bu. Yang penting, nadzar kita mengadakan pesta syukuran sudah kita lakukan. Dan kalau ternyata tidak ada yang datang, bukan urusan kita. Hidangan yang sudah kita sajikan, bisa dibawa pulang oleh sopir-sopir itu."

Bu Mahdi kemudian bungkam. Tapi hatinya risau. Ia menduga, semua tetangga dan teman-teman dekat sudah tahu betapa Pak Hasan adalah pejabat yang korup. Rumah megah itu juga hasil dari korupsi.

"Kalau sampai pukul sembilan nanti belum ada tamu yang hadir, kita tutup saja pintu pagar ini, dan semua lampu dipadamkan, Bu. Aku sudah capek, ingin segera tidur. Besok aku punya banyak acara penting. Ada rapat di hotel." Pak Mahdi nampak mulai putus asa.

Bu Mahdi kemudian bergegas masuk ke kamar tidurnya. Rasa kesal bercampur sedih tidak bisa dibendungnya. Ia terpekur sambil bercermin di meja rias. Kini, ia seolah-olah sedang ditelanjangi oleh tetangga dan teman-teman dekat. Mereka tidak bersedia hadir pasti karena tidak sudi menikmati hidangan yang berasal dari uang hasil korupsi.

Kini, di mana-mana memang sedang ada gerakan mengutuk para koruptor. Kini, semua pejabat yang hidup bermewah-mewahan dan punya rumah megah telah menjadi pergunjingan masyarakat di sekitarnya. Dan sejak muncul gerakan mengutuk para koruptor, Pak Mahdi nampak risau. Lalu, Bu Mahdi menyarankan untuk mengadakan acara pesta syukuran dengan mengundang semua tetangga dan teman-teman dekat. Dalam pesta syukuran itu, selain menikmati hidangan istimewa, semua tamu diminta untuk membaca doa bersama yang akan dipimpin oleh seorang ulama.

"Kalau rumah yang kita bangun sudah kita tempati, kita memang harus mengadakan pesta syukuran, Bu," kata Pak Mahdi.
Lalu Bu Mahdi bilang bahwa kata Pak Mahdi itu sebagai sebuah nadzar yang harus dilaksanakan. Dan kini, nadzar itu sudah dilaksanakan, tapi ternyata terancam gagal total.

Pak Mahdi tiba-tiba menyusul Bu Mahdi ke kamar. "Pintu pagar sudah ditutup, Bu. Ayo tidur saja. Biarkan saja sopir-sopir dan pembantu-pembantu itu menikmati hidangan yang ada."

Bu Mahdi menangis. "Rupanya semua orang sudah tahu kalau kamu korupsi, Pak."
"Ah, persetan, Bu. Yang penting, tidak akan ada proses hukum yang bisa mengadili para koruptor seperti aku. Kalau kita dikucilkan di dalam negeri, masih ada tempat untuk hidup nyaman di luar negeri. Aku bisa mengikuti para seniorku yang kini hidup nyaman di negara-negara lain."
ESOKNYA, Pak Mahdi dan Bu Mahdi sibuk menerima telepon dari teman-teman dekat yang tidak bisa menghadiri undangan pesta syukuran. Kebanyakan mereka tidak bisa hadir karena ada udzur berupa musibah.

"Maaf ya, Pak Mahdi. Saya dan nyonya tidak bisa hadir, karena mendadak ada kerabat dekat yang meninggal dunia."
"Maaf, ya Bu Mahdi. Saya dan suami tidak bisa hadir, karena anak kami tiba-tiba sakit dan harus dibawa ke rumah sakit."

"Aduh, saya minta maaf karena tidak bisa hadir. Maklumlah, kami sedang berduka atas wafatnya anjing kesayangan kami."
"Sungguh, kami sedianya sudah bersiap-siap untuk hadir. Tapi mendadak ban mobil kami meledak, sedangkan ban serepnya baru saja dipinjam tetangga dekat."

Pak Mahdi dan Bu Mahdi sangat kesal sehabis menerima telepon. Sebab, semua teman dekatnya meminta maaf karena tidak hadir gara-gara mengalami musibah.
Seolah-olah mereka mengatakan bahwa musibah yang dialaminya disebabkan oleh undangan pesta syukuran itu. Mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa jika mereka hadir pasti akan tertimpa musibah yang lebih besar.

Kini, Pak Mahdi dan Bu Mahdi semakin yakin, betapa semua teman dan tetangga sudah memandangnya sebagai manusia yang menjijikkan. Mereka tidak bersedia menghadiri undangan pesta syukuran pasti karena jijik.

"Gagalnya pesta syukuran yang kita laksanakan, justru membuatku semakin bergairah mencari banyak uang untuk bekal hidup di luar negeri, Bu. Rasanya kita tidak akan bisa nyaman lagi tinggal di dalam negeri. Masa tugasku tinggal satu tahun. Waktu satu tahun akan kugunakan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya," tutur Pak Mahdi dengan menerawang jauh. Terbayang para seniornya yang kini sedang main golf dan main catur di Singapura.
GERAKAN mengutuk para koruptor semakin marak di mana-mana. Pak Mahdi dan Bu Mahdi semakin risau. Dan di pagi itu, ketika sedang menikmati kopi dan roti di beranda belakang, tiba-tiba pembantu-pembantu dan sopir-sopirnya mendekat dan berpamitan. Mereka mengaku takut, karena rumah megah berlantai dua itu terasa angker. Mereka juga mengaku sering bermimpi buruk dan mengerikan. Dalam mimpi mereka seolah-olah melihat rumah megah berlantai dua itu sedang terbakar, dan mereka terperangkap di dalam kobaran api.

Dan sejak kehilangan semua pembantu dan sopirnya, Pak Mahdi dan Bu Mahdi merasa sedih, tegang dan takut menghuni rumah barunya yang megah berlantai dua itu. Seolah-olah rumahnya itu bagaikan penjara yang mengurungnya. Kini, semua sanak familinya juga semakin menjauh.

"Sebaiknya kita menyusul anak-anak, Pak." Bu Mahdi tak tahan lagi tinggal di rumah megah itu. Terbayang selalu dua anaknya yang kini sedang kuliah di Singapura.

"Ya, Bu. Kita memang harus segera menyusul mereka, untuk mencari tempat tinggal di sana. Mereka tidak usah pulang setelah selesai kuliah. Biarlah mereka
tetap di sana."

"Rumah ini harus segera dijual, Pak."
Pak Mahdi setuju, tapi menjual rumah megah sekarang tidak mudah. Ia teringat sejumlah seniornya yang kesulitan menjual rumah megah, lalu terpaksa ditinggalkan begitu saja.

"Sebaiknya kita memasang iklan di koran-koran, juga pengumuman di pintu pagar bahwa rumah ini dijual, Pak," usul Bu Mahdi.
Tanpa bicara lagi, Pak Mahdi segera memasang iklan di koran-koran dan papan pengumuman di pintu pagar. Dan hari-hari selanjutnya, Bu Mahdi terpaksa sibuk di dapur, menyapu lantai, mencuci pakaian, belanja ke pasar, karena tidak bisa lagi mencari pembantu. Pak Mahdi juga terpaksa pergi dan pulang kantor dengan menyetir mobilnya sendiri, karena tidak bisa mencari sopir lagi.

"Ada surat undangan pesta syukuran dari Pak Samad," ujar Bu Mahdi sambil menyerahkan surat undangan tanpa amplop selebar kartu pos itu, ketika Pak Mahdi baru pulang kantor, sore itu.

"Pak Samad mengadakan pesta syukuran? Memangnya barusan memperoleh rejeki dari mana tukang becak itu?"
Pak Mahdi nampak heran. Ia tahu, Pak Samad sehari-hari menjadi tukang becak. Rumahnya di seberang lahan kosong, sebelah timur, yang setiap hari dilaluinya ketika ia pergi dan pulang kantor. Rumah Pak Samad hanya tipe 21.

Dengan dorongan rasa ingin beramah tamah dengan para tetangga, Pak Mahdi bersedia menghadiri undangan Pak Samad. Ia tiba di rumah Pak Samad tepat waktu. Dan ia heran, karena halaman rumah Pak Samad sudah dipenuhi oleh tamu undangan.

Wajah Pak Samad berseri-seri ketika menjabat tangan Pak Mahdi. "Maaf, Pak. Silahkan duduk. Tempatnya kotor," ujarnya sambil menunjuk selembar tikar yang terpaksa digelar di tepi jalan, karena semua kursi sudah diduduki oleh tamu.

Dengan berat hati, Pak Mahdi duduk lesehan di atas tikar, sehingga perutnya yang gendut terasa pegal. Pantatnya juga terasa nyeri, karena hamparan aspal di bawah tikar kurang rata.

Sebentar kemudian, Pak Samad duduk di samping Pak Modin yang ditunjuk untuk menjadi pemimpin doa bersama. Dan sebelum berdoa, Pak Modin menjelaskan bahwa tuan rumah mengadakan pesta syukuran sederhana itu karena telah mampu membeli becak baru.

Dan setelah berdoa bersama, hidangan yang disajikan ternyata cuma sepiring nasi goreng dan segelas teh manis. Semua hadirin menikmati hidangan pesta syukuran yang sangat sederhana itu.

Pak Mahdi nampak muak dan ingin muntah, ketika baru saja menelan sesendok nasi goreng yang terasa sangat hambar itu. Tapi, anehnya, wajah semua hadirin nampak berseri-seri menikmati nasi goreng itu.
Pondok Ampel


read more

Kopi Seledri

Kopi Seledri
Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangkir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan terompet Miles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah?
Hidup kita memang penuh kenangan. Sebuah kisah sambung-menyambung dengan kisah lain. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga kita selalu menginginkan kenangan itu datang lagi. Kadang pula tercabik di sana-sini, dan meninggalkan perih yang mengiris. Aku ingin menjadi bagian dari kenangan itu, sepotong scene dalam kehidupanmu tanpa harus tahu akan kau letakkan di mana intro, reffrain, atau ending? Atau mungkin menjadi bagian interlude yang bisa timbul-tenggelam?

Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di saat malam sangat senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas. Kenangan sering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu saja. Atau mungkin beringsut, ngendon sekian lama, membentuk sebuah gambar di bingkai kaca, dan melambai-lambai bak fatamorgana. Kenangan memang maya, tapi kita sering ditarik dalam alam nyata.
Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang pernah ada, membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir mungil kopi seledri. Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Bersama pendar-pendar bola matamu yang kadang tampil malu-malu. Bersama sekulum senyummu yang selalu dirindukan. Aku hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena pertemuan sudah menjadi sesuatu yang asing.
Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu adalah bening. Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. "Aku ingin bertemu denganmu besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku.

Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana?"
Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama setelah dua tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tmpt biasanya. Pokoknya sore selepas kuliah."
Pertemuanku dengan Ainun memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan kembali dipertemukan oleh waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah merasa kalau kita sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa yang hanya bisa dikhayalkan, akhirnya bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti pertemuan dua muka, pertemuan dua telapak tangan, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa ditebak dan tak terukur.
Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena takdir itu sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaan (yang tersimpan bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu menghadirkan kembali di saat yang tepat. Sebuah takdir yang mampu membuat sebentuk pertemuan indah seperti pertemuan mentari dan batas cakarawala yang selalu menawarkan keindahan berbeda, saat pagi dan senja, dari hari ke hari.
Ainun menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan seorang dokter pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan dokter lebih terjamin hidupnya, banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa: dekat wak haji bisa jadi santri, dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di bank berarti mandi uang. Tak peduli itu uang orang. Busyet!
Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari langit temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik merah-jingga di ufuk barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang melambai dan membentuk kotak-kotak keemasan di atas tanah. Aku pun membayangkan apa yang kau lakukan di sore yang indah ini? Apakah wajahmu sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu? Ataukah masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan berkata-kata?
Aku dan Ainun punya tempat favorit. Sebuah kafe taman di kota ini. Tempat duduknya di ujung kanan, bukan paling pojok tapi nomor dua dari ujung, di bawah pohon jambu air yang satu-satunya tumbuh di taman itu. Dari tempat ini kami serasa mendapat ruang tersendiri meski jarak kursi lain tak jauh.
Di bawah pohon jambu yang tak juga tinggi, kini aku menunggu Ainun, menunggu kenangan, dengan cemas dan penuh harap. Aku hendak menelepon, aku ingin memastikan pertemuan ini. Nomor ponselnya sudah tertera di layar. Namun dalam batin terjadi perang antara ’ya’ dan ’tidak’. Akhirnya aku pencet tombol merah, aku tak jadi meneleponnya. Aku hanya ingin dengar suaranya langsung dengan melihat bibirnya terbuka.
Sebuah pesan singkat masuk lagi: "Aku agak telat, ada rapat kecil evaluasi. Tunggu dulu…." Menunggu sebenarnya membosankan, tetapi menunggu kenangan adalah sebuah keasyikan. Aku segera me-replay: "Tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu."
Di ujung jalan terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai kisah hari ini. Mega-mega kuning memecah cakrawala. Sinar-sinarnya mulai membuncah, bergelora menyergap barisan para pekerja yang menyemut di jalanan. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin saja sedang bergegas menjemput istrinya. Mereka tampak sekali "bernafsu" ingin menaklukkan waktu. Mungkin mereka termasuk orang-orang yang mengkeret di sudut mata istrinya. Mungkin pula mereka takut karena istrinya baru saja lulus ujian sabuk hitam karate kyokushinkai. Yang jelas, mereka begitu takut dengan waktu (dan istrinya). Semua terlihat bergegas, berburu waktu. Itulah kota ini, ketika waktu sudah tak lagi cukup 24 jam.
Aku merasa tak pernah seperti mereka. Belum pernah aku bekerja seperti mesin waktu, berjalan normal dari pukul 09.00-17.00 WIB. Aku tak bisa seperti mereka ketika waktu bergerak selalu sama dari hari ke hari. Aku punya putaran waktu sendiri.

Waktu terus beringsut hingga berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya mentari mulai meredup digantikan sinar-sinar elektronik. Udara sedikit sejuk. Aku mulai resah. Sudah hampir satu jam aku menunggu tetapi tubuh semampai dengan balutan rok tiga perempat tak juga muncul. Aku masih ingat baunya. Ia suka wangi Obsession. Tetapi hingga detik ini ujung hidungku belum terbetik wangi itu. Aku tetap bertahan, sebuah pertemuan setelah dua tahun belum tentu kembali terulang. Jangankan pertemuan, bertukar suara saja tidak. Kurun sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini, selalu berjalan antara kejutan dan kenangan.
Jantungku berdegup semakin kencang. Pantatku mulai panas. Benakku terus dipenuhi pertanyaan: pertemuan ini jadi atau tidak? Apakah aku harus meninggalkan tempat ini?
Aku masih bertahan, dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal telah mengabur seiring langkah yang kian menjauh. Namun tetap menyilaukan, hingga aku tahu ke mana harus mencari titik-titik dirimu, antara senja dan malam berbintang.
Panggung kecil di tengah resto kebun itu mulai terang. Itu tanda pemusik yang memainkan nada-nada lembut siap beraksi. Hari itu Selasa, sebuah hari yang sebenarnya tak begitu pas untuk membuat kenangan dua tahun itu menjadi kenyataan. Tapi aku tak peduli. Aku terus menunggu, menunggu datangnya sebuah kenangan.
Aku dan Ainun punya bayangan yang sama tentang masa lalu. Memendam kekaguman tanpa harus banyak bicara. Menyimpan rasa tanpa harus tahu ke mana jejaknya akan pergi. Tetapi apakah sebuah kekaguman itu harus dibicarakan? Aku rasa tidak. Rasa akan dijawab dengan rasa, jiwa akan dibalas dengan jiwa. Aku tak ingin orang lain menjadi elemen ketiga dari rasa kita, jiwa kita. Bukankah ini adalah rasa kita berdua? Bukankah ini jiwa kita berdua? Sebuah kekaguman, keinginan, rasa, dan jiwa yang kemudian dipertemukan. Aku ingin menikmati semuanya ini berdua, dengan rasa, dengan jiwa. Tanpa curiga, dan tanpa orang lain yang kadang tak paham dengan dunia kita.
Aku memesan kopi seledri, minuman kesukaan Ainun. Selama ini bayangku tentang Ainun hanya tertumpah dalam satu bentuk: kopi seledri. Aneh memang, tapi itulah kopi yang membuatku ingat padanya. Juga dengan kejap matanya ketika menghirup kepul uapnya. Sebenarnya itu adalah coffee mint. Tetapi ia lebih suka menyebutnya kopi seledri. Mungkin karena bentuk daun mint lebih mirip daun seledri.
Aku mulai tak sabar. Sayup-sayup terdengar intro Kenangan, lagu Bebi Romeo ketika ditinggal kekasihnya. Aku kirim SMS padanya: "Sudah sampai mana? Brp lama lagi aku harus menunggu?" Tak ada sepotong pun jawaban.
Mungkinkah dia terjebak macet hingga dua jam? Apakah rapat kantornya terlalu serius untuk diakhiri? Atau dia ditimpa kecelakaan lalu lintas? Dengan cepat aku menghapus bayangan buruk itu. Aku sahut cangkir, dan aku minum tiga teguk sekaligus.

Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu kuning benar meski bukan saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih yang mengikuti ke mana pun dia pergi. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keindahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku pun bertanya-tanya, apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Aku pun kembali bertanya, apakah di sana juga ada dua insan yang menyimpan kenangan dan memendam rindu?
Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan membuka games di ponsel. Aku memilih snake, aku ingin memperbaiki rekor yang masih 710. Tetapi pikiranku sudah telanjur kacau. Angka yang tercatat tak pernah lebih dari 400 sebelum game over.
Aku sudah benar-benar tak sabar. Penat dan gerah sudah semakin tak mampu kutahan. Batinku seakan mau marah. Ingin sekali aku meneleponnya dan memakinya sekalian. Tapi selalu tertahan. Haruskah aku marah pada sebuah kenangan yang indah? Amarah itu surut diterpa kelebat bayangmu, dengan rambut tersibak bak iklan shampo.
Kopi seledri di hadapanku tinggal separo. Aku semakin gelisah, ditingkahi amarah. Apakah dia akan mempermainkanku sekali lagi? Aku pandangi lekat-lekat keramik broken white dengan garis hijau di sampingnya. Masih sama persis dengan tujuh tahun lalu. Bentuknya manis, tapi aku tak yakin itu bikinan FX Wijayanto.

Darahku kembali naik ke otak. Hatiku mulai panas, tak seperti sisa kopi ini yang semakin dingin. Crazy milik Julio Iglesias yang mengalun lembut tak mampu melunakkan hatiku. Akhirnya aku kirim SMS lebih keras: "Kita jadi bertemu atau tidak?" Aku tunggu beberapa saat. Tak ada jawaban. Batinku menjadi hening, pikiranku melayang-layang. Semua panca inderaku seperti dikepung bayangan Ainun. Muncul kerlip sesaat, dengan cepat kubuka, ternyata hasil report dari pesan yang lalu.
Aku masih menunggu dengan rona muka yang tak lagi secerah sore tadi. Waktu terus berputar. Tak juga ada jawaban.
Anganku buyar. Aku memandang sesaat kursi kayu di depanku, tempat duduk Ainun dua tahun lalu, juga kopi seledri yang tinggal seteguk lagi.


Ponselku kembali bergetar. Aku tahu itu dari dia, mungkin tinggal beberapa langkah lagi ia akan di depanku. Dengan sigap aku buka inbox. Betul dari dia. Dunia benar-benar gelap. Aliran darah seakan berbalik arah. Seribu tanya yang berkubang di kepala berubah menjadi beku. Ia menulis singkat: "Aku tak jadi bertemu”, tu selingkuh.



read more

Kupu-Kupu Tidur

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."

Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."

Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.

Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".

Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.

"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.

"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."

Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.

Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.


read more