Usia bangsa Indonesia hampir mencapai 62 tahun, namun sejauh ini segala bentuk sistem demi memberdayakan anak bangsa yang telah dicoba oleh para pemimpin bangsa belum mencapai hasil yang maksimal atau dapat dikatakan gagal. Alih-alih memperbaiki kondisi bangsa, justru yang terjadi krisis demi krisis silih berganti dan kondisi bangsa semakin terpuruk.
KH Said Aqil Siraj, Ketua PBNU dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa : “Kalau krisis di bidang ekonomi, hukum dan politik itu bisa diatasi, tetapi kalau krisis budaya dan moral, kita sendiri yang harus melakukan recovery, tidak bisa imam masjidil haram atau syaikhul azhar misalnya” Lebih lanjut menurut Said Aqil Siroj : “Para ulama dahulu mencipatakan bangunan sosial atas dasar saling gotong royong, yang muda percaya yang tua, yang tua percaya yang muda, yang miskin percaya pada yang kaya, yang kaya santun pada yang miskin, yang pandai mengayomi yang bodo, yang bodo percaya pada yang pinter, sekarang lepas semua. Yang bodo curiga sama yang pinter, karena takut dipinterin, yang miskin melihat yang kaya pasti curiga dari mana kekayaannya, yang muda tidak percaya lagi sama yang tua karena yang tua tidak mampu dijadikan contoh”
Irsyad Sudiro, penggagas Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia (GMP-AM) di tingkat Nasional sepertinya sependapat dengan Said Aqil Siroj, bahwa menurutnya telah terjadi penyimpangan perilaku di tengah masyarakat kita. Perilaku yang mengesampingkan rasa malu untuk melakukan hal-hal yang bukan dalam kepantasan, dengan pemahaman bahwa telah terjadi dekadensi moral dan akhlak, sehingga memicu keterpurukan kondisi bangsa di semua sektor.
Tidak kurang Aida Zulaikha Ismeth Anggota DPD dari Propinsi Kepulauan Riau merasa berkepentingan untuk mengawal pencanangan GMP-AM di tingkat regional Propinsi Kepulauan Riau beberapa waktu yang lalu, atas dasar keprihatinan terhadap maraknya perdagangan wanita dan berbagai penyimpangan perilaku di wilayah tersebut.
Akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu Akhlak yang mulia (Akhlaqul Karimah) bukan yang sebaliknya, mengingat dengan akhlak mulia akan membentuk watak bangsa yang berkarakter dan memiliki jati diri.
Presiden Soekarno ketika itu, dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation and character building (pembangunan bangsa dan karakter), mengingat dengan memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa manapun didunia ini.
Akhlak mulia yang bersifat absurd sudah barang tentu memerlukan berbagai pendekatan untuk mendapatkan formula yang aplikatif sehingga manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Banyak kalangan berpendapat media yang efektif bagi perbaikan akhlak salah satunya adalah pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal.
Penulis dalam masalah ini mencoba untuk melihat pendekatan melalui sekilas pembahasan pendidikan di pesantren, mengingat berdasarkan pengamatan, hingga saat ini hanya di lingkungan pesantren yang mengutamakan pendidikan akhlak.
Kedudukan Akhlak di Pesantren
Teori pendidikan menyatakan bahwa sistem pendidikan harus mempertimbangkan tiga faktor, yaitu afektif, psikomotorik dan kognitif. Katiganya harus berjalan secara bersamaan dan selaras, mengingat apabila hanya menekankan pada salah satu faktornya saja, akan berakibat pada kepincangan pendidikan itu sendiri. Kerusakan moral yang terjadi saat ini disinyalir akibat dari sistem pendidikan yang kurang memperhatikan ketiga faktor tersebut.
Kondisi yang semestinya mempertimbangkan untuk memandang pendidikan secara utuh, tidak saja pengembangan keilmuan, melainkan juga perkembangan kepribadian dan akhlak.
Pesantren atau Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang pernah ada dan merupakan media pengembangan agama Islam yang paling utama di negeri ini, hingga kini bahkan pesantren menjadi alternatif bagi menempuh pendidikan berbasis agama Islam.
Dalam sebuah lileratur disebutkan istilah pesantren secara etimologis berasal dari kata pe santri an tempatnya para santri, ada juga yang menyebutkan asal katanya sant (manusia baik) dengan tran (suka menolong), sehingga pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia untuk mendapatkan kebaikan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain dengan semangat gotong royong. Sedangkan istilah pondok, terdapat analisa yang menyatakan berasal dari kata funduq (tempat menginap atau pesanggrahan bagi orang yang sedang bepergian atau mengembara).
Di lingkungan pesantren, kedudukan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan utama bagi kehidupan. Terdapat pandangan bahwa segala amal perbuatan, baik yang berkaitan dengan persoalan hati maupun badan, ucapan atau perbuatan tidak dianggap sah apabila tanpa kebaikan akhlak.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa akhlak berkaitan erat dengan tauhid. Tauhid adalah dasar dari segala sesuatu, maka lahirlah apa yang dinamakan keimanan, dari keimanan timbul syariat, dari syariat muncullah akhlak. Artinya, jika seseorang tidak memiliki akhlak, berarti tidak memiliki syariat, jika tidak memiliki syariat berarti tidak memiliki keimanan dan itu juga berarti tidak memiliki tauhid. (Tamyiz Burhanudin, 2001)
Keutamaan akhlak di lingkungan pesantren ditunjukkan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari tokoh pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dengan karyanya berupa Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim (sopan santun atau akhlak antara pendidik dan yang dididik), yang disusun pada tahun 1343 H / 1923 M.
Bagi para santri ketika menuntut ilmu di pesantren, sudah sejak awal diberikan pemahaman betapa pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah kehidupan, sesuai dengan firman Allah SWT : ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi pengetahuan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selanjutnya Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim juga memaparkan tentang keagungan ilmu dan ulama, mengingat sosok ulama dipandang sebagai pewaris para nabi, sebagaimana firman Allah SWT: ”Sesungguhnya, orang yang beriman dan beramal soleh adalah sebaik manusia... demikian itu berlaku bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayyinah: 8-8). ”Sungguh, yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah ulama” (QS. Al-Fatir: 28)
Secara garis besar pola pendidikan di lingkungan pesantren sangat menitik beratkan pada pendidikan akhlak seorang santri atau murid, akhlak ustadz atau ulama guru, akhlak hubungan santri dengan ustadz dan sebaliknya, akhlak santri terhadap pelajaran, akhlak santri terhadap kitab yang dipelajari serta akhlak-akhlak lainnya yang berkaitan erat dengan pandangan hidup seorang muslim.
Pendidikan menurut Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim bukanlah transfer pengetahun, melainkan ia harus mampu membentuk akhlak yang sempurna. Pendidikan yang hanya menekankan aspek pemikiran dan melupakan aspek ilahiyah dianggap sebagai pendidikan yang tidak bisa melanjutkan idealitas pendidikan. Terdapat tiga hal yang ingin dicapai, yakni dimensi keilmuan, pengamalan dan religius. (Tamyiz Burhanudin, 2001)
Pesantren yang selama ini dianggap mempergunakan pola-pola tradisional, walaupun saat ini banyak pesantren yang telah melakukan perubahan mengikuti perkembangan yang terjadi, dapat menjadikan alternatif bagi upaya kearah perbaikan dan pendidikan akhlak. Karena dengan akhlak yang baik merupakan modal dasar bagi pembentukan karakter manusia.
Seorang bijak mengatakan : When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost. When character is lost, everything is lost.” (Bila harta kekayaan yang hilang, belum berarti kehilangan sesuatu. Bila kesehatan yang hilang, barulah ada sesuatunya yang hilang. Bila karakter yang hilang, berarti hilanglah segalanya).
KH Said Aqil Siraj, Ketua PBNU dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa : “Kalau krisis di bidang ekonomi, hukum dan politik itu bisa diatasi, tetapi kalau krisis budaya dan moral, kita sendiri yang harus melakukan recovery, tidak bisa imam masjidil haram atau syaikhul azhar misalnya” Lebih lanjut menurut Said Aqil Siroj : “Para ulama dahulu mencipatakan bangunan sosial atas dasar saling gotong royong, yang muda percaya yang tua, yang tua percaya yang muda, yang miskin percaya pada yang kaya, yang kaya santun pada yang miskin, yang pandai mengayomi yang bodo, yang bodo percaya pada yang pinter, sekarang lepas semua. Yang bodo curiga sama yang pinter, karena takut dipinterin, yang miskin melihat yang kaya pasti curiga dari mana kekayaannya, yang muda tidak percaya lagi sama yang tua karena yang tua tidak mampu dijadikan contoh”
Irsyad Sudiro, penggagas Gerakan Masyarakat Peduli Akhlak Mulia (GMP-AM) di tingkat Nasional sepertinya sependapat dengan Said Aqil Siroj, bahwa menurutnya telah terjadi penyimpangan perilaku di tengah masyarakat kita. Perilaku yang mengesampingkan rasa malu untuk melakukan hal-hal yang bukan dalam kepantasan, dengan pemahaman bahwa telah terjadi dekadensi moral dan akhlak, sehingga memicu keterpurukan kondisi bangsa di semua sektor.
Tidak kurang Aida Zulaikha Ismeth Anggota DPD dari Propinsi Kepulauan Riau merasa berkepentingan untuk mengawal pencanangan GMP-AM di tingkat regional Propinsi Kepulauan Riau beberapa waktu yang lalu, atas dasar keprihatinan terhadap maraknya perdagangan wanita dan berbagai penyimpangan perilaku di wilayah tersebut.
Akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu Akhlak yang mulia (Akhlaqul Karimah) bukan yang sebaliknya, mengingat dengan akhlak mulia akan membentuk watak bangsa yang berkarakter dan memiliki jati diri.
Presiden Soekarno ketika itu, dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation and character building (pembangunan bangsa dan karakter), mengingat dengan memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa manapun didunia ini.
Akhlak mulia yang bersifat absurd sudah barang tentu memerlukan berbagai pendekatan untuk mendapatkan formula yang aplikatif sehingga manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Banyak kalangan berpendapat media yang efektif bagi perbaikan akhlak salah satunya adalah pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal.
Penulis dalam masalah ini mencoba untuk melihat pendekatan melalui sekilas pembahasan pendidikan di pesantren, mengingat berdasarkan pengamatan, hingga saat ini hanya di lingkungan pesantren yang mengutamakan pendidikan akhlak.
Kedudukan Akhlak di Pesantren
Teori pendidikan menyatakan bahwa sistem pendidikan harus mempertimbangkan tiga faktor, yaitu afektif, psikomotorik dan kognitif. Katiganya harus berjalan secara bersamaan dan selaras, mengingat apabila hanya menekankan pada salah satu faktornya saja, akan berakibat pada kepincangan pendidikan itu sendiri. Kerusakan moral yang terjadi saat ini disinyalir akibat dari sistem pendidikan yang kurang memperhatikan ketiga faktor tersebut.
Kondisi yang semestinya mempertimbangkan untuk memandang pendidikan secara utuh, tidak saja pengembangan keilmuan, melainkan juga perkembangan kepribadian dan akhlak.
Pesantren atau Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang pernah ada dan merupakan media pengembangan agama Islam yang paling utama di negeri ini, hingga kini bahkan pesantren menjadi alternatif bagi menempuh pendidikan berbasis agama Islam.
Dalam sebuah lileratur disebutkan istilah pesantren secara etimologis berasal dari kata pe santri an tempatnya para santri, ada juga yang menyebutkan asal katanya sant (manusia baik) dengan tran (suka menolong), sehingga pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia untuk mendapatkan kebaikan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain dengan semangat gotong royong. Sedangkan istilah pondok, terdapat analisa yang menyatakan berasal dari kata funduq (tempat menginap atau pesanggrahan bagi orang yang sedang bepergian atau mengembara).
Di lingkungan pesantren, kedudukan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan utama bagi kehidupan. Terdapat pandangan bahwa segala amal perbuatan, baik yang berkaitan dengan persoalan hati maupun badan, ucapan atau perbuatan tidak dianggap sah apabila tanpa kebaikan akhlak.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa akhlak berkaitan erat dengan tauhid. Tauhid adalah dasar dari segala sesuatu, maka lahirlah apa yang dinamakan keimanan, dari keimanan timbul syariat, dari syariat muncullah akhlak. Artinya, jika seseorang tidak memiliki akhlak, berarti tidak memiliki syariat, jika tidak memiliki syariat berarti tidak memiliki keimanan dan itu juga berarti tidak memiliki tauhid. (Tamyiz Burhanudin, 2001)
Keutamaan akhlak di lingkungan pesantren ditunjukkan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari tokoh pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dengan karyanya berupa Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim (sopan santun atau akhlak antara pendidik dan yang dididik), yang disusun pada tahun 1343 H / 1923 M.
Bagi para santri ketika menuntut ilmu di pesantren, sudah sejak awal diberikan pemahaman betapa pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah kehidupan, sesuai dengan firman Allah SWT : ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi pengetahuan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selanjutnya Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim juga memaparkan tentang keagungan ilmu dan ulama, mengingat sosok ulama dipandang sebagai pewaris para nabi, sebagaimana firman Allah SWT: ”Sesungguhnya, orang yang beriman dan beramal soleh adalah sebaik manusia... demikian itu berlaku bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayyinah: 8-8). ”Sungguh, yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah ulama” (QS. Al-Fatir: 28)
Secara garis besar pola pendidikan di lingkungan pesantren sangat menitik beratkan pada pendidikan akhlak seorang santri atau murid, akhlak ustadz atau ulama guru, akhlak hubungan santri dengan ustadz dan sebaliknya, akhlak santri terhadap pelajaran, akhlak santri terhadap kitab yang dipelajari serta akhlak-akhlak lainnya yang berkaitan erat dengan pandangan hidup seorang muslim.
Pendidikan menurut Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim bukanlah transfer pengetahun, melainkan ia harus mampu membentuk akhlak yang sempurna. Pendidikan yang hanya menekankan aspek pemikiran dan melupakan aspek ilahiyah dianggap sebagai pendidikan yang tidak bisa melanjutkan idealitas pendidikan. Terdapat tiga hal yang ingin dicapai, yakni dimensi keilmuan, pengamalan dan religius. (Tamyiz Burhanudin, 2001)
Pesantren yang selama ini dianggap mempergunakan pola-pola tradisional, walaupun saat ini banyak pesantren yang telah melakukan perubahan mengikuti perkembangan yang terjadi, dapat menjadikan alternatif bagi upaya kearah perbaikan dan pendidikan akhlak. Karena dengan akhlak yang baik merupakan modal dasar bagi pembentukan karakter manusia.
Seorang bijak mengatakan : When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost. When character is lost, everything is lost.” (Bila harta kekayaan yang hilang, belum berarti kehilangan sesuatu. Bila kesehatan yang hilang, barulah ada sesuatunya yang hilang. Bila karakter yang hilang, berarti hilanglah segalanya).
0 comments:
Post a Comment