Pada dasarnya, salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai sebuah kewajiban humanis dan liberal di satu sisi, dengan dominasi dan dehumanisasi di sisi lain, adalah bahwa dehumanisasi merupakan pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat (peserta didik) melalui ilmu pengetahuan. Memang keduanya saling berlawanan yang berkisar pada hubungan kesadaran manusia dan dunia. Dengan mengasumsikan pendidikan sebagai proses dominasi, orang yang menguasai ilmu pengetahuan justru meniadakan prinsip kesadaran aktif. Pendidikan ini menjalankan praktek-praktek yang digunakan untuk ‘menjinakkan’ kesadaran manusia dan mentransformasikannya ke dalam sebuah wadah kosong. Kultur pendidikan dalam dominasi ini diarahkan pada situasi di mana pendidik (guru) merupakan satu-satunya orang yang mengetahui dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik sebagai orang yang tidak tahu apa-apa.
Dalam konteks inilah, seseorang memerlukan sebuah proses pendidikan yang dilakukan dengan kesadaran untuk belajar memahami realitas secara bersama-sama dengan metode dan analisis yang tepat, sehingga menemukan sebuah akar dari permasalahan yang ada. Dari sinilah seseorang menjalani penyadaran (conscientizacao), sebagai sebuah pencarian jawaban-jawaban secara kooperatif atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang.[24]
Penyadaran adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk membuka tabir-tabir keterasingan dan penindasan yang menyelimuti manusia. Kesadaran sosial dalam proses pembebasan -- atau meminjam istilahnya Romo Y.B. Mangunwijaya, pendidikan pemerdekaan[25] -- manusia begitu penting, karena hanya kesadaran dan mentalitas yang tercerahkan, jernih dalam melihat realitas dan wawasan kemanusiaan yang baru, yang menentukan terjadinya transformasi sosial. Dengan kesadaran kemanusiaan yang luhur manusia akan menjadi penentu atas terciptanya struktur hidup yang harmonis.
Pendidikan bukanlah wujud dari penindasan. Pendidikan selalu bertujuan membina kepribadian manusia. Diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk mendukungnya, di mana pendidik dan peserta didik secara bersama-sama mendunia. Maka dari itu, paradigma pendidikan humanis lebih memandang manusia sebagai “manusia”, yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah atau potensi tertentu. Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur), sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya, sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial dan hanya menunaikan kewajiban-kewajiban keagamaannya.[26]
A. Landasan Pendidikan Humanis
Kemanusiaan dan pemanusiaan merupakan tinjauan pokok yang tidak terlepas dari bidikan pendidikan humanis yang membebaskan, sebab selama ini terlihat adanya proses pendidikan yang membelenggu, yang pada hakikatnya adalah bentuk-bentuk penindasan terhadap kebebasan berpikir kritis sekaligus penaklukan terhadap kreatifitas peserta didik sebagai makhluk yang otonom. Hal inilah yang nantinya akan mengarah kepada bentuk-bentuk dehumanisasi.
Tinjauan pokok tersebut memang menjadi tujuan dasar untuk mengembalikan fungsi pendidikan itu sendiri sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi). Ini perlu sekali dilakukan karena menurut pandangan aksiologis,[27] pemanusiaan selama ini selalu dipandang sebagai masalah utama manusia yang memprihatinkan,[28] dan masalah ini perlu sekali dipedulikan dengan sungguh-sungguh.
Kepedulian terhadap masalah pemanusiaan, kemudian akan membawa pada pengakuan terhadap dehumanisasi yang hanya bukan kemungkinan ontologis melainkan sudah menjadi kenyataan historis.[29] Sejarah antara humanisasi dan dehumanisasi dalam konteks-konteks nyata serta objektif merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Kemungkinan-kemungkinan yang paling menonjol, baik itu disadari maupun yang tidak disadari oleh manusia, adalah meluasnya gejala-gejala dehumanisasi. Dan kemungkinan itu sudah menjangkit kedalam sistem pendidikan. Ini bisa terlihat salah satunya dalam proses belajar mengajar. Di sini terlihat adanya bentuk dominasi yang dilakukan oleh guru kepada muridnya.
Dehumanisasi dalam praktek pendidikan tersebut, menempatkan guru sebagai seorang “penindas” yang memposisikan dirinya sebagai subyek pendidikan yang menganggap dirinya paling mengetahui tentang pengetahuan. Sedang anak didik diposisikan sebagai obyek pendidikan yang tidak mengetahui apa-apa dan harus selalu siap untuk menerima transfer pengetahuan (transfer of knowladge) yang diberikan oleh gurunya tanpa adanya upaya untuk mengembangkan kreativitas berpikir secara mandiri. Sehingga bisa dikatakan, guru di sini adalah penindas sedangkan murid yang tertindas.
Praktek yang demikian berlangsung cukup lama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal inilah yamg sempat disinggung oleh Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank (banking education concept), yaitu pendidikan yang hanya mengkomsumsi pengetahuan saja tanpa disertai sebuah usaha untuk menumbuhkan kebesaran rasa ingin tahu (curiosity) murid terhadap pengetahuan yang diperolehnya. Dalam pendidikan gaya bank, pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengannya, dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataannya dan “mengisi” tabungan yang diteima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Disini ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas menerima, mencatat dan menyimpannya. Dalam pendidikan model ini, walaupun mereka (para murid) mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan, pada akhirnya mereka sendirilah yang tersimpan, karena miskinnya daya cipta, daya ubah dan pengetahuan. [30] Padahal pendidikan yang sebenarnya adalah bentuk pendidikan yang benar-benar mampu memfungsikan kesadaran manusia untuk bergerak membentuk pengetahuan yang lebih luas secara bebas.
Untuk itulah diperlukan pendidikan yang dapat digunakan sebagai alat pembebasan, yang meletakkan manusia pada fitrah kemanusiaannya. Secara konsisten pendidikan ditempatkan dalam konfigurasi memanusiakan manusia, bukan sebaliknya dalam gejala dehumanisasi yang merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia -- anak didik -- dalam genggaman hegemoni dan dominasi kaum penindas -- para pendidik.
Usaha pendidikan menurut Freire, harus melepaskan diri dari kecenderungan hegemoni dan dominasi tersebut. Hal yang mendasarinya adalah bahwa pendidikan yang memiliki karakteristik hegemonik dan dominasi tidak akan pernah mampu membawa para anak didik pada pemahaman diri dan realitasnya secara utuh.[31] Mungkin inilah yang sebaliknya akan membawa para anak didik pada situasi beku dan miskin kreativitas. Situasi ini yang nantinya membuat para anak didik sulit berkembang yang mengakibatkan mandulnya pemikiran karena tidak terbiasa menghadapi tantangan zamannya.
Hal tersebut yang mendasari perlunya praktek pendidikan yang membebaskan atau pendidikan humanis, yang sangat menentang keras bentuk-bentuk penindasan dan pembelengguan terhadap kreativitas dan daya pikir kritis seseorang. Apapun nama, bentuk dan alasannya, penindasan dan pembelengguan – dalam pandangan pendidikan humanis -- merupakan sesuatu yang tidak manusiawi, yakni sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan dan potensi yang dimiliki manusia (dehumanisasi).
Dalam konsep pendidikan humanis ini, bila ditelusuri terdapat tiga aliran pendidikan yang dijadikan pendekatan atau sebagai paradigma/landasan pendidikannya. Pertama, aliran progresivisme. Aliran progresivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke-20 dan sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan. Progresivisme sebagai teori pendidikan muncul sebagai reaksi yang nyata terhadap pendidikan tradisional, yang menekankan pada metode-metode pengajaran formal, mental belajar, dan literatur-literatur klasik. Karena progresivisme sendiri selalu berhubungan dengan pengertian the liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.[32] Harus diakui bahwa progresivisme, yang kemudian dikembangkan oleh John Dewey adalah sebuah aliran pendidikan yang sudah sangat mapan, dan keberadaannya telah mempengaruhi sistem pendidikan di belahan dunia.[33] Prinsip dasar aliran ini bahwasanya asal dan tujuan proses pendidikan bisa ditemui pada diri anak. Aliran ini mempunyai konsep yang mempercayai manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, serta kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu untuk merubah dan menyelamatkan manusia demi masa depannya, sebagaimana ungkapan Hegel, “the dynamic, ever-readjusting processes of nature and society”. Dengan kata lain, alam dan masyarakat bersifat dinamis dalam proses penyesuaian dan perubahan yang tidak pernah berhenti.[34] Dalam progresivisme, tujuan pendidikan selalu diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus dan bersifat progresif.[35]
Kedua, aliran konstruktivisme. Konstruktivisme dikemukakan pertama kali oleh Giambatista dan kemudian diperkenalkan oleh Mark Baldwin serta dikembangkan lebih lanjut oleh Jean Piaget. Dalam teori pendidikan ini, secara ontologis, heterogenitas yang menjadi dasar pandangan tentang realitas, yang membuat paradigma konstruktivisme menjadi dinamis. Disini, individu dipandang sebagai makhluk yang otonom dan mandiri. Dalam hal ini, belajar menjadi bersifat demokratis sesuai dengan kebutuhan minat dan diferensiasi individu. Disini anak diperlakukan sesuai dengan kemampuan bakat dan minat sehingga kegiatan belajar itu dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan, karena anak akan berkembang sesuai dengan gerak dinamikanya masing-masing.[36]
Ketiga, aliran eksistensialisme. Eksistensialisme pada hakikatnya merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran ini dikembangkan oleh Kierkegaard, dan Sartre. Eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap dua aliran yang memiliki pandangan ekstrem, yaitu materialisme, yang memandang manusia sebagai objek dan materi sebagai keseluruhan manusia, dan idealisme, yang dikembangkan Hegel, yang memandang manusia sebagai subjek kesadaran dengan terlalu meremehkan eksistensi yang kongkret manusia, mengutamakan idea yang sifatnya umum, serta menjunjung aspek kesadaran yang sangat berlebihan sehingga seluruh manusia tergantung dari berpikir.[37] Kaitannya dengan pendidikan, sebagaimana yang disimpulkan oleh van Cleve Morri, bahwasanya eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu, eksistensialisme dalam hal ini menolak adanya bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang, terutama bentuk hegemonik dan dominasi yang sangat membelenggu kreativitas dan nalar kritis anak didik.
Dari ketiga aliran pendidikan inilah konsep pendidikan humanis melahirkan pola filsafat pendidikan yang dianggap membebaskan sebagai jalan untuk menanggulangi dehumanisasi dalam pendidikan.[38]
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi manusia yang sesungguhnya kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nila-nilai budaya), yang meliputi; nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan (sosial) dan politik.
Howard Garner menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas intelegensia (kecerdasan). Menurutnya, paling tidak manusia memiliki tujuh macam kecerdasan, yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis, yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa, baik secara tertulis maupun lisan (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini).
3. Kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi.
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan, yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasarkan gerakan yang dilihat.
5. Kecerdasan musical/ritme, yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme, dengan kata lain mempunyai kepekaan akan suatu nada atau ritme.
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial, yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan objek. Suatu kemampuan seseorang dalam menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan intrapersonal, yaitu suatu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya, seperti refleksi diri, kesardaran akan hal-hal yang bersifat rohani.
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan, yang meliputi inter dan intra personal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme. Dengan demikian sangat penting kiranya nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman kepribadian dipisahkan. Sangat disayangkan, ternyata hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang banyak dikembangkan di sekolah, sedangkan kecerdasan yang lainnya sedikit sekali. Hal ini tentu sangat merugikan anak didik, sebab tidak semua bakat dan kemampuan dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian anak didik yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan untuk mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas, baik otak kanan maupun otak kiri, yang mampu mengakomodir semua aspek kemanusiaan perseorangan yang dibutuhkan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya, manusia memiliki daya dan jiwa, yaitu cipta, karsa, dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut adanya pengembangan semua daya (potensi) yang dimilikinya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada satu aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan anak didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai saat ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika hal ini diteruskan akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu makhluk yang berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak. Maka salah satu yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. H.A.R Tilaar coba menawarkan konsep supaya pendidikan benar-benar menjadi sebuah proses yang mengarah kepada pengembangan manusia, yaitu pertama, pendidikan adalah proses pemberdayaan, hal ini berarti pendidikan adalah usaha untuk memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah manusia yang dapat berpikir kreatif, yang mandiri, dan yang dapat membangun dirinya dan masyarakatnya. Manusia yang berdaya adalah manusia yang produktif.
Kedua, pendidikan sebagai proses pembudayaan, pendidikan seharusnya merupakan suatu proses pembudayaan yang diarahkan kepada berkembangnya kepribadian seseorang yang mandiri sebagai anggota masyarakat yang demokratis. Selama ini menurutnya, pendidikan telah diasingkan dari kehidupan kebudayaan di dalam arti yang luas. Pendidikan semata-mata telah menjadi alat kekuasaan atau dipolitikkan oleh segolongan elit penguasa. Pendidikan bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya. Menurutnya, tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and civilized human being). Dengan demikian, pendidikan merupakan proses hominisasi dan humanisasi seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya, kini dan masa depan.[39]
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan humanis sebagai upaya memperbaiki system pendidikan yang selama ini masih kurang begitu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Ada tiga aliran pendidikan yang dijadikan sebagai pendekatan dalam pendidikan humanis, yaitu progresivisme, konstruktivisme, dan eksistensialisme. Ketiga aliran tersebut diperkuat dengan adanya pendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sejumlah potensi kecerdasan yang harus dibina dan diberdayakan secara optimal yang dijadikan sebagai landasan pendidikan humanis. Potensi tersebut meliputi kecerdasan matematis/logis, verbal/bahasa, fisik/gerak, musical/ritme visual/ruang, dan kecerdasan emosional yang meliputi kecerdasan inter dan intrapersonal.
B. Proses Penyadaran sebagai Tujuan Pendidikan Humanis
Sebenarnya dengan mengetahui gambaran manusia yang mau dicapai sebagaimana yang telah diuraikan di atas, sudah menjadi nampak apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama pendidikan humanis. Akan tetapi berhubung ide tentang manusia di atas lebih merupakan deskripsi, kiranya belum cukup memadai untuk manarik begitu saja dari dalamnya tentang apa yang menjadi tujuan pendidikan humanis.
Menurut Paulo Freire, tujuan pendidikan yang humanis adalah untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat dan keinginan peserta didik dan guru dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru.[40] Kesadaran manusia dibentuk melalui pendidikan dan aksi-aksi budaya yang membebaskan. Klaim pendidikan sebagai sebuah praktek pembebasan yang ditujukan untuk mengkaji ilmu baru, hal ini tidak akan tercapai jika perlakuan terhadap kesadaran manusia sama seperti perlakuan pendidikan yang dominatif. Freire menegaskan, guru yang humanis harus tepat dalam memahami hubungan dalam kesadaran manusia antara manusia dan dunia. Dengan segala usahanya sendiri, manusia bisa menghidupkan kembali melalui proses alamiah, dimana kesadaran timbul dari kemampuan mempersepsi diri. Dengan demikian Freire menekankan akan tujuan pendidikan untuk membentuk kesadaran manusia guna menciptakan ilmu pengetahuan baru.[41]
J. Ledesma, seorang humanioris di Kolose Roma yang terkenal pada pertengahan abad ke-16 merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut: pendidikan bertujuan membantu seseorang supaya dapat menggarap hidupnya sendiri, supaya akal budinya berkembang, supaya dapat terlibat dalam tata kemasyarakatan dan dengan demikian dapat semakin mudah mencapai tujuan hidup, yaitu bersatu dengan Tuhan.[42]
Tujuan pendidikan yang dikemukakan Ledesma mirip dengan cita-cita pendidikan Mangkunegoro IV, khususnya dengan tujuan pendidikan sebagaimana dirumuskan Ki Hajar Dewantara, yakni bahwa tujuan pendidikan itu agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup peserta didik, yaitu selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat-istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan dengan kebudayaan lain.
Dapat dikatakan bahwa pada akhirnya tujuan pendidikan harus berpuncak pada adanya perubahan dalam diri peserta didik. Perubahan yang dimaksud terutama menyangkut sikap hidup, sikap terhadap kehidupan yang dialaminya. Tujuan pendidikan humanis tidak saja memberikan pengetahuan mengenai bahan-bahan yang diajarkan, tetapi mengajak menghayatinya, mengajak mencoba menyelami dan memahami berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan dengan berbagai dimensinya. Tidak hanya potensi intelektual peserta didik yang tersentuh, tapi juga kemanusiaannya sendiri, baik sebagai individu maupun dalam konteks kehidupannya sebagai warga masyarakat. Dengan demikian, pendidikan humanis diharapkan dapat membantu peserta didik dalam usahanya mengembangkan dan memperkaya kepribadiannya sebagai manusia.
Ini sejajar dengan pendapat Driyakarya tentang arti perbuatan mendidik, yaitu bahwa dengan tindakan mendidik itu merupakan usaha memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani, itulah yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik, yang jumlah dan macamnya tidak terhitung. Secara singkat Driyakrya merumuskan bahwa intisari atau eidos dari pendidikan adalah pe-manusia-an manusia muda.[43]
Hal senada menjadi prioritas Freire didalam mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri dan sesama, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Bagi Freire praktik pendidikan harus mengimplikasikan konsep tentang manusia dan dunianya. Pengenalan itu harus bersifat subjektif sekaligus objektif untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas.
Pendidikan menurutnya adalah suatu upaya untuk pembebasan dan pemanusiaan. Dalam rangka pemanusiaan dan pembebasan itulah, Freire melihat penyadaran (conscientizacao) sebagai inti pendidikan. Conscientizacao atau conscientization adalah proses di mana manusia mendapatkan kesadaran yang terus semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidupnya dan akan kemampuannya untuk merubah realitas. Sebuah proses penyadaran yang mengarah sekaligus memproduksi suatu konsep pembebasan yang dinamis agar tercipta iklim kemanusiaan yang lebih utuh. Freire menerangkan conscientizacao sebagai proses menjadi manusia yang lebih penuh atau suatu proses perkembangan kesadaran melalui tiga tahap yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu magis, naïf, dan kesadaran kritis.[44]
Kesadaran pertama, kesadaran magis (magical consciousness) atau kesadaran semi-transitif, ialah suatu fase kesadaran di mana orang mengadaptasi atau menyesuaikan diri secara fatalistik dengan sistem yang ada. Sebuah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Pada tahap ini manusia terperangkap oleh mitos inferioritas alam atau merasa rendah diri. Kesadaran ini lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dari ketidakberdayaannya. Eksistensi manusia tidak dianggap sebagai masalah kritis, di mana manusia dapat campur tangan di dalamnya, tetapi dipahami sebagai “takdir” atau “kehendak Tuhan”. Pemikiran magis sekaligus fatalistik ini adalah khas bagi kesadaran tertindas dalam bentuknya yang paling ekstrim. Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat. Anak didik secara dogmatis menerima ‘keberanian’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Kedua adalah kesadaran naïf (naival consciousness) atau kesadaran naif-transitif, yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat. Kesadaran naïf adalah kesadaran yang masih menjadi bagian dari kesadaran massa, di mana kemampuan dialog masih rapuh dan mudah diselewengkan. Pada tahap ini, kesadaran manusia mulai mampu mengenali persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas yang dihadapinya, namun kesadaran ini masih terisi oleh pendapat-pendapat dan sikap-sikap naïf. Dalam kesadaran ini, lebih mengutamakan upaya bagaimana manusia bisa terbentuk menjadi man power development, pasalnya mereka lebih cenderung melihat suatu kemiskinan dan kebodohan lebih disebabkan karena kesalahan masyarakat itu sendiri.[45] Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan system dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar yang merupakan faktor given, oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar anak didik bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut, sehingga dengan terbentuknya man power development diharapkan menjadi pemicu perubahan.
Ketiga dan terpenting dalam pendidikan adalah kesadaran kritis (critical consciousness) atau kesadaran transitif-kritis, yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan implikasinya pada masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, yaitu melatih anak didik untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Jika pada tingkat kesadaran transitif-naif, seseorang diijinkan untuk menyesuaikan dirinya dengan dunia. Kesadaran kritis mengijinkan manusia untuk berintegrasi dengan dunia melalui aktivitas budaya. Kesadaran kritis mengisyaratkan pengertian dan analisis mengenai hubungan kausal di mana manusia menemukan dirinya sendiri “berada dalam suatu situasi”.[46]
Analogi Freire di atas yang mengandung tingkat kesadaran manusia telah menunjukkan bahwa tindakan manusia tergantung pada pemahaman mereka tentang kenyataan. Setiap tindakan pemahaman menentukan setiap tindakan tanggapan. Jika manusia mempunyai kesadaran magis, mereka bertindak secara magis dan gagal untuk keluar dari penindasan. Jika pemahaman mereka naïf, tindakan-tindakan mereka dapat dengan mudah direduksi menjadi irasionalitas. Jika pemahaman mereka atas realitas adalah pemahaman yang kritis, tanggapan mereka bisa jadi transitif, yaitu suatu kombinasi dari refleksi dan tindakan dalam praksis yang autentik.[47]
Tingkat-tingkat pemahaman yang dilontarkan Freire tersebut sangat dekat dengan apa yang disebut Kohlberg dan Mayer sebagai fase-fase perkembangan. Tingkat-tingkat tersebut ditentukan oleh perjalanan sejarah dan kultural yang berarti menunjukkan bahwa Freire melihat tingkat-tingkat tadi sebagai hasil bukan hanya dari pribadi seorang individu, tetapi juga hasil dari lingkungan di mana individu tersebut hidup dan faktor-faktor sejarah serta kultural yang diciptakan oleh lingkungan. Perkembangan individu tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan kemudian menjadi berkesadaran magis, bukan juga dari kesadaran magis langsung ke kesadaran kritis, juga bukan acak. Perkembangan adalah kemajuan dari kesadaran naïf ke kesadaran kritis, perkembangan ini muncul seiring dengan bergulirnya roda kehidupan.
Secara esensial, bahwa kesadaran kritis terhadap realitas merupakan keharusan bagi tindakan manusia dan transformasi sosial. Konsepsi kesadaran kritis didasarkan pada konsepsi hubungan dialektis antara dunia dan kesadaran manusia sebagai sebuah proses menuju pembebasan. Proses pembebasan ini melibatkan sebuah perjuangan yang tergantung pada suatu kesadaran yang terus tumbuh. Namun harus ditambahkan pula bahwa, proses ini juga menuntut praksis yang muncul dari kesadaran yang semakin lama semakin meninggi. Pembebasan bukanlah keadaan statis, melainkan suatu transformasi tatanan realitas yang sifatnya kontinyu. Apa yang muncul dari transformasi ini adalah proses pembebasan yang akan menghasilkan manusia baru.
Kesimpulan
Tujuan pendidikan humanis adalah proses pembebasan dan pemanusiaan. Sebuah proses penyadaran yang terarah sekaligus memproduksi suatu pembebasan yang dinamis sehingga tercipta iklim kemanusiaan yang lebih utuh (conscientizacao). Ada tiga kesadaran yang secara integral saling berhubungan, yaitu kesadaran magic, naïf, dan kritis. Tahap kesadaran kritis merupakan tujuan prioritas pendidikan humanis sehingga manusia secara sadar mampu memahami realitas sekitarnya dengan kritis. Kekritisan akan melahirkan sebuah tindakan kreativitas yang progresif-inovatif dalam lingkup sosio-kultur kehidupannya. Karena konsepsi kesadaran kritis didasarkan terhadap konsepsi hubungan dialektis antara dunia dan kesadaran manusia itu sendiri sebagai proses menuju pembebasan.
C. Dialogis: Proses Hadap Masalah dalam Pendidikan Humanis
Penolakan Freire terhadap pendidikan “gaya bank” merupakan serangan terhadap pendidikan tradisional yang telah memutlakkan pendidikan sebagai ajang monopoli guru terhadap peserta didik di sekolah. Untuk itu, Freire mencoba memecahkan kontradiksi yang terjadi tersebut dengan memposisikan guru dan murid sebagai mitra dialog dalam memecahkan segala masalah, bukan membuat jarak antara guru dan murid, karena dengan membuat jarak upaya penindasan terhadap murid terbuka lebar. Dalam pendidikan yang memanusiakan, metode penindasan tidak lagi menjadi alat bagi para pendidik untuk memanipulasi anak didiknya, karena pendidikan yang memanusiakan (humanis) mengungkapkan kesadaran kepada murid.[48]
Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas dan merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner belajar; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dewey menjelaskan, yang dikutip oleh Zubaidi, bahwa orang yang reflektif tidak hanya mempunyai keterampilan inkuiri tetapi juga memiliki sikap keterbukaan (openmindedness), berhati lapang dan bertanggungjawab;[49] pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktualisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tanggung jawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilihan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.
Pendidikan sebenarnya merupakan sarana dan cara untuk menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi. Pendidikanlah yang menjadi nilai paling penting bagi proses pembebasan manusia dari hal-hal yang sifatnya menindas dan mengarah kepada dehumanisasi. Tetapi pendidikan itu tidak akan mampu merealisasikan tujuannya untuk memanusiakan manusia, jika dalam prakteknya masih “tradisional” yang bersifat ”mendikte” pengetahuan yang dilakukan oleh guru kepada muridnya. Akhirnya murid hanya bisa meniru apa yang disampaikan oleh sang guru. Murid dalam hal ini tidak bisa bebas berpikir kritis dan mengembangkan kreativitasnya secara produktif, karena lebih cenderung ikut-ikutan dan bergantung kepada gurunya. Inilah yang menjadikan pendidikan membelenggu dan menindas.
Oleh karena itu, sebagai usaha untuk mencapai tujuan yang diharapkan, perlu sekali ditunjang dengan usaha pendidikan yang membebaskan, yakni pembebasan dari tradisi-tradisi ketergantungan berpikir dan dari pembelengguan kreativitas yang memposisikan murid tidak lagi menjadi objek pendidikan, melainkan bersama guru menjadi subjek pendidikan yang sama-sama aktif menggali dan mengembangkan pengetahuannya.
Dalam pendidikan pembebasan ini, tidak hanya berupa slogan-slogan yang sifatnya statis, yang tidak menjadikan seseorang kreatif. Tetapi dalam hal ini ada salah satu model atau metode yang sanggup membuat orang berpikir kritis dan kreatif, model pendidikan ini adalah dialog.[50] Dialog dijadikan model belajar, karena dalam pendidikan membebaskan ini terdapat hubungan dialogis yang permanen antara pendidik dan peserta didik di dalam proses pendidikannya.
Menurut Paulo Freire, model dialog yang membebaskan bukan hanya sekedar tehnik untuk mendapatkan suatu hasil pendidikan atau hanya dipahami sebagai tehnik yang menjadikan murid sebagai mitra guru semata. Sebaliknya, dialog harus dipahami sesuatu yang terlibat di dalam sejarah umat manusia. Dialog adalah bagian dari kemajuan historis dalam menjadi manusia. Oleh karena itu menurut Freire, dialog merupakan postur yang niscaya, sehingga manusia menjadi makhluk yang sangat komunikatif-kritis.[51]
Hal ini juga ditegaskan oleh Ira Shor, bahwa komunikasi bukan sekedar verbalisme, atau sekedar pingpong kata-kata dan bahasa tubuh (gesture). Ia juga mengesahkan (afirmasi) atau menantang hubungan antara orang yang berkomunikasi, yaitu objek dengan siapa mereka berhubungan, dan masyarakat dimana mereka hidup. Dialog yang membebaskan merupakan komunikasi demokratis yang mendiskonfirmasi dominasi dan mencerahkan sambil meneguhkan kebebasan “pemeran serta” (partisipan) untuk membentuk ulang budayanya.[52]
Pendidikan dialogis, sebagaimana yang dibangun oleh Mangunwijaya, tidak saja terbatas pada relasi skala mikro antara pendidik dan peserta didik di sekolah, tetapi pendidikan dialogis yang dibangun olehnya juga mencakup skala makro antara masyarakat dengan pemerintah. Menurutnya, relasi antara pendidik dengan peserta didik dan relasi masyarakat dengan pemerintah harus tumbuh seiring.[53] Dengan demikian wewenang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggung jawab bersama, di sini tidak ada monopoli guru terhadap murid, dan pemerintah terhadap masyarakat. Pendidikan harus terarah kepada murid dan masyarakat, karena apabila adanya pembatasan-pembatasan dikhawatirkan arah pendidikan bukan lagi sebagai alat pembebasan, tetapi lebih kepada pengooptasian yang kemudian bermuara kepada penindasan.
Dialog merupakan keharusan bagi resolusi kontradiksi guru-murid. Melalui dialog murid dianggap bertanggungjawab dalam proses pembelajaran mereka sendiri, dan lalu menjadi critical co-investigators dalam dialog dengan gurunya.[54]
Dialog tidak dapat berlangsung tanpa dilandasi adanya rasa cinta yang mendalam dari guru terhadap murid, dan dari pemerintah terhadap masyarakat atau sebaliknya. Dalam hal ini dialog memainkan peranan signifikan untuk membatasi setiap dominasi, karena dominasi menjadi penyakit bagi yang tidak mendominasi dan menguasai.
Hubungan dialogis merupakan suatu tuntutan yang harus dibangun, tidak ada komunikasi tanpa dialog, dan komunikasi terletak pada inti pusat fenomena vital dialog. Dalam pengertian ini dialog menjadi pengantar untuk more life (kehidupan yang lebih kaya) karena hubungan yang dialogis adalah ciri dari proses demokratis pendidikan.
Untuk itu, dialog merupakan hakikat dari konsep pendidikan pembebasan yang membebaskan manusia dari kepasifan, dan juga membebaskannya dari dominasi manusia lain. Dialog adalah keniscayaan bagi proses humanisasi sebab dengan dialog manuisa menjadi lebih bermakna, dihargai, dan sederajat.[55] Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dialog merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan proses humanisasi yang menjadi hak setiap manusia dalam kehidupan bersama.
Pendidikan gaya dialog juga disinggung oleh Brian A. Wren sebagai usaha mengembangkan kesadaran kritis, sebagaimana yang ditulis dalam buku Education for Justice, bahwa pendidikan gaya dialog merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan dengan situasi-situasi di mana orang dapat melakukan tindakan-tindakan pengetahuan yang ditandai oleh suasana dialog dan oleh penggunaan bentuk dan tehnik edukatif secara problem solving, dan dengan maksud mengembangkan kesadaran kritis.[56]
Kesadaran kritis tersebut dalam prosesnya memang tidak bisa terlepas dari tindakan dialog, sebab munculnya kesadaran kritis seseorang tidak dapat dipisahkan dari proses tersebut yang tentu saja harus didukung dan melibatkan pemikiran yang kritis. Dengan dialog, manusia akan memperoleh maknanya sebagai manusia, sebab dialog merupakan kebutuhan eksistensial, sekaligus sebagai sarana untuk mencapai diri supaya lebih manusiawi. Karena itu, dialog yang merupakan bentuk perjumpaan antar sesama manusia, di dalam prakteknya tidak bisa disederhanakan sebagai tindakan seseorang menabung gagasan-gagasannya kepada orang lain, atau sekedar sebagai pertukaran gagasan untuk “dikonsumsi” oleh para peserta sebuah diskusi. Dialog juga bukan sebuah bentuk permusuhan atau perang pendapat untuk memaksakan suatu kebenaran, sehingga dialog tidak boleh menjadi sebuah alat dominasi seseorang terhadap orang lain.[57]
Maka dari itu, dalam pendidikan humanis yang menghargai adanya kebebasan berpikir dan berpendapat lebih ditekankan bentuk aktivitas dan kreativitas peserta didik. Mereka harus berpartisipasi penuh secara aktif di dalamnya. Tidak ada istilahnya yang satu mendominasi yang lain atau si A menindas si B begitu pun sebaliknya. Kedua belah pihak berada pada kondisi yang sama, saling berinteraksi dalam proses dialog tersebut. Sehingga di dalam pendidikan humanis dengan model dialog tersebut bukan lagi A berbicara kepada B, atau B berbicara untuk A, akan tetapi A berbicara dengan B.
Model ataupun metode dialog dalam pendidikan pembebasan sangat ditekankan karena dalam prosesnya yang dipentingkan adalah manusianya sendiri sebagai pelaku (subjek) pendidikan yang sedang berdialog. Dialog disini harus berdasarkan pada kepekaan bahwa dalam diri manusia ada suatu kemampuan untuk menemukan dirinya. Untuk menemukan dirinya sendiri, dalam dialog diperlukan suatu sikap yang dapat menghargai orang lain, sehingga ia juga dihargai oleh orang lain. Untuk itu, menurut Freire, dalam dialog yang dilakukan tersebut dituntut antara lain, yaitu pertama sikap rendah hati, yakni sikap untuk mendengarkan orang lain dan menerima orang lain; kedua, kepercayaan yang besar, bahwa pada hakikatnya manusia dipanggil sebagai subjek bukan objek; ketiga, cinta terhadap sesama, di mana kegiatan yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh semangat cinta kasih.[58]
Brian A. Wrean dalam hal ini juga menegaskan bahwa pendidikan pembebasan dengan model dialog dasarnya adalah sikap hormat terhadap orang lain dan tertarik terhadap pemikiran-pemikiran orang lain. Ia juga menambahkan bahwa ini berarti dalam diri seseorang timbul pertanyaan-pertanyaan, pemikiran-pemikiran dan kebutuhan akan diskusi. Dengan demikian diperoleh suatu keyakinan fundamental tentang apa sebenarnya tindakan pengetahuan.[59] Selain itu dengan dialog, antara pendidik dan peserta didik berada pada posisi yang sejajar. Dalam dialog akan memberikan tempat kepada keduanya dalam realitas mereka sendiri sebagai subjek-subjek realitas yang mentransformasikan dengan sebenarnya.
Disini pengetahuan atas objek yang harus diketahui bukan semata-mata milik guru yang memberikan pengetahuan kepada murid sebagai bentuk kemurahan,[60] tetapi informasi yang diberikan guru kepada murid merupakan jembatan yang menjembatani antara kedua subyek kognitif, yaitu guru dan murid. Sehingga dalam proses pendidikan, mereka sama-sama memecahkan suatu masalah. Guru tidak berpikir untuk murid, tetapi guru dan murid bersama-sama mencari dan sekaligus bertanggungjawab dalam suatu proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan, guru dan murid saling mengajar serta saling memberikan informasi (learning together). Disini sungguh terjadi suatu dialog dan komunikasi horizontal yang dinamis.
Dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Freire menggarisbawahi potensi yang luas dari dialog dan dengan bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagi alat yang mampu menanamkan dominasi maupun kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong transformasi sosial dan pembebasan. Dialog mengandung arti bersikap kritis yang mengandung arti tentang raison d’etre (sebab mengapa ada) objek-objek dan subjek-subjek dialog. Dengan demikian dialog harus berjalan bebas, efektif, dan sesuai harapan.
Model pendidikan pembebasan yang dialogis sebagai bentuk hubungan yang aktif-komunikatif dalam hubungan horizontal antara guru dengan muridnya, dalam konsep pendidikan humanis seabagai proses lebih lanjut juga dinamakan dengan pendidikan hadap masalah (problem possing education).
Pendidikan hadap masalah merupakan teori dan metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, -- sebagai konsekwensi dari pendidikan yang menerapkan metode dialogis -- karena adanya pengingkaran subjektivitas manusia yang sepanjang sejarah jumlahnya sama dengan manusia itu sendiri, sehingga muatan pendidikan harus dapat disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul.
Sistem hadap masalah dalam pendidikan berangkat dari asumsi tentang manusia sebagai makhluk yang sadar dengan kesadaran yang tertuju pada dunia. Pendidikan hadap masalah menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming), dan tidak pernah selesai, atau sebagai makhluk yang tidak pernah sempurna dalam dan dengan realitas. Sebab inilah yang disebut Freire, bahwa manusia yang humanis adalah pencipta dari sejarahnya sendiri.[61]
Kesimpulan
Dalam pendidikan humanis, ada tiga pendekatan yang digunakan demi tercapainya manusia yang kritis, progresif-inovatif, yaitu dialogis, reflektif, dan ekspresif. Ketiganya merupakan elemen penting yang harus dibudayakan dalam dunia pendidikan. Dialog yang dibangun tidak terbatas pada pendidik-peserta didik, akan tetapi juga mencakup secara luas dan komprehensif antara masyarakat dengan pemerintah. Dialog merupakan sarana komunikasi yang efektif dalam memecahkan berbagai macam persoalan, baik diri sendiri maupun lingkungannya dengan cara langsung dibenturkan terhadap persoalan tersebut (problem possing education), sebagai konsekuensi dari ketiga pendekatan di atas. Agar metode atau pendekatan tersebut dapat tercapai secara optimal, harus dilakukan dengan sikap rendah hati, adanya kepercayaan yang besar, dan dilandasi semangat cinta kasih terhadap sesama.
D. Kurikulum Pendidikan Humanis
Kurikulum dalam pengertian luas merupakan segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan, yang disajikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut pengertian ini, segala pengalaman yang dialami peserta didik adalah termasuk kurikulum, karena kurikulum tidak terbatas hanya pada pengalaman, ruang dan tempat tertentu tetapi pada setiap pelajaran yang berlangsung. Hal ini diperkuat oleh Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty, yang dikutip Ahmad Tafsir bahwa kurikulum adalah semua aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik sesuai dengan peraturan-peraturan.[62]
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberi bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristiknya dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.[63]
Ada beberapa macam model konsep kurikulum yang diaplikasikan dalam proses pendidikan yang salah satunya adalah kurikulum humanistik. Kurikulum ini dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education) yaitu John Dewey (progressive education) dan J.J. Rousseau (romantic education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Gestalt,[64] bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual dengan aktor utamanya dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan peserta didik, dan merupakan suatu upaya menciptakan situasi yang permisif, rileks, dan akrab. Berkat situasi tersebut anak didik bisa mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong anak didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
John Dewey mengatakan bahwa ada tiga butir pokok yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah kurikulum di segala tingkat. Pertama, hakikat dan kebutuhan siswa-siswa. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat di mana para peserta didik merupakan bagian dari masyarakat tersebut. Ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat.[65]
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar atau memotivasi peserta didik merasakan atau bersikap terhadap lingkungan. Karena salah satu tujuan dari pengajaran ini adalah untuk memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan (distiance) dan keterasingan (alienasi) dari lingkungan masyarakatnya.[66]
Kurikulum humanistik sendiri mempunyai beberapa karakterisrik, berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis, kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman (pengetahuan) berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi peserta didik. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, serta sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, maupun saat belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi dalam dirinya (self actualizing person). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya adalah orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek pribadinya, baik aspek kognitif, estetika, maupun moral. Seseorang dapat bekerja dengan baik apabila memiliki karakter yang baik pula.
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru peserta didik. Guru, selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan peserta didik, juga mampu menjadi sumber inspirasi terciptanya keharmonisan tersebut. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu menciptakan suasana yang memperlancar proses belajar. Guru harus mampu memberikan motivasi kepada peserta didik atas dasar saling percaya. Peran mengajar bukan saja dilakukan oleh guru, tetapi juga oleh peserta didik (murid). Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak disukai peserta didik.
Sesuai dengan prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekankan integrasi, yaitu kesatuan prilaku bukan saja yang bersifat intelektual (kognitif) tetapi juga emosional dan tindakan (psikomotorik). Kurikulum humanistik juga menekankan secara komprehensif (keseluruhan). Kurikulum harus mampu memberikan pengalaman yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal (parsial).
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model ini lebih mengutamakan proses daripada hasil. Kalau kurikulum yang biasa digunakan terutama subjek akademis mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum humanistik ini tidak ada kriteria tertentu. Sasaran dari kurikulum ini adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih terbuka (open ended) dan mandiri di dalam menciptakan kreativitas dan aktivitas. Kegiatan yang dilakukan para pendidik hendaknya bermanfaat bagi peserta didik. Kegiatan yang baik adalah yang memberikan pengalaman yang akan membantu peserta didik dalam memperluas kesadaran akan dirinya dan orang lain, serta dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Penilaiannya bersifat subjetif, baik dari guru maupun para peserta didik.[67]
Kesimpulan
Kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan, sangat menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kurikulum humanistik bertolak dari asumsi bahwa peserta didik adalah subjek yang menjadi pusat pendidikan, mempunyai potensi, kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Untuk itu, ada tiga pokok yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum, yaitu hakikat dan kebutuhan siswa serta hakikat dan kebutuhan pokok di masyarakatnya, sehingga ilmu yang dipelajarinya tidak menjadi menara gading di mana dia berinteraksi. Di sini, kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman berharga dalam memperlancar perkembangan pribadi yang dinamis, saat belajar maupun di lingkungan masyarakat sesuai prinsip integrasi; kesatuan prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam evaluasinya, kurikulum humanis lebih menekankan pada proses menjadi (becoming) dari pada hasil.
E. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Humanis
Telah disinggung di atas bahwa hubungan pendidik dengan peserta didik adalah hubungan dialogis, sejajar antar subjek yang saling belajar dan diajar. Keduanya dipersatukan oleh satu pandang, yakni dunia yang tengah berproses dalam gerak perubahan. Pendidik bagi peserta didik adalah partner didalam memahami realitas tersebut. Pendidik mengemukakan persoalan agar dipertimbangkan oleh peserta didiknya. Sementara pertimbangan pendidik diuji kembali setelah ditemukan pertimbangan peserta didiknya. Peserta didik adalah teman dialog pendidik sendiri. Prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog kritis merupakan unsur yang penting sekali dalam pendidikan.
Hal ini tidak bisa lepas dari pandangan bahwa fitrah manusia adalah bebas dan merdeka, yang menempatkan manusia sebagai pelaku atau subjek, karena fitrah manusia sejati bukanlah sebagai penderita atau objek. Untuk itu, dalam pandangan pendidikan pembebasan antara pendidik dan peserta didik sama-sama diletakkan sebagai subjek pendidikan yang sadar akan dirinya, yang sama-sama ingin mengetahui lebih banyak realitas dan pengetahuan sebagai objeknya.
Oleh karena itu, pendidikan pembebasan menempatkan guru dan peserta didik dalam posisi belajar bersama (learning together), masing-masing memiliki peran sebagai subjek, atau sebagai pendidik-pendidik yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi.[68] Disini terlihat adanya posisi “guru yang murid” dan “murid yang guru”, karena keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horizontal. Pandangan tentang pendidik dan anak didik tersebut, yang menempatkan keduanya pada posisi yang egaliter tidak melahirkan asumsi bahwa telah terwujud tindakan perendahan martabat sebagai manusia yang berpengetahuan, sekaligus menghilangkan doktrin-doktrin yang mengesahkan guru sebagai orang yang dengan otoritasnya menganggap dirinya yang paling tahu akan segala hal.
Dalam perspektif pendidikan pembebasan, tidak ada istilah pengkultusan terhadap pribadi seseorang. Pendidik di sini bukan sosok “yang paling”, ia bukanlah nabi penyelamat ataupun wali yang mempunyai keistimewaan. Pendidik hanyalah fasilitator dan partner dalam proses pendidikan dalam rangka mencapai sebuah penyadaran diri sebagai manusia. Untuk itu, pendidikan pembebasan mengecam bentuk pendidikan gaya bank[69] yang memposisikan pribadi guru sebagai subjek sedangkan peserta didik menjadi objek bersama pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga yang terlihat aktif adalah gurunya, sedangkan anak didik berada pada posisi pasif yang tidak ada bedanya dengan benda mati.
Pendidikan gaya bank tersebut disinyalir oleh Andrias Harefa hanya menghasilkan pendidikan yang monolog. Tidak ada kreativitas yang ada hanyalah pendidikan verbalistik (hafalan). Tidak ada orisinalitas yang ada hanyalah peniruan dan pembajakan. Tidak ada percakapan antar “dalang”, yang ada hanyalah seorang “dalang” dengan setumpuk “wayang”.[70] Sehingga yang lahir dari hal tersebut yaitu tradisi-tradisi pendidikan yang tidak berbentuk pertukaran ide-ide antara pendidik dan peserta didik, tetapi sebaliknya adalah pencekokan dan pendiktean ide yang dilakukan guru kepada muridnya. Bukan proses pendidikan yang dibangun atas dasar kerjasama dengan murid, melainkan pendidikan yang memaksakan suatu perintah dan tugas yang harus dipatuhi serta dikerjakan oleh murid.
Disini manusia dalam posisinya sebagai peserta didik ditempatkan sebagai “barang mati” tanpa pilihan, kecuali menerima atau menjadi wadah dari sosialisasi teori Iptek dan nilai yang diberikan dan ditumpahkan guru kepada muridnya.[71] Gurupun ditampilkan sebagai suatu prototype manusia ideal yang harus digugu dan ditiru, walaupun kadangkala nilai atau pengalaman yang dimiliki guru yang didapat dari masa lalu sudah tidak relevan lagi untuk diberikan kepada anak didiknya yang hidup di era sekarang ini. Sehingga anak didik pemikirannya menjadi dangkal dan tidak kritis, yang pada akhirnya para anak didik kesulitan, bisa juga dikatakan gagal dalam menghadapi problematika baru yang belum pernah diajarkan, karena memang berada diluar pengalaman sang guru.
Padahal pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang mampu menstimulus manusia (anak didik) untuk berpikir mandiri dalam rangka menciptakan gagasan yang otentik dan orisinal, yang nantinya menjadikan anak didik mempunyai pemikiran kritis-produktif (serta progresif, pen.), sehingga mampu menghadapi problem-problem dalam realitasnya.[72] Untuk itu bisa dimaklumi bahwasanya praktek-praktek pendidikan seperti gaya bank yang sampai saat ini masih berjalan, telah menjadi kontributor yang mengarahkan para pendidik pada posisi sebagai penindas yang terselubung. Bisa dikatakan penindas yang terselubung, sebab ia dibungkus dan dibingkai dengan kepandaiannya dan budaya wibawa, yakni budaya yang seringkali membuat anak didik terjangkit penyakit phobia sebagai pribadi yang berkembang secara utuh.
Implimentasi pendidikan gaya bank yang secara langsung maupun tidak langsung telah memenjara kesadaran kritis anak didik, yang berimplikasi pada pengkultusan terhadap seorang pendidik yang dibungkus dalam suatu doktrin bahwa peranan pendidik adalah mengatur cara dunia “masuk ke dalam” diri anak didik.[73] Disini anak didik akan menerima dunia secara pasif, karena tidak adanya penyadaran diri yang sebenarnya, anak didik pada akhirnya lebih pasif lagi karena dijadikan sosok yang sama dengan dunia. Inilah yang membuat anak didik menjadi manusia yang tidak dapat mengukir sejarahnya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Freire, bahwa pendidikan harus dapat mengantarkan manusia (anak didik) ke gerbang kebangkitan dan menolong mereka beralih dari kesadaran transitif-naif ke kesadaran transitif-kritis, serta menggugah kemampuan mereka untuk ikut menangani proses sejarah.[74]
Jalan satu-satunya untuk menjadikan proses beralihnya kesadaran naïf ke kesadaran kritis seseorang yaitu dengan menggunakan metode yang aktif, dialogis, kritis, dan menggugah sikap kritis tersebut. Metode yang diprioritaskan pada dialog tersebut merupakan bentuk hubungan horizontal antara pribadi-pribadi, yaitu hubungan yang tidak ada kontradiksi antara guru dan murid. Keduanya (guru dan murid) secara praksis dapat menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata yang telah didialogkan. Pendidikan dialogis ini sering juga disebut dengan pendidikan hadap masalah (problem posing of education) yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subyek pendidikan.
Pendidikan hadap masalah -- sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, merupakan konsep tandingan terhadap pendidikan gaya bank (banking concept of education), yang menurut Freire justeru mendorong dialog antara guru dengan murid, serta suatu proses pendidikan yang mampu mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dan menentang status quo.[75] Pendidikan demikian berupaya mengintegrasikan realitas sosial ke dalam pendidikan agar pendidikan mampu melakukan perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat, dan masyarakat yang berpendidikan tidak gampang tersingkir dari akar budaya masyarakatnya sendiri maupun pengaruh budaya yang datang dari luar.
Dalam hal ini, guru dan murid harus saling mengembangkan budaya pemikiran dan sikap kritis dengan memadukan teori dan praktek. Baik guru maupun murid sama-sama menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Sehingga dalam pembelajaran lebih menekankan pada pengalaman refleksi dan aksi yang menawarkan sejumlah cara seorang pendidik dapat mendampingi para anak didiknya guna memudahkan proses pembelajaran dalam menentukan kebenaran hidup dan penggalian arti hidup sebagai manusia.
Di sini peserta didik dituntut secara aktif membangun pengetahuan menurut perspektifnya sendiri. Sedangkan pendidik membantunya supaya pencarian tersebut berjalan dinamis. Pendidik dan peserta didik membangun bersama pengetahuan mereka dari realitas yang dihadapinya, bertolak dari situasi eksistensial dan konkret, serta melalui pengalaman dalam interaksi sosialnya. Disinilah, pendidik-yang-peserta didik dan peserta didik-yang-pendidik berefleksi secara simultan tentang diri mereka sendiri dan tentang dunia sekelilingnya. Sehingga pengetahuan yang terbentuk tumbuh tidak bagaikan bejana kosong yang terisi oleh pengajaran. Peserta didik tidak hanya merekam realitas, mereka juga menafsir semua hal yang dilihat dan didengarnya
Hubungan pendidik dan peserta didik antara lain dapat dicirikan sebagai berikut. Pertama, pendidik belajar dari peserta didik dan peserta didik belajar dari pendidik. Kedua, pendidik menjadi rekan peserta didik yang melibatkan diri dan menumbuhkan daya pemikiran kritis para peserta didiknya dan keduanya saling memanusiakan.[76] Jadi, antara guru dan murid, keduanya saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan dan saling memberi kebebasan. Dalam proses pembelajaran, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid dan begitu sebaliknya. Hubungan inilah yang meletakkan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek sebagaimana dalam pendidikan gaya bank, yang menjadi obyek mereka bersama adalah realitas dunia. Sehingga dalam hal ini tercipta suatu dialogis yang demokratis dan bersifat intersubjektif untuk memahami objek secara bersama-sama.
Hal ini pula menuntut pertama, pendidik bersedia berinteraksi dengan peserta didiknya agar lebih memahami apa saja yang sudah diketahui dan dipikirkannya berkaitan dengan materi yang akan dibahas. Target dan apa saja yang dibuat pendidik di ruang belajar sebaiknya dibicarakan bersama peserta didik agar peserta didik merasa terlibat. Kedua, dengan penuh kesadaran pendidik berpartisipasi sebagai peserta didik supaya memahami pengalaman belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Ketiga, bahwa pemikiran pendidik harus bersifat fleksibel agar dapat mengerti dan menghargai pendapat peserta didik. Seringkali peserta didik berpikir berdasar asumsi yang tidak diterima oleh pendidiknya.[77] Diperlukan keterlibatan mendalam antara pendidik dengan peserta didik dalam memahami realitas. Karena sifat belum selesai dari manusia dan sifat yang terus berubah dari realitas mengharuskan pendidikan menjadi kegiatan yang terus-menerus berlangsung, sehingga – menurut Freire – pendidikan selalu akan terus diperbaharui dalam praksis.
Kesimpulan
Dalam pendidikan humanis, pendidik-peserta didik ditempatkan dalam posisi egaliter, yaitu belajar bersama (learning together) yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Keduanya berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horizontal tanpa adanya perendahan martabat salah satunya. Karena pendidik hanyalah fasilitator dan partner dalam proses pendidikan dalam rangka mencapai sebuah penyadaran diri sebagai manusia. Jadi, pola hubungan pendidik-peserta didik antara lain dapat dicirikan sebagai; pendidik belajar dari peserta didik dan peserta didik belajar dari pendidik, serta pendidik menjadi rekan peserta didik yang melibatkan diri dan menumbuhkan daya pemikiran kritis-produktif-progresif peserta didiknya dan keduanya saling memanusiakan. Baik pendidik maupun peserta didik sama-sama menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berpikir.
[24] William A. Smith, 2001, Conscientizacao, ujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 5.
[25] Dalam Singgih Nugroho, 2003, Pendidikan Pemerdekaan dan Islam, Bantul: Pondok Edukasi, h. 53.
[26] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern, Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD h. 187.
[27] Pandangan aksiologi adalah pandangan yang melibatkan aspek-aspek etik, estetik, dan religius.
[28] Paulo Freire, 1972. Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan, 1991. Yogyakarta: LP3ES, h. 10.
[29] Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, dan Anarkhis, penyunting dan terjemahan Omi Intan Naomi, 2003, Bandung: Pustaka Pelajar, h. 434.
[30] Paulo Freire, 1972, Op. Cit. h. 50.
[31] Muh. Hanif Dakhiri, 2000, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, Jakarta: Jembatan dan Pena, h. 54.
[32] Djumransjah, 2004, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing, h. 176
[33] Muis Sad Iman, 2004, Pendidikan Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insania Press, h. viii.
[34] Djumransjah, 2004, Op. Cit., h. 179.
[35] Djumberansjah Indar, 1994, Filsafat Pendidikan, Surabaya: PT. Krya Abditama, h. 131.
[36] Ahmad Samawi, 2000, Perspektif Filsafat tentang Dialektika Paradigmatik dalam Pendidikan, FIP IKIP Malang No. 27, th. 1 Januari 2000, h. 5 dan 8.
[37] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo Freire, Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, h. 32-33.
[38] Tetapi bila dilihat dari pelopor pendidikan pembebasan sendiri, yaitu Paulo Freire, secara filosofis dalam konsep pendidikan pembebasan terdapat lima jaringan filosofis yang terkolaborasi dalam ide-ide pendidikan humanis tersebut. Kelima jaringan filosofis tersebut antara lain yaitu (a) Personalisme, (b) Eksistensialisme, (c) Fenomenologi, (d) Marxisme, dan (e) Kristianitas. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo Freire, Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, h. 32-41.
[39] H.A.R. Tilaar, 2000, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, h. 20-21.
[40] Paulo Freire, 1972, Op. Cit.,h. 190.
[41] Imam Muslimin, 2004, Pendidikan dan Humanisme, Jurnal Fakultas Trabiyah El-Hikmah: UIN Malang, Volume III-Edisi Agustus 2004, h. 122.
[42] Martyn Sardy, 1985, Pendidikan Manusia, Bandung: Penerbit Alumni, h. 18.
[43] Driyakarya, 1980, Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, h, 78.
[44] William A. Smith, Op. cit., h. 15.
[45] Ali Maksum dan LulukYunan Ruhendi, Op. cit., 113.
[46] Siti Murtiningsih, 2004, Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan RadikalPaulo Freire, Yogyakarta: Resist Book, h. 50.
[47] Denis E. Collins SJ., 2002, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikiran, terj. Henry Heyneardhi dan Anastasia P., Yogyakarta: Puataka Pelajar, h. 109.
[48] Paulo Freire, 2003, Op. Cit., h. 457.
[49] Zubaidi, Refleksi, Pengalaman dan Reformulasi Teori dalam Pendidikan, Dalam Chabib Thoha dkk (peny.), 1996, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 230
[50] Sumaryo, 1984, Pendidikan yang Membebaskan, dalam Mencari Identitas Pendidikan, editor Martyn Sardy, Bandung: Alumni, h. 32.
[51] Ira Shor dan Paulo Freire, 1987, Menjadi Guru yang Merdeka, Petikan Pengalaman, terjemahan A. Nashir Budhiman, 2001, Yogyakarta: LKIS, h. 151.
[52] Ibid, h. 152.
[53] Firdaus M. Yunus, Op. Cit., h. 77.
[54] Ibid, h. 46.
[55] Muh. Hanif Dakhiri, Op. Cit., hal. 72.
[56] Lihat N.S. Dhartasuratna, 1984, Pendidikan Keadilan Menurut Brian A. Wrean, dalam Martyn Sardy (ed.), Pendidikan Manusia, Bandung: Alumni, h. 161.
[57] Paulo Freire, 1972, Op. Cit., 73-74.
[58] Sumaryono, 1984, Op. Cit., h. 33.
[59] Dikutip oleh Dhartasuratna dalam Martyn Sardy, Op. Cit., h. 159.
[60] Ira Shor dan Paulo Freire, Op. Cit., h. 152-153.
[61] Siti Murtiningsih, Op. Cit., h. 82.
[62] Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, h. 52.
[63] Nana Syaodih Sukmadinata, 2002, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, h. 58.
[64] Sebuah teori yang dikembangkan oleh ahli psikolog antara lain Kohler (1925), Koffka (1935), dan Wertheimer (1945). Lebih lengkapnya lihat Muhaimin dkk, 1996, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya: CV. Citra Media, h. 35-39.
[65] Firdaus M. Yunus, 2004, Op. Cit., h.110.
[66] Nana Syaodih Sukmadinata, op. cit., h. 86-87.
[67] Ibid, h. 90-91.
[68] Muh. Hanif Dhakiri, op. cit., h. 56.
[69] Lihat Paulo Freire, 1972, op. cit., h. 51-52.
[70] Andrias Harefa, 2000, Menjadi Manusia Pembelajaran, Jakarta: Harian Kompas, h. 12
[71] Lihat pengantar Abdul Munir Mulkhan dalam Steven M. Chan, 2002, Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah, penyadur Abdul Munir Mulkhan dan Umi Yawisah, Yogyakarta: Kreasi Wacana, h. XVIII-XIX.
[72] A. Syafi’i Ma’arif, 1991, Op. Cit., h. 23.
[73] Paulo Freire, 1972, Op. cit., h. 56.
[74] Lihat Freire, 2001, Op. cit., h. 58.
[75] Firdaus M. Yunus, Op. cit., h. 5.
[76] Siti Murtiningsih, Op. Cit., h. 85.
[77] P. Suparno, 1997, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, h. 66.
Dalam konteks inilah, seseorang memerlukan sebuah proses pendidikan yang dilakukan dengan kesadaran untuk belajar memahami realitas secara bersama-sama dengan metode dan analisis yang tepat, sehingga menemukan sebuah akar dari permasalahan yang ada. Dari sinilah seseorang menjalani penyadaran (conscientizacao), sebagai sebuah pencarian jawaban-jawaban secara kooperatif atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang.[24]
Penyadaran adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk membuka tabir-tabir keterasingan dan penindasan yang menyelimuti manusia. Kesadaran sosial dalam proses pembebasan -- atau meminjam istilahnya Romo Y.B. Mangunwijaya, pendidikan pemerdekaan[25] -- manusia begitu penting, karena hanya kesadaran dan mentalitas yang tercerahkan, jernih dalam melihat realitas dan wawasan kemanusiaan yang baru, yang menentukan terjadinya transformasi sosial. Dengan kesadaran kemanusiaan yang luhur manusia akan menjadi penentu atas terciptanya struktur hidup yang harmonis.
Pendidikan bukanlah wujud dari penindasan. Pendidikan selalu bertujuan membina kepribadian manusia. Diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk mendukungnya, di mana pendidik dan peserta didik secara bersama-sama mendunia. Maka dari itu, paradigma pendidikan humanis lebih memandang manusia sebagai “manusia”, yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah atau potensi tertentu. Sebagai makhluk hidup ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas (antara hewan dan malaikat), ia memiliki sifat-sifat kehewanan (nafsu-nafsu rendah) dan sifat-sifat kemalaikatan (budi luhur), sebagai makhluk dilematik ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya, sebagai makhluk moral, ia bergulat dengan nilai-nilai; sebagai makhluk pribadi, ia memiliki kekuatan konstruktif dan destruktif; sebagai makhluk sosial, ia memiliki hak-hak sosial dan hanya menunaikan kewajiban-kewajiban keagamaannya.[26]
A. Landasan Pendidikan Humanis
Kemanusiaan dan pemanusiaan merupakan tinjauan pokok yang tidak terlepas dari bidikan pendidikan humanis yang membebaskan, sebab selama ini terlihat adanya proses pendidikan yang membelenggu, yang pada hakikatnya adalah bentuk-bentuk penindasan terhadap kebebasan berpikir kritis sekaligus penaklukan terhadap kreatifitas peserta didik sebagai makhluk yang otonom. Hal inilah yang nantinya akan mengarah kepada bentuk-bentuk dehumanisasi.
Tinjauan pokok tersebut memang menjadi tujuan dasar untuk mengembalikan fungsi pendidikan itu sendiri sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi). Ini perlu sekali dilakukan karena menurut pandangan aksiologis,[27] pemanusiaan selama ini selalu dipandang sebagai masalah utama manusia yang memprihatinkan,[28] dan masalah ini perlu sekali dipedulikan dengan sungguh-sungguh.
Kepedulian terhadap masalah pemanusiaan, kemudian akan membawa pada pengakuan terhadap dehumanisasi yang hanya bukan kemungkinan ontologis melainkan sudah menjadi kenyataan historis.[29] Sejarah antara humanisasi dan dehumanisasi dalam konteks-konteks nyata serta objektif merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Kemungkinan-kemungkinan yang paling menonjol, baik itu disadari maupun yang tidak disadari oleh manusia, adalah meluasnya gejala-gejala dehumanisasi. Dan kemungkinan itu sudah menjangkit kedalam sistem pendidikan. Ini bisa terlihat salah satunya dalam proses belajar mengajar. Di sini terlihat adanya bentuk dominasi yang dilakukan oleh guru kepada muridnya.
Dehumanisasi dalam praktek pendidikan tersebut, menempatkan guru sebagai seorang “penindas” yang memposisikan dirinya sebagai subyek pendidikan yang menganggap dirinya paling mengetahui tentang pengetahuan. Sedang anak didik diposisikan sebagai obyek pendidikan yang tidak mengetahui apa-apa dan harus selalu siap untuk menerima transfer pengetahuan (transfer of knowladge) yang diberikan oleh gurunya tanpa adanya upaya untuk mengembangkan kreativitas berpikir secara mandiri. Sehingga bisa dikatakan, guru di sini adalah penindas sedangkan murid yang tertindas.
Praktek yang demikian berlangsung cukup lama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal inilah yamg sempat disinggung oleh Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank (banking education concept), yaitu pendidikan yang hanya mengkomsumsi pengetahuan saja tanpa disertai sebuah usaha untuk menumbuhkan kebesaran rasa ingin tahu (curiosity) murid terhadap pengetahuan yang diperolehnya. Dalam pendidikan gaya bank, pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengannya, dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataannya dan “mengisi” tabungan yang diteima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Disini ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas menerima, mencatat dan menyimpannya. Dalam pendidikan model ini, walaupun mereka (para murid) mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan, pada akhirnya mereka sendirilah yang tersimpan, karena miskinnya daya cipta, daya ubah dan pengetahuan. [30] Padahal pendidikan yang sebenarnya adalah bentuk pendidikan yang benar-benar mampu memfungsikan kesadaran manusia untuk bergerak membentuk pengetahuan yang lebih luas secara bebas.
Untuk itulah diperlukan pendidikan yang dapat digunakan sebagai alat pembebasan, yang meletakkan manusia pada fitrah kemanusiaannya. Secara konsisten pendidikan ditempatkan dalam konfigurasi memanusiakan manusia, bukan sebaliknya dalam gejala dehumanisasi yang merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia -- anak didik -- dalam genggaman hegemoni dan dominasi kaum penindas -- para pendidik.
Usaha pendidikan menurut Freire, harus melepaskan diri dari kecenderungan hegemoni dan dominasi tersebut. Hal yang mendasarinya adalah bahwa pendidikan yang memiliki karakteristik hegemonik dan dominasi tidak akan pernah mampu membawa para anak didik pada pemahaman diri dan realitasnya secara utuh.[31] Mungkin inilah yang sebaliknya akan membawa para anak didik pada situasi beku dan miskin kreativitas. Situasi ini yang nantinya membuat para anak didik sulit berkembang yang mengakibatkan mandulnya pemikiran karena tidak terbiasa menghadapi tantangan zamannya.
Hal tersebut yang mendasari perlunya praktek pendidikan yang membebaskan atau pendidikan humanis, yang sangat menentang keras bentuk-bentuk penindasan dan pembelengguan terhadap kreativitas dan daya pikir kritis seseorang. Apapun nama, bentuk dan alasannya, penindasan dan pembelengguan – dalam pandangan pendidikan humanis -- merupakan sesuatu yang tidak manusiawi, yakni sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan dan potensi yang dimiliki manusia (dehumanisasi).
Dalam konsep pendidikan humanis ini, bila ditelusuri terdapat tiga aliran pendidikan yang dijadikan pendekatan atau sebagai paradigma/landasan pendidikannya. Pertama, aliran progresivisme. Aliran progresivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke-20 dan sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan. Progresivisme sebagai teori pendidikan muncul sebagai reaksi yang nyata terhadap pendidikan tradisional, yang menekankan pada metode-metode pengajaran formal, mental belajar, dan literatur-literatur klasik. Karena progresivisme sendiri selalu berhubungan dengan pengertian the liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.[32] Harus diakui bahwa progresivisme, yang kemudian dikembangkan oleh John Dewey adalah sebuah aliran pendidikan yang sudah sangat mapan, dan keberadaannya telah mempengaruhi sistem pendidikan di belahan dunia.[33] Prinsip dasar aliran ini bahwasanya asal dan tujuan proses pendidikan bisa ditemui pada diri anak. Aliran ini mempunyai konsep yang mempercayai manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya, serta kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam manusia itu sendiri. Pendidikan dianggap mampu untuk merubah dan menyelamatkan manusia demi masa depannya, sebagaimana ungkapan Hegel, “the dynamic, ever-readjusting processes of nature and society”. Dengan kata lain, alam dan masyarakat bersifat dinamis dalam proses penyesuaian dan perubahan yang tidak pernah berhenti.[34] Dalam progresivisme, tujuan pendidikan selalu diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus dan bersifat progresif.[35]
Kedua, aliran konstruktivisme. Konstruktivisme dikemukakan pertama kali oleh Giambatista dan kemudian diperkenalkan oleh Mark Baldwin serta dikembangkan lebih lanjut oleh Jean Piaget. Dalam teori pendidikan ini, secara ontologis, heterogenitas yang menjadi dasar pandangan tentang realitas, yang membuat paradigma konstruktivisme menjadi dinamis. Disini, individu dipandang sebagai makhluk yang otonom dan mandiri. Dalam hal ini, belajar menjadi bersifat demokratis sesuai dengan kebutuhan minat dan diferensiasi individu. Disini anak diperlakukan sesuai dengan kemampuan bakat dan minat sehingga kegiatan belajar itu dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan, karena anak akan berkembang sesuai dengan gerak dinamikanya masing-masing.[36]
Ketiga, aliran eksistensialisme. Eksistensialisme pada hakikatnya merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran ini dikembangkan oleh Kierkegaard, dan Sartre. Eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap dua aliran yang memiliki pandangan ekstrem, yaitu materialisme, yang memandang manusia sebagai objek dan materi sebagai keseluruhan manusia, dan idealisme, yang dikembangkan Hegel, yang memandang manusia sebagai subjek kesadaran dengan terlalu meremehkan eksistensi yang kongkret manusia, mengutamakan idea yang sifatnya umum, serta menjunjung aspek kesadaran yang sangat berlebihan sehingga seluruh manusia tergantung dari berpikir.[37] Kaitannya dengan pendidikan, sebagaimana yang disimpulkan oleh van Cleve Morri, bahwasanya eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu, eksistensialisme dalam hal ini menolak adanya bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang, terutama bentuk hegemonik dan dominasi yang sangat membelenggu kreativitas dan nalar kritis anak didik.
Dari ketiga aliran pendidikan inilah konsep pendidikan humanis melahirkan pola filsafat pendidikan yang dianggap membebaskan sebagai jalan untuk menanggulangi dehumanisasi dalam pendidikan.[38]
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi manusia yang sesungguhnya kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nila-nilai budaya), yang meliputi; nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan (sosial) dan politik.
Howard Garner menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas intelegensia (kecerdasan). Menurutnya, paling tidak manusia memiliki tujuh macam kecerdasan, yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis, yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa, baik secara tertulis maupun lisan (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini).
3. Kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi.
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan, yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasarkan gerakan yang dilihat.
5. Kecerdasan musical/ritme, yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme, dengan kata lain mempunyai kepekaan akan suatu nada atau ritme.
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial, yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan objek. Suatu kemampuan seseorang dalam menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan intrapersonal, yaitu suatu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya, seperti refleksi diri, kesardaran akan hal-hal yang bersifat rohani.
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan, yang meliputi inter dan intra personal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme. Dengan demikian sangat penting kiranya nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman kepribadian dipisahkan. Sangat disayangkan, ternyata hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang banyak dikembangkan di sekolah, sedangkan kecerdasan yang lainnya sedikit sekali. Hal ini tentu sangat merugikan anak didik, sebab tidak semua bakat dan kemampuan dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian anak didik yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan untuk mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas, baik otak kanan maupun otak kiri, yang mampu mengakomodir semua aspek kemanusiaan perseorangan yang dibutuhkan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya, manusia memiliki daya dan jiwa, yaitu cipta, karsa, dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut adanya pengembangan semua daya (potensi) yang dimilikinya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada satu aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan anak didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai saat ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika hal ini diteruskan akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu makhluk yang berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak. Maka salah satu yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. H.A.R Tilaar coba menawarkan konsep supaya pendidikan benar-benar menjadi sebuah proses yang mengarah kepada pengembangan manusia, yaitu pertama, pendidikan adalah proses pemberdayaan, hal ini berarti pendidikan adalah usaha untuk memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah manusia yang dapat berpikir kreatif, yang mandiri, dan yang dapat membangun dirinya dan masyarakatnya. Manusia yang berdaya adalah manusia yang produktif.
Kedua, pendidikan sebagai proses pembudayaan, pendidikan seharusnya merupakan suatu proses pembudayaan yang diarahkan kepada berkembangnya kepribadian seseorang yang mandiri sebagai anggota masyarakat yang demokratis. Selama ini menurutnya, pendidikan telah diasingkan dari kehidupan kebudayaan di dalam arti yang luas. Pendidikan semata-mata telah menjadi alat kekuasaan atau dipolitikkan oleh segolongan elit penguasa. Pendidikan bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya. Menurutnya, tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and civilized human being). Dengan demikian, pendidikan merupakan proses hominisasi dan humanisasi seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya, kini dan masa depan.[39]
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan humanis sebagai upaya memperbaiki system pendidikan yang selama ini masih kurang begitu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Ada tiga aliran pendidikan yang dijadikan sebagai pendekatan dalam pendidikan humanis, yaitu progresivisme, konstruktivisme, dan eksistensialisme. Ketiga aliran tersebut diperkuat dengan adanya pendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sejumlah potensi kecerdasan yang harus dibina dan diberdayakan secara optimal yang dijadikan sebagai landasan pendidikan humanis. Potensi tersebut meliputi kecerdasan matematis/logis, verbal/bahasa, fisik/gerak, musical/ritme visual/ruang, dan kecerdasan emosional yang meliputi kecerdasan inter dan intrapersonal.
B. Proses Penyadaran sebagai Tujuan Pendidikan Humanis
Sebenarnya dengan mengetahui gambaran manusia yang mau dicapai sebagaimana yang telah diuraikan di atas, sudah menjadi nampak apa sebenarnya yang menjadi tujuan utama pendidikan humanis. Akan tetapi berhubung ide tentang manusia di atas lebih merupakan deskripsi, kiranya belum cukup memadai untuk manarik begitu saja dari dalamnya tentang apa yang menjadi tujuan pendidikan humanis.
Menurut Paulo Freire, tujuan pendidikan yang humanis adalah untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat dan keinginan peserta didik dan guru dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru.[40] Kesadaran manusia dibentuk melalui pendidikan dan aksi-aksi budaya yang membebaskan. Klaim pendidikan sebagai sebuah praktek pembebasan yang ditujukan untuk mengkaji ilmu baru, hal ini tidak akan tercapai jika perlakuan terhadap kesadaran manusia sama seperti perlakuan pendidikan yang dominatif. Freire menegaskan, guru yang humanis harus tepat dalam memahami hubungan dalam kesadaran manusia antara manusia dan dunia. Dengan segala usahanya sendiri, manusia bisa menghidupkan kembali melalui proses alamiah, dimana kesadaran timbul dari kemampuan mempersepsi diri. Dengan demikian Freire menekankan akan tujuan pendidikan untuk membentuk kesadaran manusia guna menciptakan ilmu pengetahuan baru.[41]
J. Ledesma, seorang humanioris di Kolose Roma yang terkenal pada pertengahan abad ke-16 merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut: pendidikan bertujuan membantu seseorang supaya dapat menggarap hidupnya sendiri, supaya akal budinya berkembang, supaya dapat terlibat dalam tata kemasyarakatan dan dengan demikian dapat semakin mudah mencapai tujuan hidup, yaitu bersatu dengan Tuhan.[42]
Tujuan pendidikan yang dikemukakan Ledesma mirip dengan cita-cita pendidikan Mangkunegoro IV, khususnya dengan tujuan pendidikan sebagaimana dirumuskan Ki Hajar Dewantara, yakni bahwa tujuan pendidikan itu agar supaya dapat memajukan kesempurnaan hidup peserta didik, yaitu selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat-istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan dengan kebudayaan lain.
Dapat dikatakan bahwa pada akhirnya tujuan pendidikan harus berpuncak pada adanya perubahan dalam diri peserta didik. Perubahan yang dimaksud terutama menyangkut sikap hidup, sikap terhadap kehidupan yang dialaminya. Tujuan pendidikan humanis tidak saja memberikan pengetahuan mengenai bahan-bahan yang diajarkan, tetapi mengajak menghayatinya, mengajak mencoba menyelami dan memahami berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan dengan berbagai dimensinya. Tidak hanya potensi intelektual peserta didik yang tersentuh, tapi juga kemanusiaannya sendiri, baik sebagai individu maupun dalam konteks kehidupannya sebagai warga masyarakat. Dengan demikian, pendidikan humanis diharapkan dapat membantu peserta didik dalam usahanya mengembangkan dan memperkaya kepribadiannya sebagai manusia.
Ini sejajar dengan pendapat Driyakarya tentang arti perbuatan mendidik, yaitu bahwa dengan tindakan mendidik itu merupakan usaha memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani, itulah yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik, yang jumlah dan macamnya tidak terhitung. Secara singkat Driyakrya merumuskan bahwa intisari atau eidos dari pendidikan adalah pe-manusia-an manusia muda.[43]
Hal senada menjadi prioritas Freire didalam mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri dan sesama, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Bagi Freire praktik pendidikan harus mengimplikasikan konsep tentang manusia dan dunianya. Pengenalan itu harus bersifat subjektif sekaligus objektif untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas.
Pendidikan menurutnya adalah suatu upaya untuk pembebasan dan pemanusiaan. Dalam rangka pemanusiaan dan pembebasan itulah, Freire melihat penyadaran (conscientizacao) sebagai inti pendidikan. Conscientizacao atau conscientization adalah proses di mana manusia mendapatkan kesadaran yang terus semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidupnya dan akan kemampuannya untuk merubah realitas. Sebuah proses penyadaran yang mengarah sekaligus memproduksi suatu konsep pembebasan yang dinamis agar tercipta iklim kemanusiaan yang lebih utuh. Freire menerangkan conscientizacao sebagai proses menjadi manusia yang lebih penuh atau suatu proses perkembangan kesadaran melalui tiga tahap yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu magis, naïf, dan kesadaran kritis.[44]
Kesadaran pertama, kesadaran magis (magical consciousness) atau kesadaran semi-transitif, ialah suatu fase kesadaran di mana orang mengadaptasi atau menyesuaikan diri secara fatalistik dengan sistem yang ada. Sebuah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Pada tahap ini manusia terperangkap oleh mitos inferioritas alam atau merasa rendah diri. Kesadaran ini lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dari ketidakberdayaannya. Eksistensi manusia tidak dianggap sebagai masalah kritis, di mana manusia dapat campur tangan di dalamnya, tetapi dipahami sebagai “takdir” atau “kehendak Tuhan”. Pemikiran magis sekaligus fatalistik ini adalah khas bagi kesadaran tertindas dalam bentuknya yang paling ekstrim. Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat. Anak didik secara dogmatis menerima ‘keberanian’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Kedua adalah kesadaran naïf (naival consciousness) atau kesadaran naif-transitif, yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat. Kesadaran naïf adalah kesadaran yang masih menjadi bagian dari kesadaran massa, di mana kemampuan dialog masih rapuh dan mudah diselewengkan. Pada tahap ini, kesadaran manusia mulai mampu mengenali persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas yang dihadapinya, namun kesadaran ini masih terisi oleh pendapat-pendapat dan sikap-sikap naïf. Dalam kesadaran ini, lebih mengutamakan upaya bagaimana manusia bisa terbentuk menjadi man power development, pasalnya mereka lebih cenderung melihat suatu kemiskinan dan kebodohan lebih disebabkan karena kesalahan masyarakat itu sendiri.[45] Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan system dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar yang merupakan faktor given, oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar anak didik bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut, sehingga dengan terbentuknya man power development diharapkan menjadi pemicu perubahan.
Ketiga dan terpenting dalam pendidikan adalah kesadaran kritis (critical consciousness) atau kesadaran transitif-kritis, yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan implikasinya pada masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, yaitu melatih anak didik untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Jika pada tingkat kesadaran transitif-naif, seseorang diijinkan untuk menyesuaikan dirinya dengan dunia. Kesadaran kritis mengijinkan manusia untuk berintegrasi dengan dunia melalui aktivitas budaya. Kesadaran kritis mengisyaratkan pengertian dan analisis mengenai hubungan kausal di mana manusia menemukan dirinya sendiri “berada dalam suatu situasi”.[46]
Analogi Freire di atas yang mengandung tingkat kesadaran manusia telah menunjukkan bahwa tindakan manusia tergantung pada pemahaman mereka tentang kenyataan. Setiap tindakan pemahaman menentukan setiap tindakan tanggapan. Jika manusia mempunyai kesadaran magis, mereka bertindak secara magis dan gagal untuk keluar dari penindasan. Jika pemahaman mereka naïf, tindakan-tindakan mereka dapat dengan mudah direduksi menjadi irasionalitas. Jika pemahaman mereka atas realitas adalah pemahaman yang kritis, tanggapan mereka bisa jadi transitif, yaitu suatu kombinasi dari refleksi dan tindakan dalam praksis yang autentik.[47]
Tingkat-tingkat pemahaman yang dilontarkan Freire tersebut sangat dekat dengan apa yang disebut Kohlberg dan Mayer sebagai fase-fase perkembangan. Tingkat-tingkat tersebut ditentukan oleh perjalanan sejarah dan kultural yang berarti menunjukkan bahwa Freire melihat tingkat-tingkat tadi sebagai hasil bukan hanya dari pribadi seorang individu, tetapi juga hasil dari lingkungan di mana individu tersebut hidup dan faktor-faktor sejarah serta kultural yang diciptakan oleh lingkungan. Perkembangan individu tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan kemudian menjadi berkesadaran magis, bukan juga dari kesadaran magis langsung ke kesadaran kritis, juga bukan acak. Perkembangan adalah kemajuan dari kesadaran naïf ke kesadaran kritis, perkembangan ini muncul seiring dengan bergulirnya roda kehidupan.
Secara esensial, bahwa kesadaran kritis terhadap realitas merupakan keharusan bagi tindakan manusia dan transformasi sosial. Konsepsi kesadaran kritis didasarkan pada konsepsi hubungan dialektis antara dunia dan kesadaran manusia sebagai sebuah proses menuju pembebasan. Proses pembebasan ini melibatkan sebuah perjuangan yang tergantung pada suatu kesadaran yang terus tumbuh. Namun harus ditambahkan pula bahwa, proses ini juga menuntut praksis yang muncul dari kesadaran yang semakin lama semakin meninggi. Pembebasan bukanlah keadaan statis, melainkan suatu transformasi tatanan realitas yang sifatnya kontinyu. Apa yang muncul dari transformasi ini adalah proses pembebasan yang akan menghasilkan manusia baru.
Kesimpulan
Tujuan pendidikan humanis adalah proses pembebasan dan pemanusiaan. Sebuah proses penyadaran yang terarah sekaligus memproduksi suatu pembebasan yang dinamis sehingga tercipta iklim kemanusiaan yang lebih utuh (conscientizacao). Ada tiga kesadaran yang secara integral saling berhubungan, yaitu kesadaran magic, naïf, dan kritis. Tahap kesadaran kritis merupakan tujuan prioritas pendidikan humanis sehingga manusia secara sadar mampu memahami realitas sekitarnya dengan kritis. Kekritisan akan melahirkan sebuah tindakan kreativitas yang progresif-inovatif dalam lingkup sosio-kultur kehidupannya. Karena konsepsi kesadaran kritis didasarkan terhadap konsepsi hubungan dialektis antara dunia dan kesadaran manusia itu sendiri sebagai proses menuju pembebasan.
C. Dialogis: Proses Hadap Masalah dalam Pendidikan Humanis
Penolakan Freire terhadap pendidikan “gaya bank” merupakan serangan terhadap pendidikan tradisional yang telah memutlakkan pendidikan sebagai ajang monopoli guru terhadap peserta didik di sekolah. Untuk itu, Freire mencoba memecahkan kontradiksi yang terjadi tersebut dengan memposisikan guru dan murid sebagai mitra dialog dalam memecahkan segala masalah, bukan membuat jarak antara guru dan murid, karena dengan membuat jarak upaya penindasan terhadap murid terbuka lebar. Dalam pendidikan yang memanusiakan, metode penindasan tidak lagi menjadi alat bagi para pendidik untuk memanipulasi anak didiknya, karena pendidikan yang memanusiakan (humanis) mengungkapkan kesadaran kepada murid.[48]
Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas dan merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner belajar; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dewey menjelaskan, yang dikutip oleh Zubaidi, bahwa orang yang reflektif tidak hanya mempunyai keterampilan inkuiri tetapi juga memiliki sikap keterbukaan (openmindedness), berhati lapang dan bertanggungjawab;[49] pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktualisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tanggung jawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilihan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.
Pendidikan sebenarnya merupakan sarana dan cara untuk menjadikan manusia menjadi lebih manusiawi. Pendidikanlah yang menjadi nilai paling penting bagi proses pembebasan manusia dari hal-hal yang sifatnya menindas dan mengarah kepada dehumanisasi. Tetapi pendidikan itu tidak akan mampu merealisasikan tujuannya untuk memanusiakan manusia, jika dalam prakteknya masih “tradisional” yang bersifat ”mendikte” pengetahuan yang dilakukan oleh guru kepada muridnya. Akhirnya murid hanya bisa meniru apa yang disampaikan oleh sang guru. Murid dalam hal ini tidak bisa bebas berpikir kritis dan mengembangkan kreativitasnya secara produktif, karena lebih cenderung ikut-ikutan dan bergantung kepada gurunya. Inilah yang menjadikan pendidikan membelenggu dan menindas.
Oleh karena itu, sebagai usaha untuk mencapai tujuan yang diharapkan, perlu sekali ditunjang dengan usaha pendidikan yang membebaskan, yakni pembebasan dari tradisi-tradisi ketergantungan berpikir dan dari pembelengguan kreativitas yang memposisikan murid tidak lagi menjadi objek pendidikan, melainkan bersama guru menjadi subjek pendidikan yang sama-sama aktif menggali dan mengembangkan pengetahuannya.
Dalam pendidikan pembebasan ini, tidak hanya berupa slogan-slogan yang sifatnya statis, yang tidak menjadikan seseorang kreatif. Tetapi dalam hal ini ada salah satu model atau metode yang sanggup membuat orang berpikir kritis dan kreatif, model pendidikan ini adalah dialog.[50] Dialog dijadikan model belajar, karena dalam pendidikan membebaskan ini terdapat hubungan dialogis yang permanen antara pendidik dan peserta didik di dalam proses pendidikannya.
Menurut Paulo Freire, model dialog yang membebaskan bukan hanya sekedar tehnik untuk mendapatkan suatu hasil pendidikan atau hanya dipahami sebagai tehnik yang menjadikan murid sebagai mitra guru semata. Sebaliknya, dialog harus dipahami sesuatu yang terlibat di dalam sejarah umat manusia. Dialog adalah bagian dari kemajuan historis dalam menjadi manusia. Oleh karena itu menurut Freire, dialog merupakan postur yang niscaya, sehingga manusia menjadi makhluk yang sangat komunikatif-kritis.[51]
Hal ini juga ditegaskan oleh Ira Shor, bahwa komunikasi bukan sekedar verbalisme, atau sekedar pingpong kata-kata dan bahasa tubuh (gesture). Ia juga mengesahkan (afirmasi) atau menantang hubungan antara orang yang berkomunikasi, yaitu objek dengan siapa mereka berhubungan, dan masyarakat dimana mereka hidup. Dialog yang membebaskan merupakan komunikasi demokratis yang mendiskonfirmasi dominasi dan mencerahkan sambil meneguhkan kebebasan “pemeran serta” (partisipan) untuk membentuk ulang budayanya.[52]
Pendidikan dialogis, sebagaimana yang dibangun oleh Mangunwijaya, tidak saja terbatas pada relasi skala mikro antara pendidik dan peserta didik di sekolah, tetapi pendidikan dialogis yang dibangun olehnya juga mencakup skala makro antara masyarakat dengan pemerintah. Menurutnya, relasi antara pendidik dengan peserta didik dan relasi masyarakat dengan pemerintah harus tumbuh seiring.[53] Dengan demikian wewenang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggung jawab bersama, di sini tidak ada monopoli guru terhadap murid, dan pemerintah terhadap masyarakat. Pendidikan harus terarah kepada murid dan masyarakat, karena apabila adanya pembatasan-pembatasan dikhawatirkan arah pendidikan bukan lagi sebagai alat pembebasan, tetapi lebih kepada pengooptasian yang kemudian bermuara kepada penindasan.
Dialog merupakan keharusan bagi resolusi kontradiksi guru-murid. Melalui dialog murid dianggap bertanggungjawab dalam proses pembelajaran mereka sendiri, dan lalu menjadi critical co-investigators dalam dialog dengan gurunya.[54]
Dialog tidak dapat berlangsung tanpa dilandasi adanya rasa cinta yang mendalam dari guru terhadap murid, dan dari pemerintah terhadap masyarakat atau sebaliknya. Dalam hal ini dialog memainkan peranan signifikan untuk membatasi setiap dominasi, karena dominasi menjadi penyakit bagi yang tidak mendominasi dan menguasai.
Hubungan dialogis merupakan suatu tuntutan yang harus dibangun, tidak ada komunikasi tanpa dialog, dan komunikasi terletak pada inti pusat fenomena vital dialog. Dalam pengertian ini dialog menjadi pengantar untuk more life (kehidupan yang lebih kaya) karena hubungan yang dialogis adalah ciri dari proses demokratis pendidikan.
Untuk itu, dialog merupakan hakikat dari konsep pendidikan pembebasan yang membebaskan manusia dari kepasifan, dan juga membebaskannya dari dominasi manusia lain. Dialog adalah keniscayaan bagi proses humanisasi sebab dengan dialog manuisa menjadi lebih bermakna, dihargai, dan sederajat.[55] Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dialog merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan proses humanisasi yang menjadi hak setiap manusia dalam kehidupan bersama.
Pendidikan gaya dialog juga disinggung oleh Brian A. Wren sebagai usaha mengembangkan kesadaran kritis, sebagaimana yang ditulis dalam buku Education for Justice, bahwa pendidikan gaya dialog merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan dengan situasi-situasi di mana orang dapat melakukan tindakan-tindakan pengetahuan yang ditandai oleh suasana dialog dan oleh penggunaan bentuk dan tehnik edukatif secara problem solving, dan dengan maksud mengembangkan kesadaran kritis.[56]
Kesadaran kritis tersebut dalam prosesnya memang tidak bisa terlepas dari tindakan dialog, sebab munculnya kesadaran kritis seseorang tidak dapat dipisahkan dari proses tersebut yang tentu saja harus didukung dan melibatkan pemikiran yang kritis. Dengan dialog, manusia akan memperoleh maknanya sebagai manusia, sebab dialog merupakan kebutuhan eksistensial, sekaligus sebagai sarana untuk mencapai diri supaya lebih manusiawi. Karena itu, dialog yang merupakan bentuk perjumpaan antar sesama manusia, di dalam prakteknya tidak bisa disederhanakan sebagai tindakan seseorang menabung gagasan-gagasannya kepada orang lain, atau sekedar sebagai pertukaran gagasan untuk “dikonsumsi” oleh para peserta sebuah diskusi. Dialog juga bukan sebuah bentuk permusuhan atau perang pendapat untuk memaksakan suatu kebenaran, sehingga dialog tidak boleh menjadi sebuah alat dominasi seseorang terhadap orang lain.[57]
Maka dari itu, dalam pendidikan humanis yang menghargai adanya kebebasan berpikir dan berpendapat lebih ditekankan bentuk aktivitas dan kreativitas peserta didik. Mereka harus berpartisipasi penuh secara aktif di dalamnya. Tidak ada istilahnya yang satu mendominasi yang lain atau si A menindas si B begitu pun sebaliknya. Kedua belah pihak berada pada kondisi yang sama, saling berinteraksi dalam proses dialog tersebut. Sehingga di dalam pendidikan humanis dengan model dialog tersebut bukan lagi A berbicara kepada B, atau B berbicara untuk A, akan tetapi A berbicara dengan B.
Model ataupun metode dialog dalam pendidikan pembebasan sangat ditekankan karena dalam prosesnya yang dipentingkan adalah manusianya sendiri sebagai pelaku (subjek) pendidikan yang sedang berdialog. Dialog disini harus berdasarkan pada kepekaan bahwa dalam diri manusia ada suatu kemampuan untuk menemukan dirinya. Untuk menemukan dirinya sendiri, dalam dialog diperlukan suatu sikap yang dapat menghargai orang lain, sehingga ia juga dihargai oleh orang lain. Untuk itu, menurut Freire, dalam dialog yang dilakukan tersebut dituntut antara lain, yaitu pertama sikap rendah hati, yakni sikap untuk mendengarkan orang lain dan menerima orang lain; kedua, kepercayaan yang besar, bahwa pada hakikatnya manusia dipanggil sebagai subjek bukan objek; ketiga, cinta terhadap sesama, di mana kegiatan yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh semangat cinta kasih.[58]
Brian A. Wrean dalam hal ini juga menegaskan bahwa pendidikan pembebasan dengan model dialog dasarnya adalah sikap hormat terhadap orang lain dan tertarik terhadap pemikiran-pemikiran orang lain. Ia juga menambahkan bahwa ini berarti dalam diri seseorang timbul pertanyaan-pertanyaan, pemikiran-pemikiran dan kebutuhan akan diskusi. Dengan demikian diperoleh suatu keyakinan fundamental tentang apa sebenarnya tindakan pengetahuan.[59] Selain itu dengan dialog, antara pendidik dan peserta didik berada pada posisi yang sejajar. Dalam dialog akan memberikan tempat kepada keduanya dalam realitas mereka sendiri sebagai subjek-subjek realitas yang mentransformasikan dengan sebenarnya.
Disini pengetahuan atas objek yang harus diketahui bukan semata-mata milik guru yang memberikan pengetahuan kepada murid sebagai bentuk kemurahan,[60] tetapi informasi yang diberikan guru kepada murid merupakan jembatan yang menjembatani antara kedua subyek kognitif, yaitu guru dan murid. Sehingga dalam proses pendidikan, mereka sama-sama memecahkan suatu masalah. Guru tidak berpikir untuk murid, tetapi guru dan murid bersama-sama mencari dan sekaligus bertanggungjawab dalam suatu proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan, guru dan murid saling mengajar serta saling memberikan informasi (learning together). Disini sungguh terjadi suatu dialog dan komunikasi horizontal yang dinamis.
Dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Freire menggarisbawahi potensi yang luas dari dialog dan dengan bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagi alat yang mampu menanamkan dominasi maupun kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong transformasi sosial dan pembebasan. Dialog mengandung arti bersikap kritis yang mengandung arti tentang raison d’etre (sebab mengapa ada) objek-objek dan subjek-subjek dialog. Dengan demikian dialog harus berjalan bebas, efektif, dan sesuai harapan.
Model pendidikan pembebasan yang dialogis sebagai bentuk hubungan yang aktif-komunikatif dalam hubungan horizontal antara guru dengan muridnya, dalam konsep pendidikan humanis seabagai proses lebih lanjut juga dinamakan dengan pendidikan hadap masalah (problem possing education).
Pendidikan hadap masalah merupakan teori dan metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, -- sebagai konsekwensi dari pendidikan yang menerapkan metode dialogis -- karena adanya pengingkaran subjektivitas manusia yang sepanjang sejarah jumlahnya sama dengan manusia itu sendiri, sehingga muatan pendidikan harus dapat disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul.
Sistem hadap masalah dalam pendidikan berangkat dari asumsi tentang manusia sebagai makhluk yang sadar dengan kesadaran yang tertuju pada dunia. Pendidikan hadap masalah menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming), dan tidak pernah selesai, atau sebagai makhluk yang tidak pernah sempurna dalam dan dengan realitas. Sebab inilah yang disebut Freire, bahwa manusia yang humanis adalah pencipta dari sejarahnya sendiri.[61]
Kesimpulan
Dalam pendidikan humanis, ada tiga pendekatan yang digunakan demi tercapainya manusia yang kritis, progresif-inovatif, yaitu dialogis, reflektif, dan ekspresif. Ketiganya merupakan elemen penting yang harus dibudayakan dalam dunia pendidikan. Dialog yang dibangun tidak terbatas pada pendidik-peserta didik, akan tetapi juga mencakup secara luas dan komprehensif antara masyarakat dengan pemerintah. Dialog merupakan sarana komunikasi yang efektif dalam memecahkan berbagai macam persoalan, baik diri sendiri maupun lingkungannya dengan cara langsung dibenturkan terhadap persoalan tersebut (problem possing education), sebagai konsekuensi dari ketiga pendekatan di atas. Agar metode atau pendekatan tersebut dapat tercapai secara optimal, harus dilakukan dengan sikap rendah hati, adanya kepercayaan yang besar, dan dilandasi semangat cinta kasih terhadap sesama.
D. Kurikulum Pendidikan Humanis
Kurikulum dalam pengertian luas merupakan segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan, yang disajikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut pengertian ini, segala pengalaman yang dialami peserta didik adalah termasuk kurikulum, karena kurikulum tidak terbatas hanya pada pengalaman, ruang dan tempat tertentu tetapi pada setiap pelajaran yang berlangsung. Hal ini diperkuat oleh Harold B. Alberty dan Elsie J. Alberty, yang dikutip Ahmad Tafsir bahwa kurikulum adalah semua aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik sesuai dengan peraturan-peraturan.[62]
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberi bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristiknya dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.[63]
Ada beberapa macam model konsep kurikulum yang diaplikasikan dalam proses pendidikan yang salah satunya adalah kurikulum humanistik. Kurikulum ini dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education) yaitu John Dewey (progressive education) dan J.J. Rousseau (romantic education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Gestalt,[64] bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual dengan aktor utamanya dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan peserta didik, dan merupakan suatu upaya menciptakan situasi yang permisif, rileks, dan akrab. Berkat situasi tersebut anak didik bisa mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong anak didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
John Dewey mengatakan bahwa ada tiga butir pokok yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah kurikulum di segala tingkat. Pertama, hakikat dan kebutuhan siswa-siswa. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat di mana para peserta didik merupakan bagian dari masyarakat tersebut. Ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat.[65]
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar atau memotivasi peserta didik merasakan atau bersikap terhadap lingkungan. Karena salah satu tujuan dari pengajaran ini adalah untuk memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan (distiance) dan keterasingan (alienasi) dari lingkungan masyarakatnya.[66]
Kurikulum humanistik sendiri mempunyai beberapa karakterisrik, berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis, kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman (pengetahuan) berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi peserta didik. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, serta sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, maupun saat belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi dalam dirinya (self actualizing person). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya adalah orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek pribadinya, baik aspek kognitif, estetika, maupun moral. Seseorang dapat bekerja dengan baik apabila memiliki karakter yang baik pula.
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru peserta didik. Guru, selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan peserta didik, juga mampu menjadi sumber inspirasi terciptanya keharmonisan tersebut. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu menciptakan suasana yang memperlancar proses belajar. Guru harus mampu memberikan motivasi kepada peserta didik atas dasar saling percaya. Peran mengajar bukan saja dilakukan oleh guru, tetapi juga oleh peserta didik (murid). Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak disukai peserta didik.
Sesuai dengan prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekankan integrasi, yaitu kesatuan prilaku bukan saja yang bersifat intelektual (kognitif) tetapi juga emosional dan tindakan (psikomotorik). Kurikulum humanistik juga menekankan secara komprehensif (keseluruhan). Kurikulum harus mampu memberikan pengalaman yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal (parsial).
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model ini lebih mengutamakan proses daripada hasil. Kalau kurikulum yang biasa digunakan terutama subjek akademis mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum humanistik ini tidak ada kriteria tertentu. Sasaran dari kurikulum ini adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih terbuka (open ended) dan mandiri di dalam menciptakan kreativitas dan aktivitas. Kegiatan yang dilakukan para pendidik hendaknya bermanfaat bagi peserta didik. Kegiatan yang baik adalah yang memberikan pengalaman yang akan membantu peserta didik dalam memperluas kesadaran akan dirinya dan orang lain, serta dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Penilaiannya bersifat subjetif, baik dari guru maupun para peserta didik.[67]
Kesimpulan
Kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan, sangat menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kurikulum humanistik bertolak dari asumsi bahwa peserta didik adalah subjek yang menjadi pusat pendidikan, mempunyai potensi, kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Untuk itu, ada tiga pokok yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum, yaitu hakikat dan kebutuhan siswa serta hakikat dan kebutuhan pokok di masyarakatnya, sehingga ilmu yang dipelajarinya tidak menjadi menara gading di mana dia berinteraksi. Di sini, kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman berharga dalam memperlancar perkembangan pribadi yang dinamis, saat belajar maupun di lingkungan masyarakat sesuai prinsip integrasi; kesatuan prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam evaluasinya, kurikulum humanis lebih menekankan pada proses menjadi (becoming) dari pada hasil.
E. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Humanis
Telah disinggung di atas bahwa hubungan pendidik dengan peserta didik adalah hubungan dialogis, sejajar antar subjek yang saling belajar dan diajar. Keduanya dipersatukan oleh satu pandang, yakni dunia yang tengah berproses dalam gerak perubahan. Pendidik bagi peserta didik adalah partner didalam memahami realitas tersebut. Pendidik mengemukakan persoalan agar dipertimbangkan oleh peserta didiknya. Sementara pertimbangan pendidik diuji kembali setelah ditemukan pertimbangan peserta didiknya. Peserta didik adalah teman dialog pendidik sendiri. Prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog kritis merupakan unsur yang penting sekali dalam pendidikan.
Hal ini tidak bisa lepas dari pandangan bahwa fitrah manusia adalah bebas dan merdeka, yang menempatkan manusia sebagai pelaku atau subjek, karena fitrah manusia sejati bukanlah sebagai penderita atau objek. Untuk itu, dalam pandangan pendidikan pembebasan antara pendidik dan peserta didik sama-sama diletakkan sebagai subjek pendidikan yang sadar akan dirinya, yang sama-sama ingin mengetahui lebih banyak realitas dan pengetahuan sebagai objeknya.
Oleh karena itu, pendidikan pembebasan menempatkan guru dan peserta didik dalam posisi belajar bersama (learning together), masing-masing memiliki peran sebagai subjek, atau sebagai pendidik-pendidik yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi.[68] Disini terlihat adanya posisi “guru yang murid” dan “murid yang guru”, karena keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horizontal. Pandangan tentang pendidik dan anak didik tersebut, yang menempatkan keduanya pada posisi yang egaliter tidak melahirkan asumsi bahwa telah terwujud tindakan perendahan martabat sebagai manusia yang berpengetahuan, sekaligus menghilangkan doktrin-doktrin yang mengesahkan guru sebagai orang yang dengan otoritasnya menganggap dirinya yang paling tahu akan segala hal.
Dalam perspektif pendidikan pembebasan, tidak ada istilah pengkultusan terhadap pribadi seseorang. Pendidik di sini bukan sosok “yang paling”, ia bukanlah nabi penyelamat ataupun wali yang mempunyai keistimewaan. Pendidik hanyalah fasilitator dan partner dalam proses pendidikan dalam rangka mencapai sebuah penyadaran diri sebagai manusia. Untuk itu, pendidikan pembebasan mengecam bentuk pendidikan gaya bank[69] yang memposisikan pribadi guru sebagai subjek sedangkan peserta didik menjadi objek bersama pengetahuan yang dipelajarinya. Sehingga yang terlihat aktif adalah gurunya, sedangkan anak didik berada pada posisi pasif yang tidak ada bedanya dengan benda mati.
Pendidikan gaya bank tersebut disinyalir oleh Andrias Harefa hanya menghasilkan pendidikan yang monolog. Tidak ada kreativitas yang ada hanyalah pendidikan verbalistik (hafalan). Tidak ada orisinalitas yang ada hanyalah peniruan dan pembajakan. Tidak ada percakapan antar “dalang”, yang ada hanyalah seorang “dalang” dengan setumpuk “wayang”.[70] Sehingga yang lahir dari hal tersebut yaitu tradisi-tradisi pendidikan yang tidak berbentuk pertukaran ide-ide antara pendidik dan peserta didik, tetapi sebaliknya adalah pencekokan dan pendiktean ide yang dilakukan guru kepada muridnya. Bukan proses pendidikan yang dibangun atas dasar kerjasama dengan murid, melainkan pendidikan yang memaksakan suatu perintah dan tugas yang harus dipatuhi serta dikerjakan oleh murid.
Disini manusia dalam posisinya sebagai peserta didik ditempatkan sebagai “barang mati” tanpa pilihan, kecuali menerima atau menjadi wadah dari sosialisasi teori Iptek dan nilai yang diberikan dan ditumpahkan guru kepada muridnya.[71] Gurupun ditampilkan sebagai suatu prototype manusia ideal yang harus digugu dan ditiru, walaupun kadangkala nilai atau pengalaman yang dimiliki guru yang didapat dari masa lalu sudah tidak relevan lagi untuk diberikan kepada anak didiknya yang hidup di era sekarang ini. Sehingga anak didik pemikirannya menjadi dangkal dan tidak kritis, yang pada akhirnya para anak didik kesulitan, bisa juga dikatakan gagal dalam menghadapi problematika baru yang belum pernah diajarkan, karena memang berada diluar pengalaman sang guru.
Padahal pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang mampu menstimulus manusia (anak didik) untuk berpikir mandiri dalam rangka menciptakan gagasan yang otentik dan orisinal, yang nantinya menjadikan anak didik mempunyai pemikiran kritis-produktif (serta progresif, pen.), sehingga mampu menghadapi problem-problem dalam realitasnya.[72] Untuk itu bisa dimaklumi bahwasanya praktek-praktek pendidikan seperti gaya bank yang sampai saat ini masih berjalan, telah menjadi kontributor yang mengarahkan para pendidik pada posisi sebagai penindas yang terselubung. Bisa dikatakan penindas yang terselubung, sebab ia dibungkus dan dibingkai dengan kepandaiannya dan budaya wibawa, yakni budaya yang seringkali membuat anak didik terjangkit penyakit phobia sebagai pribadi yang berkembang secara utuh.
Implimentasi pendidikan gaya bank yang secara langsung maupun tidak langsung telah memenjara kesadaran kritis anak didik, yang berimplikasi pada pengkultusan terhadap seorang pendidik yang dibungkus dalam suatu doktrin bahwa peranan pendidik adalah mengatur cara dunia “masuk ke dalam” diri anak didik.[73] Disini anak didik akan menerima dunia secara pasif, karena tidak adanya penyadaran diri yang sebenarnya, anak didik pada akhirnya lebih pasif lagi karena dijadikan sosok yang sama dengan dunia. Inilah yang membuat anak didik menjadi manusia yang tidak dapat mengukir sejarahnya sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Freire, bahwa pendidikan harus dapat mengantarkan manusia (anak didik) ke gerbang kebangkitan dan menolong mereka beralih dari kesadaran transitif-naif ke kesadaran transitif-kritis, serta menggugah kemampuan mereka untuk ikut menangani proses sejarah.[74]
Jalan satu-satunya untuk menjadikan proses beralihnya kesadaran naïf ke kesadaran kritis seseorang yaitu dengan menggunakan metode yang aktif, dialogis, kritis, dan menggugah sikap kritis tersebut. Metode yang diprioritaskan pada dialog tersebut merupakan bentuk hubungan horizontal antara pribadi-pribadi, yaitu hubungan yang tidak ada kontradiksi antara guru dan murid. Keduanya (guru dan murid) secara praksis dapat menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata yang telah didialogkan. Pendidikan dialogis ini sering juga disebut dengan pendidikan hadap masalah (problem posing of education) yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subyek pendidikan.
Pendidikan hadap masalah -- sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, merupakan konsep tandingan terhadap pendidikan gaya bank (banking concept of education), yang menurut Freire justeru mendorong dialog antara guru dengan murid, serta suatu proses pendidikan yang mampu mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan dan menentang status quo.[75] Pendidikan demikian berupaya mengintegrasikan realitas sosial ke dalam pendidikan agar pendidikan mampu melakukan perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat, dan masyarakat yang berpendidikan tidak gampang tersingkir dari akar budaya masyarakatnya sendiri maupun pengaruh budaya yang datang dari luar.
Dalam hal ini, guru dan murid harus saling mengembangkan budaya pemikiran dan sikap kritis dengan memadukan teori dan praktek. Baik guru maupun murid sama-sama menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Sehingga dalam pembelajaran lebih menekankan pada pengalaman refleksi dan aksi yang menawarkan sejumlah cara seorang pendidik dapat mendampingi para anak didiknya guna memudahkan proses pembelajaran dalam menentukan kebenaran hidup dan penggalian arti hidup sebagai manusia.
Di sini peserta didik dituntut secara aktif membangun pengetahuan menurut perspektifnya sendiri. Sedangkan pendidik membantunya supaya pencarian tersebut berjalan dinamis. Pendidik dan peserta didik membangun bersama pengetahuan mereka dari realitas yang dihadapinya, bertolak dari situasi eksistensial dan konkret, serta melalui pengalaman dalam interaksi sosialnya. Disinilah, pendidik-yang-peserta didik dan peserta didik-yang-pendidik berefleksi secara simultan tentang diri mereka sendiri dan tentang dunia sekelilingnya. Sehingga pengetahuan yang terbentuk tumbuh tidak bagaikan bejana kosong yang terisi oleh pengajaran. Peserta didik tidak hanya merekam realitas, mereka juga menafsir semua hal yang dilihat dan didengarnya
Hubungan pendidik dan peserta didik antara lain dapat dicirikan sebagai berikut. Pertama, pendidik belajar dari peserta didik dan peserta didik belajar dari pendidik. Kedua, pendidik menjadi rekan peserta didik yang melibatkan diri dan menumbuhkan daya pemikiran kritis para peserta didiknya dan keduanya saling memanusiakan.[76] Jadi, antara guru dan murid, keduanya saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan dan saling memberi kebebasan. Dalam proses pembelajaran, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid dan begitu sebaliknya. Hubungan inilah yang meletakkan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek sebagaimana dalam pendidikan gaya bank, yang menjadi obyek mereka bersama adalah realitas dunia. Sehingga dalam hal ini tercipta suatu dialogis yang demokratis dan bersifat intersubjektif untuk memahami objek secara bersama-sama.
Hal ini pula menuntut pertama, pendidik bersedia berinteraksi dengan peserta didiknya agar lebih memahami apa saja yang sudah diketahui dan dipikirkannya berkaitan dengan materi yang akan dibahas. Target dan apa saja yang dibuat pendidik di ruang belajar sebaiknya dibicarakan bersama peserta didik agar peserta didik merasa terlibat. Kedua, dengan penuh kesadaran pendidik berpartisipasi sebagai peserta didik supaya memahami pengalaman belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Ketiga, bahwa pemikiran pendidik harus bersifat fleksibel agar dapat mengerti dan menghargai pendapat peserta didik. Seringkali peserta didik berpikir berdasar asumsi yang tidak diterima oleh pendidiknya.[77] Diperlukan keterlibatan mendalam antara pendidik dengan peserta didik dalam memahami realitas. Karena sifat belum selesai dari manusia dan sifat yang terus berubah dari realitas mengharuskan pendidikan menjadi kegiatan yang terus-menerus berlangsung, sehingga – menurut Freire – pendidikan selalu akan terus diperbaharui dalam praksis.
Kesimpulan
Dalam pendidikan humanis, pendidik-peserta didik ditempatkan dalam posisi egaliter, yaitu belajar bersama (learning together) yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Keduanya berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horizontal tanpa adanya perendahan martabat salah satunya. Karena pendidik hanyalah fasilitator dan partner dalam proses pendidikan dalam rangka mencapai sebuah penyadaran diri sebagai manusia. Jadi, pola hubungan pendidik-peserta didik antara lain dapat dicirikan sebagai; pendidik belajar dari peserta didik dan peserta didik belajar dari pendidik, serta pendidik menjadi rekan peserta didik yang melibatkan diri dan menumbuhkan daya pemikiran kritis-produktif-progresif peserta didiknya dan keduanya saling memanusiakan. Baik pendidik maupun peserta didik sama-sama menjadi subjek yang belajar, subjek yang bertindak dan berpikir.
[24] William A. Smith, 2001, Conscientizacao, ujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 5.
[25] Dalam Singgih Nugroho, 2003, Pendidikan Pemerdekaan dan Islam, Bantul: Pondok Edukasi, h. 53.
[26] Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern, Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD h. 187.
[27] Pandangan aksiologi adalah pandangan yang melibatkan aspek-aspek etik, estetik, dan religius.
[28] Paulo Freire, 1972. Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan, 1991. Yogyakarta: LP3ES, h. 10.
[29] Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, dan Anarkhis, penyunting dan terjemahan Omi Intan Naomi, 2003, Bandung: Pustaka Pelajar, h. 434.
[30] Paulo Freire, 1972, Op. Cit. h. 50.
[31] Muh. Hanif Dakhiri, 2000, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, Jakarta: Jembatan dan Pena, h. 54.
[32] Djumransjah, 2004, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing, h. 176
[33] Muis Sad Iman, 2004, Pendidikan Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insania Press, h. viii.
[34] Djumransjah, 2004, Op. Cit., h. 179.
[35] Djumberansjah Indar, 1994, Filsafat Pendidikan, Surabaya: PT. Krya Abditama, h. 131.
[36] Ahmad Samawi, 2000, Perspektif Filsafat tentang Dialektika Paradigmatik dalam Pendidikan, FIP IKIP Malang No. 27, th. 1 Januari 2000, h. 5 dan 8.
[37] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo Freire, Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, h. 32-33.
[38] Tetapi bila dilihat dari pelopor pendidikan pembebasan sendiri, yaitu Paulo Freire, secara filosofis dalam konsep pendidikan pembebasan terdapat lima jaringan filosofis yang terkolaborasi dalam ide-ide pendidikan humanis tersebut. Kelima jaringan filosofis tersebut antara lain yaitu (a) Personalisme, (b) Eksistensialisme, (c) Fenomenologi, (d) Marxisme, dan (e) Kristianitas. Lebih jelasnya bisa dilihat dalam Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Paulo Freire, Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, h. 32-41.
[39] H.A.R. Tilaar, 2000, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, h. 20-21.
[40] Paulo Freire, 1972, Op. Cit.,h. 190.
[41] Imam Muslimin, 2004, Pendidikan dan Humanisme, Jurnal Fakultas Trabiyah El-Hikmah: UIN Malang, Volume III-Edisi Agustus 2004, h. 122.
[42] Martyn Sardy, 1985, Pendidikan Manusia, Bandung: Penerbit Alumni, h. 18.
[43] Driyakarya, 1980, Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, h, 78.
[44] William A. Smith, Op. cit., h. 15.
[45] Ali Maksum dan LulukYunan Ruhendi, Op. cit., 113.
[46] Siti Murtiningsih, 2004, Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan RadikalPaulo Freire, Yogyakarta: Resist Book, h. 50.
[47] Denis E. Collins SJ., 2002, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikiran, terj. Henry Heyneardhi dan Anastasia P., Yogyakarta: Puataka Pelajar, h. 109.
[48] Paulo Freire, 2003, Op. Cit., h. 457.
[49] Zubaidi, Refleksi, Pengalaman dan Reformulasi Teori dalam Pendidikan, Dalam Chabib Thoha dkk (peny.), 1996, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 230
[50] Sumaryo, 1984, Pendidikan yang Membebaskan, dalam Mencari Identitas Pendidikan, editor Martyn Sardy, Bandung: Alumni, h. 32.
[51] Ira Shor dan Paulo Freire, 1987, Menjadi Guru yang Merdeka, Petikan Pengalaman, terjemahan A. Nashir Budhiman, 2001, Yogyakarta: LKIS, h. 151.
[52] Ibid, h. 152.
[53] Firdaus M. Yunus, Op. Cit., h. 77.
[54] Ibid, h. 46.
[55] Muh. Hanif Dakhiri, Op. Cit., hal. 72.
[56] Lihat N.S. Dhartasuratna, 1984, Pendidikan Keadilan Menurut Brian A. Wrean, dalam Martyn Sardy (ed.), Pendidikan Manusia, Bandung: Alumni, h. 161.
[57] Paulo Freire, 1972, Op. Cit., 73-74.
[58] Sumaryono, 1984, Op. Cit., h. 33.
[59] Dikutip oleh Dhartasuratna dalam Martyn Sardy, Op. Cit., h. 159.
[60] Ira Shor dan Paulo Freire, Op. Cit., h. 152-153.
[61] Siti Murtiningsih, Op. Cit., h. 82.
[62] Ahmad Tafsir, 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, h. 52.
[63] Nana Syaodih Sukmadinata, 2002, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, h. 58.
[64] Sebuah teori yang dikembangkan oleh ahli psikolog antara lain Kohler (1925), Koffka (1935), dan Wertheimer (1945). Lebih lengkapnya lihat Muhaimin dkk, 1996, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya: CV. Citra Media, h. 35-39.
[65] Firdaus M. Yunus, 2004, Op. Cit., h.110.
[66] Nana Syaodih Sukmadinata, op. cit., h. 86-87.
[67] Ibid, h. 90-91.
[68] Muh. Hanif Dhakiri, op. cit., h. 56.
[69] Lihat Paulo Freire, 1972, op. cit., h. 51-52.
[70] Andrias Harefa, 2000, Menjadi Manusia Pembelajaran, Jakarta: Harian Kompas, h. 12
[71] Lihat pengantar Abdul Munir Mulkhan dalam Steven M. Chan, 2002, Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah, penyadur Abdul Munir Mulkhan dan Umi Yawisah, Yogyakarta: Kreasi Wacana, h. XVIII-XIX.
[72] A. Syafi’i Ma’arif, 1991, Op. Cit., h. 23.
[73] Paulo Freire, 1972, Op. cit., h. 56.
[74] Lihat Freire, 2001, Op. cit., h. 58.
[75] Firdaus M. Yunus, Op. cit., h. 5.
[76] Siti Murtiningsih, Op. Cit., h. 85.
[77] P. Suparno, 1997, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, h. 66.
0 comments:
Post a Comment