PERAN politik kaum perempuan masih sangat kurang. Kendala utama disebabkan oleh laki-laki dan perempuan dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan. Bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki sangat kuat. Terlebih di pedesaan. Label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun temurun… baca selengkapnya….
Perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas dua yang seharusnya di rumah dan dininabobokkan dengan konsumerisme, hidonisme dalam cengkeraman kapitalisme. Perempuan lemah tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan karena patron membentuk perempuan sangat tendensius mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Persepsi negative tersebut dilekatkan pada perempuan sendiri telah terstruktur sedemikian rupa dibenak kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Pembongkaran budaya patriarkhal men-jugment perempuan membuat mitos sangat luar biasa kuat. Pemberdayaan perempuan terbentur dinding sangat kokoh dari interpretasi perempuan tinjauan politik, agama, social. Perempuan sebenarnya mempunyai otonomi mutlak tentang dirinya. Sebagai manusia mempunyai kedudukan setara membawa kepemimpinan di muka bumi. Perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara dalam mengatur kesejahteraan manusia. Telah terjadi kesenjangan antara gagasan keadilan yang mendudukkan perempuan dengan laki-laki setara, namun realitas terjadi perempuan masih terkungkung oleh tidak adanya ruang kesempatan memadai mengaktualisasikan perannya.
Wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kouta 30%, masih menjadi wacana kontroversi. Banyak kalangan perempuan sendiri menolak dengan alasan membatasi langkah perempuan, ditinjau dengan hitungan statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut wacana tersebut dengan langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam langgam politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12% saja yang berkiprah dalam ruang sidang di Senayan. Sepintas dicermati, permintaan kouta 30% untuk perempuan di parlemen memang bernuansa pembatasan peran. Namun menilik sejarah dan realitas peran perempuan yang hanya 12% diparlemen menunjukkan kemajuan pola berpikir dan gerakan yang progresif. Teriakan untuk menggagas peran perempuan dalam pembangunan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perlu dilakukan secara bertahap dan terus menerus mengoreksi peran bersama yang telah diusung oleh manusia dalam konteks persamaan derajat dan pemberian ruang bebas bagi aktualisasi manusia. Perempuan sebagai manusia mempunyai tugas kemanusiaan tentu secara wacana mereduksi jumlah pembatasan. Namun permintaan kouta 30% sebenarnya merupakan langkah maju secara berani menaikkan posisi tawar lebih realistis dari manipulasi patriarkhi. Dari realitas itulah, gagasan menambah kouta perempuan dari 12% hasil pemilu 1997 bertambah menjadi 30% pada 2004. Sebuah perbandingan cukup realistis untuk disetujui anggota parlemen menetapkan undang-undang.
Pemberdayaan perempuan perlu diberikan ruang nyata menebarkan potensi berserakan di pinggiran kekuasaan. Alih-alih menggapai jumlah 30% perempuan di parlemen, peraturan saja ditolak sebagian anggota DPR, berdalih pembatasan peran perempuan dari jenis kelamin. Ironis memang, di satu sisi ingin mengakui persamaan peran antara laki-laki dan perempuan, namun dalam praksisnya, ruang itu dikunci rapat bagi perempuan.
Tuntutan para anggota lembaga swadaya masyarakat soal adanya kuota terhadap anggota parlemen bagi kaum perempuan Indonesia. Itu boleh-boleh saja, tetapi harus dibarengi dengan kemampuan perempuan. Kalau sudah mendapat kuota cukup banyak tetapi yang duduk di situ tidak bisa mewakili atau tidak bisa menunjukkan kemampuan mereka, itu justru bisa membuat bumerang bagi masyarakat.
Keterlibatan Megawati berjenis kelamin perempuan sebagai Presiden RI, dan tidak mampu mewarnai percaturan politik Indonesia justru menjadi controversial di masyarakat. Sosok kepemimpinannya seakan belum mewakili keseluruhan perempuan mendapatkan penghidupan yang layak dari sektor publik
Pertautan antara ide dan realitas mesti menjadi pijakan dalam memperjuangkan ide persamaan (egaliter) dalam segala bidang. Akses yang sama dalam bidang politik tentu menjadi cita-cita yang masih di atas langit biru dan tak berpijak pada bumi. Dalam realitas empirik, ketimpangan perempuan dan laki-laki sangat terasa di masyarakat. Dalam struktur keluarga sebagai unit terkecil, keputusan penting masih banyak dimainkan oleh ayah sebagai simbol pemimpin rumah tangga. Budaya mengakar dalam masyarakat tidak dapat serta merta dilawan secara radikal dengan menjungkirbalikkan budaya dominan. Aneh bin ajaib, manusia yang terlahir dari rahim perempuan, namun peran perempuan dikebiri sedemikian dasyat untuk kepentingan patriakhi. Realitas terlalu kuat dan berakar lama mendominasi. Akibatnya upaya melapangkan kesetaraan dan persamaan hak terpental dan semakin menyingkirkan kaum perempuan yang dilemahkan oleh sistem.
Peran politik perempuan dalam dunia politik seakan beraneka ragam. Wilayah cakupan politik yang mampu dimainkan masih sebatas wacana dalam diskusi dan pelatihan. Dalam pergumulan politik, sebenarnya perempuan bisa menembus apa saja dengan kualitas yang dimilikinya. Ia mampu menjadi pemimpin dari tingkat kepala desa sampai presiden dan wilayah publik yang signifikan. Namun harapan itu sangat jauh dari kenyataan dilapangan. Perempuan banyak yang ditolak oleh komunitasnya sendiri ketika ingin berperan lebih. Banyak kalangan perempuan yang tidak siap dan mendukung ketika sesame perempuan maju bersaing dalam sebuah ranah politik. Ketiadaan dukungan dari sebagian perempuan tentu didasari oleh stigma dimasyarakat yang menilai perempuan cukup jadi makmum saja. Sehingga kesempatan tersebut kandas dan dimainkan oleh laki-laki kembali. Pertarungan di wilayah politik memang penuh intrik antara siapa mempengaruhi siapa. Persoalan pengaruh inilah yang harus digalang dari solidaritas kaum perempuan untuk memberi kepercayaan kepada para perempuan yang berkualitas dalam bidangnya. Pembelaan dari sesama kaum perempuan perlu menjadi cetak biru jika ingin manabrak budaya yang mendominasi.
Kesiapan perempuan untuk maju secara berani mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidu pnya dan kebaikan masyarakatnya penting diartikulasikan. Penguatan sipil sebagai bangunan kokoh suatu tatanan negara selayaknya menjadi konsen para aktivis perempuan untuk mendampingi kalangan perempuan yang tertinggal. Karena kita tidak mungkin maju sendirian, sementara para perempuan yang lain masih tertinggal pengetahuannya dan terbelenggu oleh mitosnya sendiri yang membelenggu kiprahnya dibidang politik. Perjuangan Kartini masih tetap relevan dengan situasi masa kini. Karena pada intinya, perjuangan Kartini adalah perjuangan pembebasan atas ketertindasan melalui pendidikan dan pengajaran. Perjuangan Kartini, yang sudah berumur satu abad lebih. Tetapi, masih kita saksikan banyak perempuan terpuruk karena terbatasnya perolehan mereka di bidang pendidikan. Terbatasnya modal pendidikan itu membuat terbatasnya lapangan kerja bagi mereka dan ini menimbulkan rentannya wanita terhadap kekerasan dan penindasan,
Kemauan politik perempuan sangat starategis menjangkau pembalikan kekuasaan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Jumlah kalangan perempuan yang mencapai 50 % dalam pemilihan umum akan melandasi gerakan kaum perempuan dan menjadi diktum pembebasan selanjutnya. Bias mitos yang merasuk dalam tubuh perempuan yang irrasional belief akan ikut hanyat dengan realitas yang setara dan berkiprah sejajar dalam dunia politik. Cara pandang yang rasional dan mengutamakan nilai keadilan akan mampu mendorong keterlibatan perempuan lebih luas didunia publik. Tidak saja perempuan yang akan menikmati kemajuan ini, namun juga para kaum laki-laki menjadi lebih bijak dalam membagi tugas dalam bermitra kerja dengan perempuan dalam memutuskan kebijakan masyarakat luas.
Pembongkaran wacana keislaman yang klasik perlu terus dikritisi untuk menuai ajaran yang sejatinya berpihak pada pembebasan dari penindasan. Peran Siti Aisyah dalam menunjukkan hadis-hadis yang sangat berpihak kepada perempuan perlu diambil untuk meng-counter dari kalangan pemikir Islam yang sangat strict kepada pembebasan perempuan didunia politik. Pelarangan perempuan untuk keluar rumah, atau menjadi pemimpin suatu negara menjadi wacana yang harus terus dikritisi sesuai dengan kontekstualisasi di Indonesia. Emasipasi Perempuan harus disesuaikan dengan adat istiadat Indonesia, kebudayaan serta kodrat antara pria dan wanita. Wanita dan pria punya tempat dan tugas sendiri dalam kehidupan ini, bukan disalahartikan bahwa kedudukan yang satu di atas yang lain. Keduanya harus saling melengkapi dan saling mengisi kekurangan masing-masing supaya makin sempurna. Dengan kata lain keduanya saling membutuhkan untuk saling melengkapi.
Walaupun demikian, bukan berarti pembebasan yang kebablasan tanpa mengikuti budaya Indonesia. Kebebasan tersebut dimaksud, bukanlah kebebasan pergaulan yang seperti kita lihat saat ini yaitu seperti mabuk-mabukan, menghisap ganja, main judi, menjadi WTS, atau mengedarkan ekstasi, tetapi kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang masih dibatasi oleh norma agama dan adat ketimuran yang santun dan mengutamakan kebaikan bagi komunitas masyarakatnya. Pembebasan tetap diteriakkan berlanggam dengan berlandaskan moral etik yang penuh kebaikan dan nilai-nilai kasih dan sayang sesama manusia. Islam sesungguhnya dihadirkan untuk membawa perdamaian bagi manusia. Maka dalam membagi peran politik antara laki-laki dan perempuan akan menjadi mitra sejajar yang saling mengokohkan bangunan bangsa yang telah rapuh ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment