RELIJIUSITAS MASYARAKAT
Mayoritas penduduk di Ogan Ilir memeluk agama Islam. Di berbagai tempat didirikan bangunan ibadahberupa masjid ataupun langgar. Di masjid dan langgar ini diselenggarakan berbagai kepentingan. Bukan hanya untuk penyelenggaraan peribadatan mahdlah tapi juga untuk kepentingan lain seperti pengajaran agama, cawisan, bahkan tidak jarang rapat tentang pembangunan suatu desa diselenggarakan di masjid pula. Tokoh agama merupakan figur yang memiliki peranan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sejak masa lalu tokoh keagamaan selalu terlibat dalam berbagai acara- acara baik yang berkaitan dengan peribadatan yang mahdlah, maupun dalam upacara yang berkaitan dengan siklus hidup seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan. Di Ogan Ilir banyak sekali ditemukan nilai keislaman yang terkait dengan upacara menandai siklus kehidupan seperti itu.
Untuk perkawinan, selain pada syarat dan rukun, nilai keislaman terlihat memberikan pengaruh pada adat-stiadat di sekitar perkawinan seperti pada penyelenggaraan akad nikah, juga pada acara resepsi. Dalam dua acara ini, peranan tokoh agama sangat penting dan menduduki jadual inti. Demikian pula halnya dengan upacara kelahiran dan kematian. Terkait dengan kelahiran, terdapat upacara cukuran yaitu menyambut kelahiran bayi dengan melalui upacara Marhaba. Marhaba berasal dari bahasa Arab yang berarti Selamat Datang. Upacara ini disebut marhaba karena upacara tersebut memang diselenggarakan sebagai ucapan selamat datang kepada sang bayi. Dalam upacara Marhaba ini sebelum pembacaan doa-doa, dibacakan barzanji. Istilah barzanji dimaksudkan untuk rangkaian kisah kehidupan Rasulullah Muhammad s.a.w. dalam bentuk gubahan syair berbahasa Arab dalam kitab yang ditulis oleh Al-Barzanji, seorang penulis muslim pada masa klasik. Pada acara Marhaba ini dilakukan pemberian nama yang indah-indah sesuai dengan harapan orang tuanya terhadap bayi yang baru dilahirkan itu. Selain dalam upacara yang berkaitan dengan kelahiran, pengaruh keagamaan terlihat pula secara sangat kentara pada upacara yang diselenggarakan berkaitan dengan kematian. Selain pada hari pertama, masyarakat Ogan Ilir pada umumnya menyelenggarakan pula upacara hari ke tiga,
ke tujuh, ke empat puluh, setahun. Dalam upacara tersebut pada umumnya dibacakan surat Yaa Siin, yaitu surat nomor 35 dalam Al-Quran, kalimat tahlil dan dasbih, doa-doa, dan nasihat-nasihat di sekitar keutamaan orang beramal shalih, dan ketabahan menghadapi musibah. Selain perkawinan, kelahiran, dan kematian, masih banyak acara lain yang dalam penyelenggaraannya mendapatkan
pengaruh dari nilai atau emosi keagamaan seperti khitanan, aneka persedekahan termasuk sedekah ruwah, sedekah lebung, sedekah basuh dusun, akan bepergian ke (pulang dari) tempat jauh, memulai kegiatan penting (belajar, pacuan bidar). Nilai keagamaan terlihat pula pada peringatan hari besar keagamaan seperti maulud (kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.) Isra’ Mi’raj, Tanggal 1 bulan Muharram (peringatan tahun baru Hijriyah), 10 Muharram yang disebut sebagai hari Asyura, hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha). Kegiatan selama sebelum dan selama masa bulan ramadlan / ziarah menjelang dan sesudah ramadlan, termasuk tradisi malam likuran antar-antaran dan sebagainya. Sejak masa lalu banyak ulama di tempat ini belajar langsung ke sumber asal agama Islam di Timur Tengah yaitu Makkah, Madinah, juga di Al Azhar Kairo. Sepulang dari tempat belajar, atas inisiatif sendiri dengan ikhlas mereka menyelenggarakan pengajaran dan membentuk kelompok cawisan, mengajarkan pengetahuan dan praktek keagamaan kepada masyarakat. Dari sini kemudian dibentuk lembaga permanen dan terjadual lebih sistematis. Tidak sedikit di antara lembaga semacam ini yang berkembang menjadi lembaga pendidikan seperti pesanteren dan madrasah diniyah.
Pesanteren Al Ittifaqiah Indralaya, Raudhatul Ulum Sakatiga, Nurul Islam Seri Bandung, merupakan tiga dari pesanteren Ogan Ilir yang memulai sejarahnya sejak masa kolonial, dalam bentuk cawisan dan pengajian sederhana. Pesanteren Al-Ittifaqiah Indralaya.
Bermula dari cawisan dan pengajian, menjadi madrasah pada masa kolonial Belanda. Sempat menghilang karena dibakar pada masa pendudukan Jepang, mengalamipergantian nama dan perpindahan tempat, dewasa ini pesantren Al Ittifaqiah berkembang menjadi pesanteren modern.
Pada mulanya KH Ishak Bahsin, ulama lulusan al Azhar Kairo mulai melaksanakan pengajaran ilmu ilmu keislaman di rumahnya di Sakatiga. Kitab yang yang menjadi sumber adalah kitab-kitab kuning dari Mesir, dan sistem yang diterapkan ialah masih bersifat sorogan, tanpa kelas dan bukan terlembaga dalam bentuk madrasah. Kegiatan seperti ini berjalan sejak 1918 sampai 1922.
Setelah empat tahun, ia mendirikan dan memimpin madrasah formal dengan masa belajar 8 tahun yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Siyasiyah Alamiyah. Selain pimpinan madrasah, selaku pimpinan KH Ishak Bahasin bertindak pula sebagai guru dengan dibantu oleh beberapa orang guru bantu. Dalam perkembangannya selama sepuluh tahun, murid madrasah ini berjumlah seratus orang. Tempat beroperasi madrasah ini ialah di bawah rumah penduduk di Sakatiga. Baru pada tahun 1932, dibangunlah gedung madrasah dengan ruang belajar sebanyak lima lokal. Pada masa ini KH Ishak Bahasin selain memimpin juga tetap menjadi guru, yang dibantu oleh KH Bahsin Ishak, KH Marwah, KH Bahri Bappeda Kab. Ogan Ilir
0 comments:
Post a Comment