Dari Aisyah dari Rasulullah, beliau bersabda: ”Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama yang baik, menyempurnakan susunan dan mendidiknya dengan akhlak yang baik”
Mempermasalahkan Pendidikan atau tepatnya Sistem Pendidikan di Indonesia sepertinya tidak akan pernah terhenti sampai disini saja. Pola demi pola terus dicoba walaupun pada akhirnya belum menemukan metode yang sesuai dalam upayanya menghasilkan kelulusan siswanya yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Alih-alih memperbaiki sistem, yang terjadi hanyalah kontroversi yang tiada berkesudahan.
Secara aspek pedagogis, pendidikan harus mempertimbangkan 3 (tiga) faktor penting, yaitu : afektif (pembentukan sikap), psikomotorik (keterampilan) dan kognitif (pengetahuan). Ketiga faktor ini harus berjalan secara bersamaan, penekanan pada salah satu unsur saja akan mengakibatkan kepincangan dalam proses pendidikan.
Menjadi tidak berlebihan apabila muncul pendapat bahwa kerusakan moral yang merajalela saati ini merupakan imbas dari pendidikan yang kurang mempertimbangkan keseimbangan keutuhan tiga faktor sebagaimana tersebut di atas.
Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah sejak Tahun ajaran 2002/2003 tentang dilaksanakannya Ujian Nasional (UN), ternyata faktor penentu kelulusan seorang siswa hanya ditentukan oleh satu faktor saja, yaitu kognitif, sementara kedua aspek lainnya tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Penulis berpendapat bahwa tidak adanya sentuhan moral dan budi pekerti dalam kebijakan pendidikan nasional menghasilkan siswa didik yang kurang berkualitas serta kurang mampu dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun secara sosial kemasyarakatan, ketika siswa-siswa tersebut di terjunkan ke masyarakat.
Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan yang berbasis moral dan akhlak, budi pekerti. Apabila kemerosotan moral dan akhlak terus merambah ke berbagai kalangan, bukan tidak mungkin dunia pendidikan akan selamanya menjadi tumpahan kesalahan, walaupun poenurunan nilai-nilai moral memiliki banyak sebab yang melatarbelakangi.
Tujuan Pendidikan
Hal mendasar yang patut menjadi perhatian kita bersama, manakala mempermasalahkan dunia pendidikan adalah memahami tujuan pendidikan itu sendiri.
Langeveld, pelopor aliran fenomenologi pendidikan menyatakan bahwa, tujuan pendidikan adalah mencapai kedewasaan bagi anak didik.
Paul Haberlin, seorang pendidik aliran idelaisme obyektif merumuskan tujuan pendidikan adalah kecakapan batin agar dapat memenuhi kewajibannya, tugas dan tujuan hidupnya. Sebuah pendapat yang didasari oleh pemikiran bahwa diatas kehidupan manusia ada norma mutal yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Siapapun yang telah memenuhi dengan norma mutlak tersebut artinya telah mampu mengawal kewajiban dan tugas hidupnya.
Sikun Pribadi, menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk pencapaian psyco-hygiene atau kesehatan jiwa. Psyco-hygiene merupakan kondisi yang mutlak harus ada untuk proses produktif, kreatif dan progresif. Tanpa kondisi ini, tidak akan dihasilkan manusia yang dapat mampu melaksanakan cita-cita yang luhur. (Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta, Andi Ofset, 1993)
Secara sederhana tujuan pendidikan adalah yang mampu mencerminkan pandangan hidup manusia, atau dalam bahasa lainnya dapat dikatakan pandangan hidup yang mengakui manusia itu sendiri yang dapat dijadikan sebagai tujuan pendidikan atau pendidikan yang memiliki sense of humanis.
Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah suatu upaya untuk dapat merealisasikan identitas Islam, yaitu menyangkut nilai perilaku manusia yang didasari oleh iman dan taqwa kepada Allah SWT sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus di taati.
Kongres Pendidikan Islam sedunia di Islamamad Tahun 1980 merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah : merealisasikan cita-cita (idealisme) Islami yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis, berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia yang mengacu pada keimanan dan sekaligus ilmu pengetahuan secara berkeseimbangan, sehingga terbentuklah manusia muslim paripurna yang berjiwa tawakal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah SWT, sebagaimana firmannya : “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya bagi Allah Tuhan Semesta Alam” (QS. Al-An’am : 162)
Ihwan As-Safa, berorientasi pada filsafat menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menumbuh-kembangkan kepribadian muslim yang mampu mengamalkan cita-citanya. Abu Hasan Al-Qabasi, penganut Ahli Sunnah Wal Jama’ah merumuskan tujuan pendidikan adalah mencapai ma’rifat dalam agama, baik ilmiah maupun amaliah.
Ibn Maskawaih, ahli fiqh dan hadist, merumuskan bahwa tujuan pendidikan harus berorientasi pada pembentukan manusia yang berkualitas, benar dan indah (atau merealisasikan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Al-Ghazali, ahli sufi merumuskan tujuan pendidikan dengan menitik beratkan pada melatih agar anak dapat mencapai ma’rifat kepada Allah SWT melalui jalan tasawuf, yakni dengan mujahadah dan melatih nafsu-nafsu.
Pendapat diatas secara substansial memiliki kesamaan tujuan dalam pelaksanaan pendidikan secara Islam, yaitu menghendaki terwujudnya nilai-nilai Islami dalam kepribadian anak didik, yaitu keislaman, keimanan dan ketqwaan. (Dari Akhlak Pesantren, Tamyiz Burhanudin, 2001)
Pesantren Menjadi Alternatif
Tidak dapat dipungkiri Pesantren yang merupakan tempat pengkaijan Islam dan dakwah, juga memiliki peran penting dalam pendidikan akhlak. Media pendidikan yang tidak sekedar memberikan sebuah pemahaman tentang kebaikan sikap kepada sesama, melainkan juga kepada Tuhan, lingkungan dan diri sendiri. Pesantren masih menjanjikan bahwa anak didik akan mendapatkan pemahaman agama secara mendalam, baik secara keilmuan maupun pengamalannya, mengingat hingga saat ini pesantren merupakan lembaga pengkajian Islam yang masih solid keberadaannya. Lingkungan di Pesantren memberikan jaminan pada lingkungan yang sangat agamis serta terbebas dari pengaruh pergaulan dan budaya-budaya yang merusak moral. Pada kenyataannya juga, Pesantren telah membuktikan mampu merubah perangai seseorang dari yang sebelumnya kurang baik menjadi manusia yang sholeh dan sholihah setelah mendapat pendidikan di lingkungan pesantren. Di era global yang berlangsung saat ini, anak didik sangat rentan dengan pengaruh-pengaruh budaya dan pada gilirannya akan merusak moral bangsa. Dibutuhkan sistem pendidikan serta sarana pendidikan yang mampu membekali dengan benteng pendidikan moral dan akhlak bagi anak didiknya, sebagaimana yang telah dilaksanakan secara turun temurun di lingkungan pesantren. Menjadikan perenungan kita bersama, ketika sistem pendidikan nasional yang kita harapkan ternyata belum mampu menghasilkan anak didik yang berkualitas baik dari sisi keilmuan maupun sisi mentalitas di tengah gencarnya serangan globalisasi yang tidak dapat kita bendung lagi.
Pendidikan yang mengabaikan segi individual manusia dikhawatirkan menimbulkan gejala penyemarataan dan hilangnya hak-hak asasi manusia. Sebaliknya pendidikan yang mengabaikan segi sosial kemanusiaan akan melahirkan individu yang egositik dan tidak perduli terhadap kehidupan sesama. Jika pendidikan tidak mengindahan norma susila, maka tata susila dan budaya luhur akan terjungkir balik tanpa aturan nilai.
Mempermasalahkan Pendidikan atau tepatnya Sistem Pendidikan di Indonesia sepertinya tidak akan pernah terhenti sampai disini saja. Pola demi pola terus dicoba walaupun pada akhirnya belum menemukan metode yang sesuai dalam upayanya menghasilkan kelulusan siswanya yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Alih-alih memperbaiki sistem, yang terjadi hanyalah kontroversi yang tiada berkesudahan.
Secara aspek pedagogis, pendidikan harus mempertimbangkan 3 (tiga) faktor penting, yaitu : afektif (pembentukan sikap), psikomotorik (keterampilan) dan kognitif (pengetahuan). Ketiga faktor ini harus berjalan secara bersamaan, penekanan pada salah satu unsur saja akan mengakibatkan kepincangan dalam proses pendidikan.
Menjadi tidak berlebihan apabila muncul pendapat bahwa kerusakan moral yang merajalela saati ini merupakan imbas dari pendidikan yang kurang mempertimbangkan keseimbangan keutuhan tiga faktor sebagaimana tersebut di atas.
Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah sejak Tahun ajaran 2002/2003 tentang dilaksanakannya Ujian Nasional (UN), ternyata faktor penentu kelulusan seorang siswa hanya ditentukan oleh satu faktor saja, yaitu kognitif, sementara kedua aspek lainnya tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Penulis berpendapat bahwa tidak adanya sentuhan moral dan budi pekerti dalam kebijakan pendidikan nasional menghasilkan siswa didik yang kurang berkualitas serta kurang mampu dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun secara sosial kemasyarakatan, ketika siswa-siswa tersebut di terjunkan ke masyarakat.
Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan yang berbasis moral dan akhlak, budi pekerti. Apabila kemerosotan moral dan akhlak terus merambah ke berbagai kalangan, bukan tidak mungkin dunia pendidikan akan selamanya menjadi tumpahan kesalahan, walaupun poenurunan nilai-nilai moral memiliki banyak sebab yang melatarbelakangi.
Tujuan Pendidikan
Hal mendasar yang patut menjadi perhatian kita bersama, manakala mempermasalahkan dunia pendidikan adalah memahami tujuan pendidikan itu sendiri.
Langeveld, pelopor aliran fenomenologi pendidikan menyatakan bahwa, tujuan pendidikan adalah mencapai kedewasaan bagi anak didik.
Paul Haberlin, seorang pendidik aliran idelaisme obyektif merumuskan tujuan pendidikan adalah kecakapan batin agar dapat memenuhi kewajibannya, tugas dan tujuan hidupnya. Sebuah pendapat yang didasari oleh pemikiran bahwa diatas kehidupan manusia ada norma mutal yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Siapapun yang telah memenuhi dengan norma mutlak tersebut artinya telah mampu mengawal kewajiban dan tugas hidupnya.
Sikun Pribadi, menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk pencapaian psyco-hygiene atau kesehatan jiwa. Psyco-hygiene merupakan kondisi yang mutlak harus ada untuk proses produktif, kreatif dan progresif. Tanpa kondisi ini, tidak akan dihasilkan manusia yang dapat mampu melaksanakan cita-cita yang luhur. (Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta, Andi Ofset, 1993)
Secara sederhana tujuan pendidikan adalah yang mampu mencerminkan pandangan hidup manusia, atau dalam bahasa lainnya dapat dikatakan pandangan hidup yang mengakui manusia itu sendiri yang dapat dijadikan sebagai tujuan pendidikan atau pendidikan yang memiliki sense of humanis.
Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah suatu upaya untuk dapat merealisasikan identitas Islam, yaitu menyangkut nilai perilaku manusia yang didasari oleh iman dan taqwa kepada Allah SWT sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus di taati.
Kongres Pendidikan Islam sedunia di Islamamad Tahun 1980 merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah : merealisasikan cita-cita (idealisme) Islami yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis, berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia yang mengacu pada keimanan dan sekaligus ilmu pengetahuan secara berkeseimbangan, sehingga terbentuklah manusia muslim paripurna yang berjiwa tawakal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah SWT, sebagaimana firmannya : “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya bagi Allah Tuhan Semesta Alam” (QS. Al-An’am : 162)
Ihwan As-Safa, berorientasi pada filsafat menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menumbuh-kembangkan kepribadian muslim yang mampu mengamalkan cita-citanya. Abu Hasan Al-Qabasi, penganut Ahli Sunnah Wal Jama’ah merumuskan tujuan pendidikan adalah mencapai ma’rifat dalam agama, baik ilmiah maupun amaliah.
Ibn Maskawaih, ahli fiqh dan hadist, merumuskan bahwa tujuan pendidikan harus berorientasi pada pembentukan manusia yang berkualitas, benar dan indah (atau merealisasikan kebaikan, kebenaran dan keindahan. Al-Ghazali, ahli sufi merumuskan tujuan pendidikan dengan menitik beratkan pada melatih agar anak dapat mencapai ma’rifat kepada Allah SWT melalui jalan tasawuf, yakni dengan mujahadah dan melatih nafsu-nafsu.
Pendapat diatas secara substansial memiliki kesamaan tujuan dalam pelaksanaan pendidikan secara Islam, yaitu menghendaki terwujudnya nilai-nilai Islami dalam kepribadian anak didik, yaitu keislaman, keimanan dan ketqwaan. (Dari Akhlak Pesantren, Tamyiz Burhanudin, 2001)
Pesantren Menjadi Alternatif
Tidak dapat dipungkiri Pesantren yang merupakan tempat pengkaijan Islam dan dakwah, juga memiliki peran penting dalam pendidikan akhlak. Media pendidikan yang tidak sekedar memberikan sebuah pemahaman tentang kebaikan sikap kepada sesama, melainkan juga kepada Tuhan, lingkungan dan diri sendiri. Pesantren masih menjanjikan bahwa anak didik akan mendapatkan pemahaman agama secara mendalam, baik secara keilmuan maupun pengamalannya, mengingat hingga saat ini pesantren merupakan lembaga pengkajian Islam yang masih solid keberadaannya. Lingkungan di Pesantren memberikan jaminan pada lingkungan yang sangat agamis serta terbebas dari pengaruh pergaulan dan budaya-budaya yang merusak moral. Pada kenyataannya juga, Pesantren telah membuktikan mampu merubah perangai seseorang dari yang sebelumnya kurang baik menjadi manusia yang sholeh dan sholihah setelah mendapat pendidikan di lingkungan pesantren. Di era global yang berlangsung saat ini, anak didik sangat rentan dengan pengaruh-pengaruh budaya dan pada gilirannya akan merusak moral bangsa. Dibutuhkan sistem pendidikan serta sarana pendidikan yang mampu membekali dengan benteng pendidikan moral dan akhlak bagi anak didiknya, sebagaimana yang telah dilaksanakan secara turun temurun di lingkungan pesantren. Menjadikan perenungan kita bersama, ketika sistem pendidikan nasional yang kita harapkan ternyata belum mampu menghasilkan anak didik yang berkualitas baik dari sisi keilmuan maupun sisi mentalitas di tengah gencarnya serangan globalisasi yang tidak dapat kita bendung lagi.
Pendidikan yang mengabaikan segi individual manusia dikhawatirkan menimbulkan gejala penyemarataan dan hilangnya hak-hak asasi manusia. Sebaliknya pendidikan yang mengabaikan segi sosial kemanusiaan akan melahirkan individu yang egositik dan tidak perduli terhadap kehidupan sesama. Jika pendidikan tidak mengindahan norma susila, maka tata susila dan budaya luhur akan terjungkir balik tanpa aturan nilai.
0 comments:
Post a Comment