TEMPO Interaktif, Jember:Sebagai sebuah entitas pendidikan Islam tertua, hingga kini pondok pesantren masih bersifat bias gender dan diskriminatif. Dalam konsep maupun praktek, pendidikan yang dijalankan masih menganut sistem patrilinial.
Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, KH. Hussein Muhammad dan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Widyastuti Purbani mengemukakan hal itu dalam acara "Pelatihan Penguatan Hak-hak Perempuan Berperspektif Islam untuk Guru dan
Pengasuh Pesantren", di Pesantren Nurul Islam, Jember, Jum'at (11/02).
"Secara umum, kondisi di pesantren, dalam hal konsep misalnya penafsiran ayat Al Qur'an maupun Hadits, serta model-model pengajaran yang menempatkan santri putri dalam posisi di bawah alias terhegemoni. Ini harus diakui, dan perlu dibenahi," kata Hussein.
Salah satu faktor penting yang mesti diubah adalah faktor kepemimpinan di dalam pesantren. Mereka, kata Husein, semestinya menjadi pilar utama untuk menghapus diskriminasi itu. Karena salah satu kelemahan pesantren, terutama yang tradisional, adalah aspek kepemimpinan yang sentralistik, yang berpusat pada kiai. "Pesantren tak ubahnya sebuah kerajaan kecil. Kiai memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan pesantren yang nyaris mutlak, (dan) seolah representasi
Tuhan," ujarnya.
Widyastuti menambahkan, upaya pengenalan sekaligus pengajaran kurikulum pendidikan berbasis gender, mestinya tidak hanya dilakukan di pesantren putri saja. "Karena persoalan gender bukan persoalan perempuan semata. Bahkan beberapa masalah berawal dari laki-laki," ucapnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment