Meningkatnya jumlah korban trafficking dari tahun ketahun membuat resah. Berdasarkan hasil survei di Provinsi jawa timur dalam satu tahun terakhir tahun 2006, jumlah kasus child trafficking anak meningkat 300 %. Jika pada tahun 2005 jumlah kasus child trafficking hanya 28.892 kasus, pada 2006 melonjak 86.676 kasus. (Jawa Pos, 24 Januari 2007). Angka peningkatan kekerasan yang merisaukan. Penyebab maraknya kasus trafficking, disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi miskin, budaya patriarkhis seperti budaya pemaksaan menikah dini, pembatasan akses bagi anak dan perempuan dan keinginan orang tua yang menginginkan anaknya secepatnya bekerja tanpa dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai.
Di lain pihak, para calo secara gencar mendatangi penduduk miskin untuk membujuk dan merayu para orang tua dan anak-anak untuk bekerja di kota atu di luar negeri. Anak-anak di rekrut melalui calo melalui pendekatan dor to dor dari rumah ke rumah di pedesaan dan pegunungan. Para calo menjanjikan penempatan kerja ke kota, bergaji tinggi dan hidup mewah. Berbagai tipu daya dilakukan guna mengajak dan merayu anak-anak desa untuk bekerja di lain tempat. Para calo memindahkan anak-anak desa ke kota atau ke luar negeri dengan cara ilegal melalui jaringan kejahatan. Setiap hari ratusan anak-anak dikirim ke luar negeri. Terkadang anak-anak di sekap terlebih dahulu, atau di jual ke orang-orang jahat. Persoalan trafficking sangat meresahkan. Anak-anak desa di jual dan dijadikan pelacur. Sebagian lagi di jual sebagai pekerja-pekerja yang mengeksploitasi mereka. Anak-anak dipekerjakan sebagai pengedar narkotika dan terjun di bisnis prostitusi. Ancaman penyakit menular seperti PMS, HIV/AIDS serta kecanduan narkoba mengintai anak-anak pekerja seks setiap waktu. Ancaman kehamilan yang tidak diinginkan bagi anak-anak perempuan yang bekerja di prostitusi menanggung konsekwensi pada kesakitan reproduksi mereka. Resiko kegagalan KB dan akibat yang ditanggung anak-anak perempuan jauh lebih berat. Ironinya, anak-anak perempuan belum tentu mendapatkan invormasi yang benar tentang kesehatan tubuhnya, tapi dipihak lain, bahaya penyakit dihadapan mata anak-anak korban trafficking. Anak-anak korban trafficking rentan dengan gangguan kesehatan mental. Anak-anak umumnya merasa sedih, trauma, depresi, putus asa, dan berkeinginan bunuh diri. Anak-anak merasa ketakutan dan dihantui oleh kekerasan yang telah mereka alami selama ditempat penyekapan atau di tempat kerja. Anak-anak kurang bahagia dan menjalani kehidupan dibawah ancaman majikan mereka. Pada kasus vonis mati yang menimpa para TKI di luar negeri, disebabkan karena perilaku agresif para TKI dipicu oleh tindak kekerasan secara terus menerus dari majikan. Perilaku agresif tersebut disebabkan oleh kemarahan, ketakutan, kehilangan kontrol diri saat bahaya mengancam hidup mereka. Untuk menekan angka kekerasan trafficking, pesantren menjadi alternatif sebagai tempat aman mencegah dan mengobati korban trafficking. Bagaimana kiprah pesantren sebagai shelter yang aman bagi korban kekerasan trafficking? Pesantren sebagai CBO (Community Based Organization)
Sebagai CBO, pesantren selayaknya melebarkan kiprahnya dalam upaya penanganan masalah sosial-kemasyarakatan. Pesantren bisa menjadi tempat yang aman bagi korban kekerasan. Pesantren terbukti memilki kedekatan emosional dan akar historis dengan warga setempat. Pesantren adalah pusat kegiatan masyarakat dan belajar bagi anak-anak. Sekolah-sekolah berbasis pesantren telah berafiliasi dengan keislaman tumbuh kembang sebagai kultur masyarakat pedesaan. Pesantren tumbuh bersama kebutuhan masyarakat dan melekat dengan atribut budaya setempat. Pesantren dalam perkembangannya banyak menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk memecahkan persoalan hidup mereka. Pesantren di pimpin oleh kiai yang memilki kedekatan dengan masyarakat sekitar. Dengan demikian akan mudah bagi pesantren menggerakkan masyarakat untuk mencegah terjadi trafficking di masyarakat sekitarnya. Karakteristik masyarakat pedesaan mengakui kiai sebagai panutan, akan memudahkan pesantren menginformasikan dampak-dampak kekerasan trafficking, modus dan operasional organisasi kejahatan kemanusiaan yang menjual anak-anak dari pedesaan dan terbelakang. Pesantren yang eksis mampu menyelamatkan anak-anak yang terperangkap dalam trafficking. PUAN (pesantren untuk anak-anak dan perempuan) merupakan salah satu gerakan pesantren yang di gagas oleh Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Organisasi PUAN AMAL HAYATI berbasis pondok pesantren yang berjejaring dari berbagai pesantren di Indonesia. PUAN sebagai salah satu model alternatif bagi pemberdayaan anak dan perempuan agar terlindung dari kejahatan trafficking. PUAN memilki shelter aman bagi para korban kekerasan. Corak dari gerakan PUAN adalah pusat pengaduan masyarakat akan terjadinya kekerasan yang ditemui di masyarakat dan keluarga, kemudian dirujuk oleh pesantren ke instansi terkait mengatasi kasus kekerasan tersebut. Pesantren perlu membuka shelter yang aman. Bagaimana menggagas agar pesantren aman bagi korban trafficking ? pesantren perlu melakukan terobosan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Pesantren sebagai pusat invormasi dan pengaduan korban, Pesantren perlu melakukan kerja sama dengan pihak terkait, dan pesantren perlu membuka klinik dan konseling untuk mengobati tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan. Pertama, Pesantren perlu memiliki kepekaan atau sensivitas untuk menanganai trafficking sebagai agenda sehari-hari. Pihak pesantren concern untuk menginformasikan secara intensif ke masyarakat tentang modus trafficking berdasarkan fakta yang terjadi. Pihak pesantren yang diwakili oleh para pendidik, tokoh kiai, dan para santri senior memberi rasa aman bagi masyarakat. Jika pesantren memperoleh trust (kepercayaan) dari masyarakat sekitar, mudah bagi pesantren menginvormasikan dan mensosialisasikan bahaya trafficking ke masyarakat melalui media pengajian, dakwah, dan beragam acara keagamaan sosial. Masyarakat pesantren perlu terlibat dalam dinamika masyarakat, menunjukkan fakta-fakta operandi trafficking, dan waspada dari bahaya trafficking mengancam masyarakat miskin, patriarkhis, dan perimordial. Kedua, Pesantren perlu melakukan kerja sama dengan pemerintah, para psikolog, dan aparat kepolisian, pengadilan dan pekerja sosial untuk membantu para korban memperoleh bantuan. Pesantren tidak bisa bekerja sendirian untuk mengatasi kekerasan trafficking, karena terkait dengan persoalan hukum, penyidikan dan rasa keadilan. Untuk itulah, pesantren menjadi mitra bagi pihak rumah sakit untuk menjadi rujukan bagi korban memperoleh pengobatan akaibat kekerasan yang dihadapi dai tempat kerja, atau di rumah dan di jalanan. Ketiga, Agar pesantren mampu memulihkan rasa sakit korban, maka pesantren perlu membangun klinik dan konseling sebagai wadah pertolongan pertama terhadap korban kekerasan. Korban memerlukan rasa aman dari pihak-pihak yang akan mengeksploitasi kekerasan mereka. Pesantren perlu mengadakan pelatihan bagi santri-santri senior agar menjadi pendamping korban. Pelatihan sebagai pendamping korban kekerasan dilatihkan oleh ahli konseling, psikolog atau dokter yang berkompeten mengatasi kasus kekerasan. Para pendamping nantinya akan mendampingi korban menjalani hidup di pesantren, seperti, pemulihan dari rasa putus asa, meningkatkan rasa percaya diri, menerima kenyataan dan belajar berbagai keterampilan sosial. Pada akhirnya, upaya untuk meredam impulsif anak-anak dan perempuan dari bujuk rayu calo trafficking dengan cara menguatkan pendidikan melalui sekolah, pesantren dan pengajian. Pendidikan akan menuntun anak dengan sendirinya memilih dan memutuskan mana langkah yang terbaik bagi kehidupan mereka. Dengan pendidikan tinggi, anak semakin bijak dan arif serta mampu menolak apa yang membahayakan bagi hidup mereka. Pendidikan menuntun anak meraih cahaya terang dari Allah SWT. Setiap anak yang diasah dengan pendidikan, makin merasakan hidupnya berarti dan bermanfaat bagi diri, keluarga dan orang lain.
0 comments:
Post a Comment