1.Peran Edukatif Tarekat dan Zawiyyah Tidak banyak penelitian terhadap sistem pendidikan tasawuf. Namun demikian ada banyak indikasi yang menunjukkan bahwa tasawuf sebenarnya memiliki sistem pendidikan yang khas dan uni. Setidaknya indikasi itu bermuara pada tiga hal, yaitu relasi murid dengan mursyid, lahirnya thareqat sebagai organisasi tasawuf, dan zawiyah yang dimiliki oleh syekh-syekh sufi.
Makna generik dari tarekat adalah thariqah yang berarti jalan. Arti ini semakna dengan kata sunnah yang juga bermakna jalan. Dengan arti seperti ini kata tarekat bisa diterapkan kepada berbagai kelompok orang yang mengikuti madzhab pemikiran yang dikembangkan oleh seorang alim atau syeikh.1 Sementara dalam konteks ibadah, tarekat dapat diartikan sebagai cara dalam melakukan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi saw dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in secara turun-temurun sampai kepada guru-guru dengan sambung-menyambung dan berantai.2 Dari dua penjelasan ini, tarekat dapat disimpulkan memiliki makna yang sama dengan madzhab.
Dalam khazanah tasawuf tarekat ini merupakan satu dari tiga serangkai tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Tarekat merupakan cara melaksanakan ibadah dan amal secara dzahir. Hakekat merujuk kepada aspek isoterik atau bathin dari setiap ibadah yang merupakan rahasianya.3 Dan ma’rifat adalah tujuan akhir dari ibadah. Dalam perkembangan berikutnya, tarekat yang semula hanya bermakna cara, jalan dan metode kemudian berkembang menjadi organisasi yang mewadahi sekelompok penganut tasawuf yang sepaham dan sealiran sebagai sebuah keluarga dan kumpulan.4 Kecenderungan seperti ini muncul pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi.5
Tarekat sebagai organisasi tasawuf memiliki sistem pendidikan yang independen dan unik. Tarekat dipimpin oleh seorang guru yang disebut mursyid. Mursyid memiliki asisten yang disebut khalifah, dan pengikut ajarannya yang disebut murid. Tempat belajar dan training tasawuf dikenal dengan nama zawiyah (sudut ruangan), ribath (serambi atau koridor), dan khāniqah (pondokan). Tarekat juga memiliki kitab-kitab referensi yang khas sesuai alirannya, baik mengenai fiqih maupun tasawuf. Dalam tarekat juga ditemukan wirid dan do’a yang khusus. Proses rekrutmen muridnya dinamakan bai’at. Murid yang sudah resmi diterima terikat oleh seperangkat aturan kedisiplinan yang menyangkut cara bergaul, cara berpakaian, cara ibadah dan cara dzikir. Kemudian murid yang dianggap telah lulus dan mampu mengembangkan tarekat diberi lisensi yang disebut ijazah.6
Bagaiman sistem pendidikan dalam tarekat dikelola, sedikit banyak tergambar dari penuturan Khaled Bentounes, seorang pemimpin tertinggi tarekat Alawiyah di Perancis. Zawiyyah seperti telah diulas adalah tempat sekelompok murid tinggal, bekerja dan beribadah di bawah bimbingan seorang syeikh. Tempat ini memiliki sitem baku yang yang mencakup sistem pendidikan tradisional dan pembaitan (inisiasi atau talqin). Zawiyyah dipimpin oleh seorang pemimpin spiritual yang merupakan grand master suatu tarekat. Pendidikan di Zawiyyah dimulai sejak dini yang diawali dengan membaca dan menghapal al-Qur’an di bawah bimbingan guru al-Qur’an. Pada tahap berikutnya murid mulai belajar tafsir atau komentar terhadap al-Qur’an. Di tempat ini diajarkan juga ilmu syariat, ibadah ritual, etika, filsafat, dan tata bahasa dengan guru tersendiri. Di sebagian Zawiyyah bahkan diajarkan pula puisi dan nyanyian (sama’) sebagai wahana elevasi jiwa. Untuk setiap materi dan kecakapan yang ditargetkan memiliki guru tersendiri. Setelah mencapai usia baligh dan dianggap matang murid boleh mengajukan diri untuk mengikuti baiat sebagai tanda masuknya seseorang ke dalam tarekat. Baiat ini lansgung ditangani oleh Syeikh7
Keberhasilan tarekat terekam dalam pengaruh besar tarekat dalam dunia Islam. Pasca keruntuhan Abbasiyah tugas menyebarluaskan Islam berpindah ke tangan kaum sufi. Pada masa Usmaniyah tarekat memiliki peranan besar dalam bidang politik dan militer. Bahkan dalam catatan Kabbani, banyak pola pendidikan tasawuf berkembang menjadi lembaga pendidikan yang sangat terkenal. Sebagai contoh, Ribath Abdulah Ibn Mubarak di Merv, Khaniqah Baibarsiyyah di Kairo dan sebuah sekolah sufi yang dipimpin oleh seorang muhadits besar, Ibn Hajar al-Asqalani.8
Dalam kehidupan sosial, alumni tarekat ini banyak yang diberdayakan untuk meringankan beban orang lain dan berusaha keras untuk menerangi jalan menuju kebenaran. Para ulama dan guru tarekat juga banyak yang terlibat dalam perjuangan fisik melawan kaum kafir sekaligus perjuangan rohani melawan nafsu tak kasat mata yang menjerat jiwa.
Deskripsi tarekat di atas dengan jelas menunjukkan bagaimana sistem pendidikan dibangun. Analisis terhadap fenomena tarekat tersebut menguatkan hipotesis bahwa pendidikan karakter dalam tasawuf memang ada. Lebih dari itu juga berhasil dalam membentuk dan membangun karakter positif dalam diri para muridnya.
2. Sumber Karakter dan Metode Pendidikannya
Ketika Barat yang sekuler dan Timur yang religi mengakui adanya nilai-nilai universal yang bercorak spiritual dalam setiap kesuksesan yang diraih manusia, psikolog, filosof dan ilmuwan Barat bertanya-tanya dari mana sebenarnya nilai-nilai universal itu berasal dan bersumber. Pertanyaan mendasar inilah yang tidak mampu dijawab oleh kecanggihan psikologi Barat dan spiritualitas non Islam.9 Demikian pula halnya dalam perumusan karakter positif yang harus dimiliki anak.
Tasawuf sebagai sebuah filsafat akhlak sejak awal pertumbuhannya telah mampu menjawab pertanyaan tersebut. Jalan terang menuju sumber karakter ini ditunjukkan oleh sebuah hadits populer yang berbunyi تَخَلَّقُوْا بِأَخْلاَقِ اللهِ تعالى . Berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Allah memiliki 117 karakrer, barang siapa yang mempraktekan satu karakter saja ia akan masuk surga.10 Bertitik tolak dari hadits inilah dalam tradisi sufi selalu dibicarakan upaya meneladani dan mengadopsi sifat-sifat Allah sebagai sumber dan metode pembentukan karakter.11
Penjelasan terbaik dan terlengkap tentang pemaknaan al-Asma al-Husna sebagai sumber karakter barangkali terdapat dalam karya al-Ghazali, al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (Tujuan Puncak dari Nama-Nama Allah). Al-Ghazali menyebutkan empat prinsip dalam memahami dan memaknai al-Asma al-Husna. Prinsip terakhir terakhir menjelaskan bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan seorang hamba terletak pada peniruan dan pengadopsian karakter-karakter Allah dan menghasi diri dengan makna-makna yang terkandung dalam nama-nama Allah itu sesuai dengan dimensi kemanusiaannya.12
Bagi seorang murid tasawuf yang sering disebut salik (penempuh jalan), nama-nama Allah bukan sekedar untuk didengar ungkapannya, dimengerti makna bahasany dan diyakini secara doktriner eksistensinya pada Allah. Banyak orang bisa melakukan tiga tahapan ini tanpa harus menempuh pendidikan tasawuf. Ada tiga langkah yang harus ditempuh seorang murid untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan dimaksud. Pertama, memahami makna-makna setiap nama dengan cara mukasyafah dan musyahadah sehingga tampak jelas baginya hakikat-hakikatnya melalui dalil yang tidak mungkin salah dan tersingkap kebersifatan Allah dengan sifat-sifat itu dengan penuh keyakinan yang benar-benar terasa yang berbeda dengan keyakinan doktriner. Kedua, menghormati dan memuliakan sifat-sifat keagungan yang telah tersingkap yang mendorong kerinduan untuk memiliki karakter seperti sifat-sifat Allah. Dalam tahapan ini al-Ghazali menganalogikan kerinduan berkarakter ini dengan hubungan guru-murid. Seorang murid bila telah menyaksikan kehebatan ilmu gurunya maka dalam dirinya akan tumbuh kerinduan untuk menyerupai dan mengikuti sang guru. Ketiga, berusaha mengadopsi sifat-sifat itu dan menghiasi diri dengannya sehingga ia menjadi seorang rabbāni, yaitu orang yang dekat dengan Allah.13
Namun demikian sangat perlu digarisbawahi bahwa peniruan atau pengadopsian sifat-sifat Allah ini bukan berarti menyamakan Allah dengan manusia atau manusia mampu menyamai Allah. Prinsip bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu pun dan tak sesuatu pun yang menyerupai Allah (adam al-Mumātsalah) tetap menjadi prinsip. Dalam hal ini al-Ghazali memilah antara musyārakah dan mumātsalah. Yang tidak mungkin terjadi adalah mumātsalah atau kesamaan secara persis yang menjangkau sisi esensial atau dzat. Ada pun musyarakah secara faktual itu telah terjadi karena hanya berkenaan dengan aspek lahir. Sebagai misal, ketika kita mengatakan Allah berkuasa (qādir), Allah mendengar (samī’), Allah melihat (bashir), Allah berbicara (mutakallim), bukankah kita pun mengatakan demikian kepada manusia. Si berkuasa, si B mendengar, si C melihat, si D berbicara, dan seterusnya. Hal ini hanya menunjukkan keserupaan dalam segi penyebutan. Ada pun hakikat bekuasa, mendengar, melihat, berbicara Allah dengan manusia adalah wilayah yang tidak bisa dan tidak mungkin disamakan.14 Al-Ghazali dengan tegas menolak proses takhalluq atau pengadopsian karakter yang dilakukan melalui cara intiqāl, ittihād dan hulūl. Intiqāl adalah mentransfer (hakikat) sifat-sifat Allah ke dalam diri manusia. Ittihād adalah Dzat manusia menyatu dengan dzat Allah, atau manusia menjadi Allah. Dan Hulūl adalah Dzat Allah melebur dalam diri manusia. Yang dimaksud dengan takhalluq dalam pembahasan al-Ghazali adalah menetapkan aspek-aspek dari sifat-sifat Allah sebagai sifat manusia sesuai dengan dimensi kemanusiaannya, yang memiliki kesamaan dalam penyebutan tetapi tidak menjangkau kesamaan mutlak pada hakikat sifa-sifat Allah maupun Dzat Allah itu sendiri.15
Dalam mengimplementasikan konsepnya ini, al-Ghazali membaginya ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah sifat-sifat yang tidak memiliki aspek takhalluq atau adoption. Al-Ghazali tampak sekali sangat berhati-hati dalam kelompok pertama ini karena khwatit terjerumus ke dalam modus mumātsalah, intiqāl, ittihād dan hulūl. Kelompok kedua adalah sifat-sifat yang memiliki aspek takhalluq tetapi lebih dominan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam kelompok ini pemaparan al-Ghazali sangat bersifat global. Kelomkpok ketiga adalah sifat-sifat yang memiliki aspek takhalluq dalam kontek hubungan manusia dengan sesamanya atau dengan lingkungan. Proses takhalluq untuk kelompok ini dijelaskan secara gamblang dan luas. Sebagai contoh, ketika al-Ghazali membahas sifat al-Razzāq menyebutkan bahwa manusia yang telah memahami sifat ini harus memiliki karakter peduli (caring) kepada semua makhluk Allah. Ia harus mampu menjadikan ilmu, petunjuk, lidah, tangan, dan semua yang Allah berikan sebagai jembatan bagi orang lain untuk meraih rejekinya. Ia harus menjadi perantara (wāsithah) yang membantu orang lain memenuhi kebutuhannya.16 Demikianlah al-Ghazali menunjukkan bahwa nama-nama Allah adalah sumber terbentuknya karakter positif dalam diri manusia.
Pemaparan al-Ghazali terhadap pemaknaan dan pengadopsian karakter ini didasarkan pada pemikirannya bahwa ma’rifat yang merupakan tujuan puncak tasawuf bukanlah ma’rifat terhadap Dzat Allah. Dzat Allah hanya bisa dijangkau oleh Allah sendiri. Dalam pada itu maka puncak ma’rifat para sufi adalah kelemahan mereka untuk ma’rifat, menjangkau Dzat Allah. Ada pun ma’rifat yang bisa dijangkau adalah ma’rifat terhadap sifat-sifat Allah dengan tiga langkah yang telah dijelaskan di muka.
Sebagai sebuah metode pembentukan karakter (character building), takhalluq ini sebenarnya berkaitan dengan dua proses lainnya, yaitu ta’alluq dan tahaqquq. Hal pertama yang harus dilakukan seorang hamba adalah menjalin hubungan yang baik dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan ta’alluq atau relationship. Tahapan ini dilakukan dengan memperbanyak dzikir untuk mengikatkan kesadaran dan pikiran kepada Allah sehingga di mana pun berada ia tidak terlepas dari berrdzikir dan berfikir untuk Allah. Dari tahapan inilah muncul kedekatan dan perkenalan yang akrab dengan Allah. Pada fase ini seorang hamba mulai memahami Allah melalui pengenalan sifat-sifat-Nya. Pengenalan dimaksud bukan sekedar menyebut dan mendengar nama-Nya, memahami makna kebahasaan dari nama itu, dan meyakininya sebagai benar-benar sifat yang melekat kepada Allah. Lebih dari itu fase ini menghendaki seorang murid menjalani mukasyafah dan musyahadah dalam memahami sifat Allah itu. Ini lah yang dimaksud dengan tahaqquq atau realization. Keberhasilan melampau tahapan ini akan membawa seorang murid kepada fase takhalluq atau adoption yang bisa dikatakan sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Di sini seorang murid secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya.17 Ini lah awal terbentuknya karakter-karakter positif dalam diri murid.
Dalam riset kontemporer terhadap karakter-karakter unggulan yang membuat individu maupun korporasi meraih sukses, disimpulkan bahwa karakter-karakter itu memiliki pertautan dengan sifat-sifat Allah atau merujuk pada pembahasan terdahulu, merupakan hasil adopsi terhadap sifat-sifat Allah. Dalam upaya membentuk karakter positif manusia akan terus mencari sifat-sifat Allah meskipun mereka menamakannya dengan istilah lain, seperti Good Corporate Governence (GCG), CEO Characters, Good Characters, atau apapun namanya.18
3. Maqāmāt sebagai Zero Mind Process
Maqāmat adalah sebuah ajaran tasawuf yang tak lengkap membicarakan tasawuf tanpa membicarakannya. Selama ini maqāmāt selalu dipahami secara tradisional, yaitu pandangan bahwa maqāmāt tersebut sekedar tahapan-tahapan sufistik. Padahal sebagai bagian dari ajaran tasawuf yang universal, semestinya maqāmāt dapat dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang selama itu berkaitan dengan upaya perbaikan martabat manusia.
Interpretasi progresif terhadap maqāmāt di antaranya telah dilakukan oleh DR. Amir An-Najar. Bagi An-Najar, maqāmāt bukan sekedar tangga-tangga sufistik tetapi merupakan jalan yang sangat tepat untuk terapi berbagai penyakit jiwa dan hati, membersihkan segala kerendahan dan menghiasinya dengan kebaikan.19 Jadi An-Najar menafsirkan maqāmāt sebagai sebuah metode psikoterapi sufistik modern. Sementara Ali Murtadlo mencoba memaknai tahapan maqāmāt itu sebagai metode konseling transpersonal.20 Ada pula penelitian yang mencoba memahami maqāmāt dengan pendekatan sains modern. Upaya-upaya kreatif ini menunjukkan bahwa maqāmāt bisa ditafsirkan dan diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan tanpa harus terikat dengan tasawuf secara tradisional.
Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter yang ditempuh melalui ta’alluq (relationship), tahaqquq (realization), dan takhalluq (adoption), maqāmāt dapat diposisikan sebagai pencetus sekaligus penjaga karakter yang telah terbentuk melalui tiga tahapan tersebut. Pengadopsian sifat-sifat Allah tidak akan bisa dilakukan tanpa kebeningan hati dan emosi yang terkontrol. Hal ini memerlukan sebuah upaya menjaga kondisi hati dan pikiran agar tetap fokus kepada Allah. Inila yang dimaksud dengan Zero Mind Process. Maqāmāt dengan segala perbedaan rumusan dari para ahli sufi, sejatinya adalah langkah-langkah sistematis dalam Zero Mind Process.
Pembersihan hati dan stabilisasi emosi dengan Zero Mind Process ini dikarenakan hati selalu rawan terkontaminasi oleh berbagai noda. Noda-noda ini lah yang akan menjadi penghalang proses adopsi sifat-sifat mulai Allah. Dengan meminjam sistematika maqāmāt yang dirumuskan oleh Abu Nasr al-Sarraj yang meliputi taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal dan ridla,21 proses dapat dipahami sebagai upaya membersihkan diri (takhliyyah). Taubat membersihkan diri dari perilaku nista yang merugikan diri dan orang lain. Taubat sekaligus menjadi komitmen pelurusan misi hidup seseorang untuk hanya mengorientasikan hidup kepada Allah. Wara’ membersihkan diri dari sikap hidup yang ceroboh dan gegabah yang tidak peduli dengan aturan Allah. Zuhud membersihkan diri dari sikap tamak, rakus dan menggantungkan diri kepada orang lain. Faqr membersihkan diri dari sikap materialitis dan hedonis. Sabar membersihkan diri dari amarah dalam menghadapi kesulitan. Tawakal membersihkan diri dari sikap pesimis. Dan ridla membersihkan diri sikap putus asa.22 Demikianlah maqāmāt sebagai proses penjernihan emosi yang akan mengawal langkah relationship, realization dan adoption dalam proses pembentukan karakter.
B. Kesimpulan
Kajian terhadap pendidikan karakter dalam tasawuf menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan keniscayaan dalam pendidikan karakter. Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas memiliki jejak pendidikan karakter yang jelas dan sistematis. Dan itu diwakili oleh tasawuf. Pengabaian terhadap pendidikan karakter dalam dunia pendidikan Islam sekarang ini dikarenakan pengabaian tasawuf sebagai khazanah ajaran Islam. Hal itu terjadi karena pandangan yang menganggap tasawuf sebagai ajaran yang elitis dan sakral yang tidak mungkin dibawa ke dunia sekolah. Upaya pendidikan karakter tiada lain adalah dengan mengadopsi dan mereduplikasi pola pendidikan tasawuf dalam sistem pendidikan formal di sekolah sesuai dengan tuntutan zaman. Model pendidikan karakter dari hasil kajian ini adalah melaui metode ta’alluq (relationship), tahaqquq (realization) dan takhalluq (adoption) yang dibingkai dalam tangga maqāmāt sebagai proses penyucian diri dan stabilisasi emosi atau dewasa ini populer dengan sebutan Zero Mind Process.
Wallahu a’lam bi al-shawāb wa ilaih al-marji’u wa al-maāb.
1 Lihat Muhamad Hisyam Kabbani, Self Purificationand The State of Excellence: Encyclopediaof Islamic Doctrine, vol. 5. Penerjemah Zaimul Am (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 16. Bandingkan dengan Annemarie Schimmel, Mistical Dimension of Islam. Penerjemah Sapardi Djoko Damono dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 123
2 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat Kajian Historis Tentang Mistik (Solo: Ramadhani, 1996), h. 67
3 Untuk menjelaskan hakekat al-Ghazali menggunakan istilah Asrār al-ibadah. Aspek hakekat dari shalat misalnya, ia istilahkan dengan asrār al-shalat. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din pada pembahasan Asrār al-Thaharah sampai Asrār al-Hajj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980)
4 Lihat Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 73
5 Sri Mulyati (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 6
6 Lihat dan bandingkan Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 74; Kabbani, Self Purification, h. 17; dan Sri Mulyati (et.al), Tarekat-Tarekat Muktabarah, h. 9
7 Lihat Bentounes, le Soufisme, h. 3-4
8 Lihat Kabbani, Self Purification, h. 18
9 Lihat Ary Ginanjar Agustian, Psikologi Asmaul Husna (CD), Jakarta: Arga,
10 Pernyataan ini merujuk kepada sebuah hadis yang berbunyi
إنَّ لله مائة خلق وسبعة عشر خلقا من أتاه بخلق منها دخل الجنّة. Lihat Baihaqi, Syu’ab al-Imān, Sedangkan dalam riwayat lain menggunakan redaksi أن لله تسعة وتسعين اسما مائة إلا واحدا من احصاها دخل الجنة. Sesunguhnya Allah memiliki 99 nama, barang siapa yang menguasainya ia masuk surga. Lihat Musnad Ahmad hadits ke-7627, Sahih Bukhari hadits ke-2736, Muslim hadits ke-2677, Tirmidzi hadits ke-3506, Ibn Majah hadits ke-3860, dan Ibn Hibban hadits ke-807
11 Lihat al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnā Syarh Asma Allah al-Husna (Mesir: Maktabah al-Jundi, tt), h. 144
12 Al-Ghazali, al-Maqshad, h. 31
13 Lihat al-Ghazali, al-Maqshad, h. 31-33. Bandingkan dengan Pablo Beneito yang menyebut tahapan ini istilah The Adoption of The Character Straits, Lihat Pablo Beneito, The Servant of Loving One on The Adoption of Character Straits of al-Wadūd, artikel diunduh pada tanggal 14 Januari 2008 dari www.ibnarabysociety.org
14 Lihat al-Ghazali, al-Maqshad,h. 35; Syamsudin Abi Abdillah Muhamad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Asnā fi Syarh Asmā Allah al-Husnā wa Sifātih, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 2005), h. 3
15 Rumusan takhalluq yang dipaparkan al-Ghazali ini berbeda dengan konsep al-Tajalli bi Sifat seperti yang dijelaskan oleh al-Jili. Bagi al-Jīli penjelmaan sifat-sifat itu dalam diri manusia adalah penerimaan dzat manusia untuk memiliki sifat-sifat Allah seacar prinsip, nyata dan kongkrit. Hakikat sifat Allah ada dalam diri manusia. al-Jīli menggambarkan bila sifat ilmu Allah menjelma pada seseorang maka ia akan tahu segala hal dari permulaan sampai akhir. Ia tahu segala sesuatu bagaimana dulu, sekarang dan nanti. Ia pun tahu sesuatu yang belum terjadi, dan tahu mengapa sesuatu tidak terjadi. Lihat Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jīli, al-Insān al-Kāmil fi Ma’rifah al-Awākhir wa al-Awāil, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 63
16 Lihat al-Ghazali, Al-Maqshad, h. 75-76
17 Tahapan ini dijelaskan oleh Ibn Arabi dalam Kasyf al-Ma’na an Sirr al-Asma al-Husna sebagaiamana dikutip dan disadur oleh Pablo Beneito dalam The Journal of Muhyiddin Ibn Araby Society Vol. XXXII tahun 2002. Lihat www.ibnarabysociety.org
18 Lihat Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitakn ESQ Power, Sebuah Inner Journey Melalui Ihsan,(Jakarta: Arga, 2004), h. 93
19 Lihat An-Najar, Al-Tashawuf al-nafsi, h. 41
20 Lihat Ali Murtadlo, Tasawuf sebagai Teknik Konseling (Perspektif Konseling Transpersonal), Teologia, vol. 15 no. 2, Juli 2004, h. 205
21 Lihat Abu Nasr al-Sarraj, al-Luma’ fi al-Tashawwuf
22 Lihat Michael A. Sells, Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur’an, Mi’raj, Poetic and Theological Writings. Penerjemah Alfatri (Bandung: Mizan, 2004), h. 263-274
0 comments:
Post a Comment