Nyaris terlupakan karena hiruk-pikuk Pemilu Presiden, wacana persekolahan tampil sexy kembali. Betapak tidak? “Ternyata, Pembodohan bangsa masih berlanjut”, demikian judul mengenaskan Tajuk Surabaya News (15/6/2004). Tak hanya bodoh, tetapi juga membodohkan kalau dunia pendidikan melawan nalar sehat meritokrasi. Seseorang diganjar atau dihukum berdasarkan usahanya, dan bukan karena yang selain itu. Kaidah dasar metiroktasi ini yang seharusnya menjadi landasan filosofis dunia pendidikan. Tapi apa nyatanya?
Masih mendingan bila dunia pendidikan kita hanya mengidap sindrom PBPS (Padai Bodoh, Penghargaan Sama). Sebab, kalau hanya itu yang terjadi, dampak naudzbillah yang terjadi “hanya” ketidak-berdayaan (powerlessness). Ini mudah dikesan dari rasa tak yakin bahwa usaha seseorang berhubungan langsung dengan perolehan yang dia terima. Belajar sungguh-sungguh atau sama sekali tak belajar, hasialnya sama. Ternyata, kebijakan Depdiknas lebih celaka dari sekedar PBPS. Sebab, “Departemen Pendidikan Nasional justru memberikan penghargaan kepada mereka yang gagal dan menimpakan hukuman bagi mereka yang berhasil”. Singkat kalimat, para pengambil kebijakan itu ternyata sangat “komunistik”.
Mengapa itu semua terjadi? Berikut adalah refleksi berpenghampiran sosiologi budaya (cultural sociology) terhadap dunia pendidikan kita sekarang.
Kesesatan dalam Pendidikan
Pertama, dunia persekolahan mengidap kesesatan determinisme sekolah (the fallacy of school determinism). Keyakinan berlebih kita terhadap persekolahan sebagai solusi tunggal masalah belajar, atau bahkan masalah manusia, membuat kita mengidap sindrom sekolah sebagai panacea. Kepercayaan kepada sekolah sebagai panacea ini pula yang membuat sebagian warga masyarakat kita tampak sangat tersekolah (schooled), tetapi tidak terdidik (educated). Banyak lulusan sekolah kita yang secara tradisional melek-huruf (traditionally literate), tetapi secara kultural buta-huruf (culturally illiterate). Persekolahan telah menjadi penyebar sistem keyakinan baru, yang bahkan jauh lebih berpengaruh dibanding agama. Sekolah menjadi tolok-ukur struktur kelas sosial baru. Karena itu, kita pun memiliki kasta-kasta baru, mulai dari kelas tak pernah sekolah, hingga kelas doktor. Akhirnya, kinerja sekolah benar-benar tak sebanding dengan harapan tinggi yang dibebankan kepadanya.
Kedua, dunia persekolahan juga mengidap kesesatan instrumentalisme pendidikan (the fallacy of educational instrumentalism). Kecenderungan kita dalam mengutamakan kemanfaatan praktis persekolahan telah menempatkan pendidikan sebagai sekedar piranti bagi tujuan-tujuan lain. Pendidikan, kalau tak dihayati sebagai karcis menuju sorga, paling tidak telah dinilai sebagai tangga mobilitas vertikal. Belajar tak lagi berarti dan mulia dalam dirinya sendiri, tetapi ditakar berdasar kemanfaatannya guna mencapai tujuan-tujuan lain. Acapkali tujuan itu justru bermuara pada segala bentuk kenyamanan dan kenikmatan ragawi. Karena sekolah sekedar jadi piranti, maka bila ada piranti pintas lebih untuk mencapai tujuan dimaksud, maka sebenarnya tak perlu lagi kita bersekolah. Sadar atau tidak, kesesatan jenis ini telah ikut bertanggung-jawab bagi lahirnya sejumlah besar pengamal Machiavellianisme. Tujuan membenarkan cara (the end justifies the means).
Ketiga, kesesatan testokrasi dan gila angka (the Fallacy of testocracy and quantofrenia). Filsafat evaluasi mengajarkan, penilaian berfungsi tak hanya untuk membuktikan (to prove) telah terjadi pembelajaran, tetapi juga memperbaiki (to improve) pembelajaran. Sayang sekali, hajat mendasar ini terhalang oleh kesesatan kita yang lebih melihat penilaian sebagai pembenaran bagi kinerja para partisipannya. Membuktikan bahwa guru telah mengajar, dan murid telah belajar. Semua terlibat dalam proses penipuan diri sendiri (self-deception). Menyusun soal sendiri, mengawasi ujian sendiri, dan kemudian menyatakan sendiri keberhasilannya. Walhasil, kita makin terbius oleh aneka bentuk ujian, dan terpedaya oleh pesona angka hasil ujian. Ada gejala gila tes (testomania) sekaligus gila angka (quantofrenia). Dunia dan gerak pendidikan telah diperintah oleh rejim test (testocracy). Tak heran bila kini banyak lembaga bimbingan belajar yang menangguk keuntungan luar biasa dari membantu anak-anak agar lulus segala macam ujian itu.
Keempat, kesesatan gila gelar dan ijazahisme (the fallacy of credentialism and degree-mania). Suatu saat pernah sebuah harian nasional menurunkan berita tentang sindikat pemalsu ijazah yang berhasil dibongkar. Bahkan ada onsumen sindikat yang berhasil menjadi pegawai negeri, termasuk seorang staf ahli walikota. Kini, ada banyak pula calon legislatif yang “tersandung” kasus ijazah palsu. Lebih mengenaskan, sindikat tersebut diotaki oleh seorang dosen Kopertis. Sementara itu, sejumlah tokoh nasional dan lokal, tiba-tiba saja memiliki ijazah dan berhak menyandang gelar MBA, DBA dan Ph.D. Ada pula seorang birokrat bukan dosen yang dengan naifnya menyandang gelar Profesor. Mudah dikesan, masyarakat kita telah memperlakukan status modern (achieved status) secara tradisional (ascribed status). Jadi, selain mengidap gila sertifikat, kita pun menderita degree-mania. Lagi-lagi, terlihat jelas betapa proses menipu diri sendiri ini telah berlangsung secara massif.
Kelima, kesesatan akumulasionisme pengetahuan (the fallacy of knowledge accumulationism). Hingga kini, tak sedikit dari kita yang mengartikan ilmu sebagai timbunan berbagai macam pengetahuan. Karena itu, pendidikan ilmiah tak lain merupakan proses pemindahan timbunan informasi ilmiah. Tak pelak, kita menjadi gerombolan pemulung informasi, dan memperlakukan otak kita sebagai hardisk. Pun para pendidik, memberi takrif mengajar adalah proses memindahkan informasi, dari buku atau dari kepalanya kepada peserta didik. Karena informasi tersaji sebagai barang jadi, maka peserta didik tak perlu lagi repot-repot berpikir. Tidak perlu lagi mempertanyakan, sehingga rasa ingin tahu (libido sciendi) kita telah terbunuh terlalu dini. Hingga di perguruan tinggi, bertanya adalah tindakan langka dan bodoh. Sedangkan menjawab pertanyaan, tak lain sebagai kegiatan memunculkan kembali (retrieving) informasi hasil penyerapan. Kesesatan ini telah menafikkan semangat keberilmuan sebagai proses mendekati kebenaran itu sendiri (process of approximation of truth) .
Keenam, kesesatan sentrisisme negara (the fallacy of state-centricisism). Dunia pendidikan mengidap penyakit mental serba-negara, mental serba-pejabat. Sudah begitu lama dunia pendidikan hidup di bawah bayang-bayang negara. Mentalitas sesat ini telah menyepelekan kedudukan sangat wigati persekolahan swasta,. Tak heran bila banyak politisi memanfaatkan pendidikan sebagai piranti ideologis negara (ideological state apparatus). Sistem persekolahan berfungsi sebagai piranti utama pelestarian kekuasaan hegemonik pejabat negara. Tidak diragukan lagi, sistem persekolahan telah menjadi mesin politik (political machine) yang menghasilkan robot-robot ceria (cheerful robots) tanpa dilandasi kesadaran kritis. Masyarakat tak berdaya menghadapi negara. Karena itu layak dituding, pendidikan telah “mennyumbamg” [da menguatnya Indonesia sebagai Leviathan.
Ketujuh, kesesatan kapitalisme dalam pendidikan (the fallacy of capitalism in education). Bila politisi melihat lembaga pendidikan sebagai mesin politik yang menghasilkan warga negara yang mudah dikendalikan, para kapitalis memandang pendidikan sebagai pabrik tenaga kerja berharga murah dengan tugas pokok menambah keuntungan. Betapapun, kepentingan utama para pengusaha adalah keuntungan berlipat-ganda, dan bukan kesejahteraan para pekerja. Bila faktor produksi berupa manusia bisa digantikan oleh faktor produksi lain seperti teknologi tinggi, niscaya mereka pun lebih memilih teknologi. Wajar memang kalau mereka ingin agar mesin produksinya lebih berguna, tetapi mereka lupa bahwa terlalu banyak membuat barang-barang sangat berguna, akan menghasilkan begitu banyak manusia tak berguna.
Kedelapan, kesesatan supermanisme dalam pendidikan (the fallacy of supermanism in education). Kita bermimpi bisa menciptakan masyarakat super (super-society). Tentu saja, masyarakat ini dianggotai oleh para manusia super (superman and superwoman). Atas dasar impian itu, kita pilih murid-murid baru melalui persaingan bebas dan adil. Hasilnya, sejumlah murid unggulan berkesempatan belajar di sekolah-sekolah terbaik, mendapat pelayanan terbaik, diajar guru-guru terbaik, dan sejumlah keistimewaan lain. Akan halnya murid-murid pecundang, harus menerima takdir masuk ke sekolah pinggiran, mendapat pelayanan sangat kurang, diajar oleh para guru amatiran, dan tentu saja juga sejumlah “keistimewaan” lain. Dengan pola seleksi buatan (artificial selection) demikian, dibayangkan masyarakat baru nanti tak lagi memiliki pecundang. Dipandang adil kalau manusia terbaik mendapat kemudahan dan perlakuan terbaik, sedangkan manusia terjelek hanya berhak atas kesulitan dan perlakuan terburuk.
Kembali ke Hakikat
Tampak jelas, kejanggalan kebijakan para petinggi pendidikan hanya salah satu dari sekian banyak kegilaan yang diidap oleh dunia pendidikan kita. Budaya pendidikan yang seharusnya begitu luhur, terkontaminasi oleh berbagai kesesatan dalam memahami dan menghayati hakikat pendidikan. Sebagai imbasnya, para pendidik tak lebih sebagai tukang yang digaji pemerintah. Tak sempat lagi merenungi hakikat pengabdiannya. Para orangtua, dihantui oleh ambisinya sendiri. Sedangkan para peserta didik, adalah buih mengambang yang terombang-ambing oleh pusaran kegilaan. Walhasil, apa sudah begitu memutus-asakan dunia pendidikan kita?
Tak hanya agama yang melarang kita berputus-asa. Filsuf pendidikan kenamaan kelahiran Burlington, John Dewey (1859-1952) mengajak kita berbagi kearifan. Dunia tak sepenuhnya buruk, pun tak sepenuhnya baik, melainkan bisa diperbaiki (The world is not completely evil; Nor completely good; But it is improvable). Jadi, mari kita perbaiki!
Bagaimana caranya? Dua pilihan telah diajukan dalam Tajuk Surabaya News (15/6/2004): tolak proses pembodohan ini atau ganti pengambil kebijakan yang tak paham persoalan. Cara lain? Kembalikan segala sesuatu kepada hakikatnya. Kalau mengajar adalah membantu orang lain belajar; Kalau menilai adalah menguji untuk memperbaiki; Kalau bersekolah adalah salah satu jalur belajar; Kalau berbudaya, berarti terus mengolah budi dan daya.
Hanya dengan cara demikian, utopia masyarakat belajar (learning society) bisa semakin didekati. Justru dalam upaya untuk semakin mendekati cita-cita itu, terkandung kemuliaan manusia.
0 comments:
Post a Comment