Sejauh ini para pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas tentang konsep dan praktik pendidikan secara integral dan konprehensip sebagai bagian yang amat penting dan menentukan keberhasilan suatu proses pendidikan. Apalagi, di tengah perkembangan global dan arus modernisasi yang melaju demikian pesat, proses pendidikan harus terus diberi inovasi-inovasi baru sehingga tak ketinggalan oleh perkembangan dan memiliki arah tujuan jelas. Di sinilah diperlukan konstruksi filosofis pendidikan yang mampu mengarahkan proses pendidikan kepada keberhasilan substantif...
Menurut Wan Muhammad Noe Wan Daud, penulis buku ini, sangat sedikit buku yang mengulas tentang pemikiran dan filsafat pendidikan Islam. Dalam penelitiannya, ia hanya menemukan satu karya yang membicarakan relatif detil konsep dan filosofi pendidikan yang ditulis oleh K.G. Saiyidain berjudul Iqbal’s Educational Philosophy pada tahun 1937. Pasca terbitnya karya tersebut uhar Wan Daud, praktis tidak ditemukan konsep detil dan lengkap tentang filsafat pendidikan dalam bentuk buku. Keprihatinan inilah yang membuat Wan Daud mengambil konsentrasi pemikiran pendidikan Islam dalam disertasinya dengan mengambil pemikiran Syed Naquib Al-Attas sebagai obyek penelitiannya.
Menurut Wan Daud, di kalangan Muslim saat ini, khususnya kalangan birokrat, politikus, akademisi bahkan kalangan mahasiswa Muslim sendiri, tumbuh suatu sikap dualistik yang keliru dan desktruktif. Daud menulis, "Mereka mengatakan bahwa usaha dan kontribusi intelektual tidaklah sepenting usaha dan kontribusi politik dan ekonomi; bahwa yang dibutuhkan umat sekarang bukanlah peningkatan para sarjana dan pemikir, melainkan para aktivis dan pengusaha; bahwa para sarjana dan pemikir adalah ahli teoretis belaka yang tidak dapat mengejawantahkan pemikiran dan teori-teori mereka yang melangit. Lantaran dikotomi pemikiran semacam inilah, para administrator dan pengambil keputusan di instansi kementrian pendidikan yang terdapat di pelbagai negara Islam dan rektor-rektor perguruan tinggi lebih memperhatikan permasalah ekonomi dan aspek-aspek sosial politik rencana pendidikan daripada permasalahan intelektual, moral dan kehidupan individual."(hlm 72).
Dampak munculnya dikotomi pemikiran ini cukup fatal. Selain disebutkan diatas, juga adanya marjinalisasi ide yang dikemukakan oleh para sarjana yang benar-benar otoritatif dalam perencanaan, penerapan dan pengevaluasian masalah tujuan dan sasaran pendidikan, termasuk pada tingkat institusi dan perkembangan kebijakan negara. Selama ini, permasalahan di atas tak jarang luput dari perhatian akademisi dan praktisi pendidikan Islam. Inilah yang sangat dirisaukan oleh Syed Naqub Al-Attas. Seperti ditulis dalam buku ini, Al-Attas berpendapat, salah satu kemunduran umat Islam saat ini adalah masalah ketertinggalan bidang pendidikan. Kebobrokan paling parah dalam pendidikan Islam, jelas Attas, terutama dalam masalah muatan pendidikan itu sendiri.
Dalam pandangan pendiri lembaga obyek pendidikan tinggi Islam terpadu, International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC) Malaysia ini, kekeliruan tersebut timbul akibat kesalahan umat Islam dalam mengintepretasi dam memahami hakikat dan lingkup ilmu pengetahuan. Selain itu, juga kekeliruan mengenai makna agama, kata-kata kunci (key terms), dan aspek-aspek Islam serta kekeliruan mengenai jiwa, sains, dan institusi-institusi peradaban Barat. Al-Attas tak hanya berkata-kata. IA membuktikan semua ucapannya dalam bentuk solusi praktik dengan mendirikan ISTAC. Dalam amatan Wan Daud, filsafat pendidikan Islam yang dibutuhkan seperti halnya dipraksiskan Al-Attas, tetap berpijak pada fundamen sumber pokok Islam, yaitu Alquran dan Hadis Rasulullah.
Karya yang berasal dari disertasi Wan Daud di ISTAC ini sesungguhnya merupakan kontribusi amat berharga khususnya dalam dunia pendidikan Islam kita saat ini. Buku ini memuat 7 bagian penting. Bagian pertama membahas tentang pandangan metafisika; bagian kedua memotret tentang ilmu pengetahuan dan jenis-jenisnya, bagian ketiga mengupas masalah makna dan tujuan pendidikan, bagian keempat tentang ide dan realitas universitas Islam. Pada bagian kelima dibahas masalah kurikulum dan metode pendidikan; bagian keenam mengupas masalah Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini: teori dan praktiknya. Sementara bagian terakhir membahas tentang respons terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan era kini. Bagi kalangan akademisi dan praktisi pendidikan khususnya, karya ini teramat 'mahal' untuk dilewatkan. Sebab secara keseluruhan karya ini dapat menjadi rujukan terpenting di sekitar pemikiran dan filosofi pendidikan Islam masa kini.
Keterpaduan Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah dengan Pendidikan Luar Sekolah
di Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat
Oleh:
H. Engking Soewarman Hasan*)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan data mengenai: 1) bentuk keterpaduan penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (PLS) dengan pendidikan sekolah (PS), 2) kegiatan interaksi internal-eksternal, 3) kemampuan pondok pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai eksistensi dan interaksinya. Pendekatan penelitian yang diterapkan adalah kualitatif naturalistrik, dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi partisipasi, dan studi dokumentasi. Subyek penelitian adalah kyai, pengajar, dan santri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterpaduan PLS dan PS tidak terlepas dari tujuan pesantren yang ingin menghasilkan output berupa (1) muslim moderat; (2) mukmin demokrat, (3) muslim diplomat. Keterpaduan PLS dan PS lebih ditekankan pada keterpaduan sistem yang meliputi; ruang lingkup, arah keterpaduan, khitah perjuangan, struktur kelembagaan, program pembelajaran, pengelolaan pendidikan, staf pengajar, kampus terpadu, sarana/prasarana, dan sistem evaluasi. Dinamika pesantren selalu dilandasi oleh interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif khas, baik internal maupun eksternal.
Kata Kunci: Keterpaduan, pendidikan sekolah, pendidikan luar sekolah, pondok pesantren.
*) Dr. H. Engking Soewarman Hasan, MPd adalah dosen Juruan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
________________________________________
1. Pendahuluan
Masuknya Islam ke kepulauan Nusantara mempunyai arti strategis dalam mengemban tugas pendidikan dan menyampaikan nilai-nilai agama Islam dengan titik berat kepada strategi peranan pendidikan. Telah sejak lama diakui bahwa pesantren dilihat dari sistem pendidikan Islam merupakan lembaga induk untuk menciptakan usaha dalam memodernisasi masyarakat. Lembaga pendidikan pesantren ini pada awal gerakannya berkembang di kota-kota pelabuhan seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia melalui perdagangan internasional. Oleh karena itu, dapat dipahami kalau pendidikan di pondok pesantren selain menekankan pengkajian kitab-kitab juga persoalan–persoalan kemasyarakatan, politik, dan ekonomi (Sidi Gazalba, 1976).
Bertolak dari analisis pemikiran secara kronologis, untuk kembali pada landasan pijak pondok pesantren diperlukan (1) transformasi sistem dan (2) nilai hakikinya, agar lembaga pendidikan pondok pesantren semakin menjadi tumpuan harapan masyarakat dengan berbagai sajian gagasan dan konsep pengembangannya, akan tetap terpelihara (3) identitas pondok pesantren yang selalu berkiprah untuk meningkatkan peran pondok pesantren itu sendiri, karena pendidikan pondok pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, memiliki unsur-unsur tersendiri dan Tri Dharma secara khusus. Pesantren memiliki berbagi tipologi selaras dengan visi, misi, kurikulum dan kelembagaannya.
Sekalipun dengan berbagai variasi, kenyataan menunjukan bahwa penyelenggaraan pendidikan sepanjang hayat (life long integrated education) di sebagian besar pondok pesantren telah berjalan simultan. Dalam penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren ada beberapa kategori/tipe, yang paling lengkap adalah pesantren yang menyelenggarakan kegiatan jenis pendidikan secara terpadu yaitu pendidikan pondok (kitab kuning), madrasah/perguruan tinggi, dan keterampilan fungsional. Pesantren Darussalam adalah salah satu pesantren yang telah menyelenggarakan keterpaduan pendidikan tersebut serta interaksi internal dan eksternalnya telah melembaga. Keterpaduan sistem dan interaksi yang menyeluruh makin dirasakan manfaatnya oleh keluarga pondok dan masyarakat lingkungannya. Oleh karena itu, pesantren Darussalam dijadikan prioritas penelitian.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok serta, sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma Pondok pesantren” yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
Di samping itu, sistem pendidikan pesantren melestarikan ciri-ciri khas dalam interaksi sosialnya, yaitu: 1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan Kyai serta taat dan hormatnya para santri kepada Kyai yang merupakan figur kharismatik dan menjadi contoh yang baik; 2) Semangat menolong diri sendiri dan mencintai diri sendiri dengan kewiraswastaannya; 3) Jiwa dan sikap tolong-menolong, kesetiakawanan, dan suasana kebersamaan dan persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren; 4) Disiplin waktu dalam melaksanakan pendidikan dan beribadah; 5) Hidup hemat dan sederhana; 6) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan, seperti tirakat, shalat tahajud diwaktu malam, i’tikaf di masjid untuk merenungkan kebesaran dan kesucian Allah SWT; 7) Merintis sikap jujur dalam setiap ucapan dan perbuatan.
Konsep pemikiran dan operasionalisasi pendidikan terpadu akan banyak ditentukan oleh tujuan dan arah keterpaduan, seperti diungkapkan oleh Djudju Sudjana (1995) yang menyatakan bahwa arah keterpaduan pendidikan luar sekolah, pendidikan sekolah, dan keterampilan di pondok pesantren adalah dalam pembinaan IMTAQ, IPTEK dan Skill fungsional atas dasar kebutuhan. Keterpaduan akan ditekankan dalam menata keterpaduan itu, sebagaimana halnya keterpaduan pendidikan di Pesantren Darussalam.
Atas dasar beberapa pemikiran di atas, penelitian ini memfokuskan pada masalah keterpaduan Pendidikan Sekolah (PS) dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan interaksi internal-eksternal pondok pesantren yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana bentuk keterpaduaan penyelenggaraan Pendidikan Sekolah dengan Pendidikan Luar Sekolah di Pesantren Darussalam ? 2) Bagaimana kegiatan interaksi internal dan eksternal di pesantren Darussalam ? 3) Bagaimana kemungkinan pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai eksistensi, keterpaduan dan interaksinya?
2. Kajian Teori
Secara teoritis, penelitian ini bersandar kepada teori kesadaran kolektif atau solidaritas sosial, serta teori tentang fungsi agama dari Durkheim (1964) dan teori makna kehidupan dari Max-Weber (1964). Secara esensial ditegaskan bahwa agama berfungsi memelihara kesatuan sosial. Agama dalam menciptakan sistem makna yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk mengarahkan perilaku sosial dan kontrol sosial. Melalui kedua pengaruh itu, agama berfungsi sebagai lembaga kreatif dan stabilisator dalam masyarakat. Selanjutnya, ditegaskan oleh Djamari (1988:101) bahwa agama memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan memenuhi tujuan agama. Makna lembaga keagamaan memberikan kontribusi kepada kehidupan sosial kemasyarakatan. Secara lebih khusus, pesantren sebagai lembaga keagamaan sekaligus dipandang sebagai lembaga pendidikan yang indigenous. (Sutaryat, 1986). Atas dasar inilah lebih lanjut pesantren dikaji berdasarkan konsep mengenai pendidikan terpadu (integrated education).
Beberapa konsepsi pendidikan secara makro diadaptasikan dari pemikiran Achmad Sanusi (1988). Konsep pendidikan yang lebih mengacu kepada pendidikan sepanjang hayat dikembangkan dari konsep Edgar Paure (1972) yang membuat gagasan tentang pendidikan sepanjang hayat dan kajian sistemik pendidikan luar sekolah dan asas-asas pengembangan pendidikan luar sekolah (Djudju Sudjana, 1992).
Dalam kajian pengembangan sumber daya manusia, konsepsi pemberdayaan (empowering process) dikembangkan dari konsepsi yang dikemukakan oleh Suzane Kindervatter (1979) –mengenai learning webs-- dan A.Maslow (1970), mengenai need oriented stretegies dalam empowering process. Kajian Historis dan eksistensi nilai-nilai pondok pesantren dikembangkan dari buah tangan dan pemikiran-pemikiran inovatif dari K.H.Irfan Hielmy (1995), selaku pimpinan Pondok Pesantren Darussalam.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi, menganalisis dan menyimpulkan: 1) bentuk keterpaduan penyelenggaraan pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah di Pesantren Darussalam, 2) kegiatan interaksi internal-eksternal di Pesantren Darussalam, 3) kemungkinan pondok pesantren Darussalam dalam mempertahakan nilai-nilai eksistensi dan interaksinya.
Selanjutnya, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai: 1) masukan bagi para pengelola, pecinta pesantren dalam memelihara dan meningkatkan pendidikan di lingkungan pondok pesantren, 2) bahan kajian bagi instansi atau lembaga yang terkait fungsinya untuk turut mengelola berbagai kegiatan pendidikan dan pondok pesantren, 3) bahan masukan bagi pengembangan ilmu terutama dalam wawasan keterpaduan wawasan pendidikan sekolah dengan pendidikan pesantren dan keterampilan fungsional sebagai pendidikan luar sekolah.
4. Metodologi Penelitian
Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif naturalistik, yang biasa disebut sebagai metode kualitiatif (Bogdan, 1982 dan Lexy Moleong 1990). Selain itu, dipergunakan juga metode studi kasus. Adapun pemilihan metode studi kasus dalam penelitian ini didasarkan atas tujuan untuk memperoleh gambaran yang realistis-holistik pada kegiatan proses belajar mengajar pada pendidikan terpadu di Pesantren Darusalam, yaitu keterpaduan pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah, serta interaksi internal dan eksternal, yang dilakukan antara kyai, pembina pesantren dan para santri, dan antarmereka dengan pihak luar yang terkait dengan kegiatan pendidikan di pesantren. Sehubungan dengan studi kasus yang dipergunakan itu, hasil penelitian merupakan deskripsi tentang keterpaduan pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah, dan interaksi internal-eksternal yang dilakukan oleh Kyai, pembina, dan santri di Pesantren Darussalam.
Teknik yang dipergunakan untuk menjaring data adalah wawancara secara mendalam (indepth interview), observasi partisipasi, dan studi dokumentasi dengan memanfaatkan catatan lapangan dan tape recorder.
Unit analisis dari penelitian ini adalah komponen-komponen yang terdapat dalam keterpaduan pendidikan luar sekolah dan sekolah, interaksi internal dan eksternal, dan dalam kemungkinan pesantren mempertahankan nilai-nilai eksistensi dan interaksi di Pesantren Darussalam.
Dengan mengacu pada unit analisis tersebut, maka subyek penelitian ini adalah Kyai, pengajar, pembina, santri, dan pejabat pemda serta instansi lain yang terkait dengan kegiatan pesantren.
5. Hasil Studi dan Pembahasan.
Berdasarkan hasil kajian empiris serta kajian teoritis melalui pembahasan, berhasil diungkapkan temuan penelitian sebagai berikut. Keterpaduan pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah di pesantren Darussalam tidak terlepas dari landasan idealis pesantren, yaitu terciptanya santri yang berwawasan (1) muslim moderat; (2) mukmin demokrat, dan (3) muslim diplomat. Kaidah pengelolaan pesantren didasari keyakinan bahwa nilai tradisi pesantren yang baik tetap dipertahankan dengan diadaptasikan dalam kehidupan yang lebih modern dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan serta kemajuan masyarakat. Dalam pelaksanaan tugas kegiatannya sehari-hari, pesantren berpedoman pada Tri Dharma Pondok Pesantren, yaitu (1) keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, (2) pengembangan keilmuan yang bermanfaat, dan (3) pengabdian terhadap Agama, Masyarakat, dan Negara.
Temuan penelitian di atas tampak erat kaitannya dengan teori kesadaran kolektif atau solidaritas sosial dan teori tentang fungsi agama sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim (1964). Demikian pula bila dihubungkan dengan teori makna kehidupan dari Max-Weber (1964). Yang secara esensial ditegaskan bahwa agama berfungsi memelihara kesatuan sosial. Agama dalam menciptakan sistem makna memiliki otoritas dan legitimasi untuk mengarahkan perilaku sosial dan kontrol sosial. Melalui kedua pengaruh itu, agama berfungsi sebagai lembaga kreatif dan stabilisator dalam masyarakat. Secara lebih khusus hasil penelitian tersebut menunjukkan pada indikasi bahwa pesantren sebagai lembaga keagamaan sekaligus dipandang sebagai lembaga pendidikan yang indigenous. (Sutaryat, 1986). Atas dasar inilah lebih lanjut pesantren dikaji berdasarkan konsep mengenai pendidikan terpadu (integrated education).
Keterpaduan pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah di pesantren Darussalam lebih ditekankan pada keterpaduan sistem, yang mencakup keterpaduan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, ruang lingkup, arah keterpaduan, khitah perjuangan, struktur kelembagaan, program pembelajaran/kurikulum, pengelolaan pendidikan, staf pengelola/pengajar, kampus terpadu, sarana/prasarana, dan sistem evaluasi. Dalam keterpaduan sistem itu dikembangkan pendidikan di madrasyah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Alliyah) dan Institut Agama Islam Darussalam (IAID) sebagai bentuk satuan pendidikan sekolah yang terpadu dengan pendidikan pondok yang mendalami ajaran agama serta pendidikan keterampilan fungsional sebagai bentuk satuan pendidikan sekolah. Kedua bentuk satuan pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah itu seiring–sejalan melakukan kegiatannya secara suplementer dan komplementer, dalam mewujudkan manusia yang sarat dengan penguasaan Iptek tetapi sekaligus dijiwai Imtaq yang mendalam.
Dinamika kegiatan pesantren selalu dilandasi oleh interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif yang khas, baik internal maupun eksternal. Interaksi internal yang mencakup interaksi intrapersonal, interpersonal, interaksi group level, dan interaksi intergroup terjalin dalam rangka proses pemberdayaan (empowering). Dalam interaksi bercirikan pemberdayaan itu, kebutuhan hidup, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan belajar para santri/siswa menjadi perhatian khusus untuk diupayakan bagaimana pemenuhannya dengan sebaik-baiknya. Dalam pada itu kepedulian terhadap potensi, masalah, dan harapan masyarakat mendapat sorotan pula. Sedangkan proses pembelajaran dilandaskan pada relevansinya dengan perkembangan di masyarakat, serta perubahan struktur keterpaduan pendidikan itu.
Interaksi eksternal yang bersifat interorganizational level difokuskan untuk pembangunan fisik di masyarakat. Pengajian rutin, bina da’wah, dan ceramah subuh merupakan contoh kegiatan interaksi eksternal yang dilakukan pesantren Darussalam, dimana kelompok-kelompok masyarakat menjadi target groupnya. Demikian pula, dalam upaya pembangunan fisik pesantren selalu mengambil peran aktif. Program Santri Raksa Desa (Sarasa) juga merupakan bentuk interaksi eksternal pesantren dalam kegiatan pembangunan di desa-desa.
Keterpaduan pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah di pesantren Darussalam tidak luput dari faktor kendala yang dihadapi. Sebagai pondok pesantren modern, yang memadukan pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah, Pondok Pesantren Darussalam mengutamakan pembentukan santri/siswa penuh pemahaman Iptek dan menghayati Imtaq, dengan menekankan kepada lulusannya yang siap hidup mandiri. Kendala yang dihadapi adalah kepercayaan masyarakat terhadap ouput yang dihasilkan. Pertanyaan yang sering muncul, bisakah Pondok Pesantren Darussalam menghasilkan ulama ternama seperti dulu pada pendidikan tradisional? Namun, kendala itu berangsur-angsur hilang dengan tampilnya sosok pesantren terpadu yang semakin meyakinkan masyarakat.
Dalam kondisi pesantren modern yang memadukan pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah, nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi pada awal dimulainya pesantren tradisional, pada saat ini tetap dipertahankan oleh Pesantren Darussalam. Nilai-nilai itu antara lain meliputi keakraban hubungan santri dengan kyai, santri dengan santri, santri dengan santri senior; hidup hemat dan sederhana; semangat tolong menolong-kebersamaan; disiplin; berani menderita. Nilai-nilai tradisional itu telah diadaptasikan dalam pesantren modern sedemikian rupa sehingga tetap menjadi karakter yang memberikan peluang kepada tetap eksisnya pesantren itu.
6. Simpulan dan Saran
6.1 Simpulan
Keterpaduan pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah di Pesantren Darussalam tidak terlepas dari landasan idealis pesantren, yaitu terciptanya santri yang berwawasan (1) muslim moderat; (2) mukmin demokrat, dan (3) muslim diplomat. Pelaksanaan tugas kegiatan sehari-hari berpedoman pada Tri Dharma Pondok Pesantren, yaitu (1) keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, (2) pengembangan keilmuan yang bermanfaat, (3) pengabdian terhadap agama, masyarakat, dan negara.
Keterpaduan pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah di pesantren Darussalam lebih ditekankan pada keterpaduan sistem, yang mencakup keterpaduan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, ruang lingkup, arah keterpaduan, khitah perjuangan, struktur kelembagaan, program pembelajaran/kurikulum, pengelolaan pendidikan, staf pengelola/pengajar, kampus terpadu, sarana/prasarana, dan sistem evaluasi.
Dinamika kegiatan pesantren selalu dilandasi oleh interaksi sosial, interaksi keagamaan, dan interaksi edukatif yang khas, baik internal maupun eksternal. Interaksi internal yang mencakup interaksi intrapersonal, interpersonal, interaksi group level, dan interaksi intergroup terjalin dalam rangka proses pemberdayaan (empowering).
Keterpaduan pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah di pesantren Darussalam tidak luput dari faktor kendala yang dihadapi. Kendala yang dihadapi adalah kepercayaan masyarakat terhadap ouput yang dihasilkan. Pertanyaan yang sering muncul, bisakah pondok pesantren Darussalam menghasilkan ulama ternama seperti dulu pada pendidikan tradisional?
Dalam kondisi pesantren modern yang memadukan pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah, nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi pada awal dimulainya pesantren tradisional, pada saat ini tetap dipertahankan oleh pesantren Darussalam. Nilai-nilai itu antara lain meliputi keakraban hubungan santri dengan Kyai, santri dengan santri, santri dengan santri senior; hidup hemat dan sederhana; semangat tolong menolong-kebersamaan; disiplin; dan berani menderita. Nilai-nilai tradisional itu telah diadaptasikan dalam pesantren modern sedemikian rupa, sehingga tetap menjadi karakter yang memberikan peluang kepada pesantren itu untuk tetap eksis.
6.2 Saran
(1) Di lingkungan pondok pesantren ini terdapat gerakan koperasi dan Ikatan Keluarga Alumni Darussalam (IKADA). Kedua lembaga ini bisa lebih ditingkatkan peran dan fungsinya untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan kemampuan penyelenggaraan pendidikan.
(2) Dalam menjaga kemungkinan adanya kecendrungan krisis nilai para santri, yang lebih mementingkan memperoleh ijazah dan status pegawai negeri, perlu terus ditingkatkan pemanfaatan potensi pesantren yang telah membudaya menjadi panutan masyarakat. Perlu peningkatan efisiensi manajemen pesantren. Dengan demikian, posisi pondok pesantren akan senantiasa berada pada khitah perjuangannya.
(3) Struktur organisasi dan program keterpaduan pendidikan pondok dan pendidikan madrasah yang telah terselenggara baik di pondok pesantren Darussalam, lebih-lebih dengan ditingkatkan pendidikan pondok dengan program MAHD’ALY, perlu dijadikan sebagai salah satu model dan dijadikan laboratorium sosial pendidikan tingkat nasional, karena modernisasi keterpaduan pendidikan di pondok tersebut tidak sekedar perpaduan unsur penyelenggara, waktu, dan program, akan tetapi lebih jauh diawali dengan keterpaduan meletakkan khitah dan kaidah-kaidah seperti isi materi, evaluasi, implementasi interaksinya dalam pembangunan masyarakat.
(4) Kerjasama pemerintah daerah dengan instansi terkait yang selama ini telah dijalin secara baik, perlu ditingkatkan terus, agar upaya tercapai keluarga yang sakinah, masyarakat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran akan dirasakan secara menyeluruh, dan pondok pesantren tetap eksis dalam kebersamaan penggunaanya.
________________________________________
Pustaka Acuan
Sanusi, A. 1998. Pendidikan Alternatif Pasca Sarjana IKIP Bandung. Bandung: Grafindo Media pratama.
Bogdan, Robert C., & Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative Research for Education,: An Introduction to Theory and Methods. New York: Allyn and Bacon.
Djamari, H. 1988. Nilai-Nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi Social di Pondok Pesantren Cikadueun Banten. Disertasi 1985. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, FPS, IKIP Bandung
Durkheim, Emile. 1964. The Division of Labour in Society (terjemahan). George Simpson, New York: The Free Press.
_____. 1964. The Rules of Sosiologycal Methods (terjemahan). Solovay & Meuller, New York : The Free Press.
Faure, Edgar, et.al., 1972. Learning to Be. Paris: UNESCO
---------. 1988. Agama dalam perspektif Sosiologi. PPLPTK Depdikbud.
Gazalba Sidi. 1976. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
---------. 1983. Islam dan Perubahan Sosial Budaya, Kajian Islam Tentang Perubahan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Irfan Hielmy, KH. 1995. Selayang Pondok Pesantren Darussalam. Ciamis Jawa Barat, PIP Darussalam.
---------. 1995. Sekilas tentang Jenis dan Materi Pendidikan Agama Islam dan Sistem Pelaksanaannya dalam Kurikulum Sekolah Menengah Umum. PIP Darussalam.
Kindervatter, Suzanne. 1979. Non-Formal Education as an Empowering Process, Center for International Education, Amherst.
Lexy, Moleong. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Remaja Karya CV.
Maslow, Abraham H. 1970. Motivation And Personality. New York: Harper And Row Publishers.
Sudjana D. 1983. Pendidikan Non formal (Wawasan Sejarah-Azas). Bandung : Penerbit Theme.
-------- 1983. Strategi Kegiatan Belajar Mengajar dalam Pendidikan Nonformal, Penerbit Theme Bandung.
--------- 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press.
--------- 1993. Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press.
--------- 1995. Model Keterpaduan Pendidikan Luar Sekolah dan Pendidikan Sekolah Sebagai Alternatif Penjabaran Sistem Pendidikan Nasional. Pidato Pegukuhan Guru Besar Tetap IKIP Bandung.
Sutaryat Trisnamansyah. 1984. Pengaruh Motif Berafiliasi Keterbukaan Berkomunikasi, Persepsi dan status Sosial Ekonomi Terhadap Perilaku Modern Petani. Disertasi FPS IKIP Bandung.
--------- 1984, Perubahan Sikap dan Perubahan Sosial Dalam Konteks Pembangunan dan Modernisasi. PLS FIP IKIP Bandung.
--------- 1986. Pendidikan Kemasyarakatan (Pendidikan Luar Sekolah). FIP IKIP Bandung.
Weber, Max. 1964. The Theory Of Social And Economic Organization. New York: The Free Press.s
0 comments:
Post a Comment