Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Pilih aqidah Salafi atau Khalafi?

Siapa yang disebut Salafi dan siapa pula yang tergolong Khalafi?. Secara bahasa, kedua istilah di atas dapat diartikan dengan yang disebut pertama adalah generasi awal Islam sedang yang kedua adalah generasi yang kemudian. Bagaimana dan kapan munculnya kedua istilah tadi kita tidak bicarakan di sini. Tapi secara garis besar menurut pemahaman yang umum Salafi maupun Khalafi termasuk pada "Ahlussunnah" (Sunni), sebuah kelompok besar Islam di dunia saat ini selain Syiah. Tokoh Salafi yang amat dikenal adalah Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah, sementara dari Khalafi adalah Asy'ari dan Maturidi.

Pertentangan keduanya dalam masalah aqidah antara lain adalah:
1. Posisi wahyu, akal dan intuisi sebagai sumber pengetahuan agama.
2. Pemakaian Ta'wil dalam ayat-ayat mutasyabihat
3. Penolakan Tajsim atau Anthropomorfic qualites.
4. Apakah kalamullah baharu atau kekal.
5. Ada atau tidaknya sifat-sifat Tuhan.
6. Tuhan dapat dilihat atau tidak.

Saya tidak akan berpanjang-panjang dengan masalah pertentangan keduanya. Yang menarik dari fenomena adanya dua golongan ini adalah pertanyaan seperti yang tertulis dalam judul di atas, "Pilih Salafi atau Khalafi?". Pertanyaan ini datang dari seorang mahasiswa pada dosennya ketika belajar tentang mazhab-mazhab aqidah pada mata kuliah ilmu kalam. Lebih detailnya pertanyaan mahasiswa tersebut kira-kira seperti berikut ini, "Pak, bagaimana kita menyikapi perbedaan pemikiran yang menyangkut dengan aqidah?. Kalau mereka berbeda dalam furu'(fiqih) mungkin tidak ada masalah. Tapi mereka berbeda dalam masalah yang berkaitan dengan aqidah. Kita harus ikut yang mana?. Kalau salah pilih berarti aqidah kita salah. Sedangkan aqidah itu kan udah masalah pokok, bukan furu' lagi".

Membingungkan memang, bila kita berpatokan bahwa masalah fiqih adalah furu'iyah dan aqidah adalah asasiyah. Pemahaman mahasiswa tadi tentang fiqih tentu keliru karena fiqih ternyata tak sesederhana yang dia bayangkan. Fiqih juga mencakupi masalah tauhid yang disebut dengan istilah "Fiqih Akbar". Sedangkan masalah aqidah tidak semuanya adalah masalah pokok. Yang dipertentangkan antara salafi dan khalafi memang menyangkut masalah aqidah tapi bukan hal yang pokok. Masalah yang pokok adalah pernyataan bahwa Tuhan hanya ada satu (baik salaf maupun khalaf percaya pada satu Tuhan) dan Nabi muhammad adalah utusannya. dalam hal itulah umat Islam tidak boleh berbeda.

Perbedaan mazhab dalam Islam, baik mazhab aqidah, fiqih, politik, tidak mengeluarkan umat Islam dari ranah aqidah, hukum dan politik Islam. Perbedaan dalam menjabarkan nash yang memungkin untuk berbeda arti memang tidak bisa dihindari dan sudah wajar terjadi. Kita memang harus menganggapnya sebagai sebuah rahmat.

Nash-nash tersebut ada yang qat'i dilalah dan ada yang zhanni dilalah. Nash yang zanni memang berpotensi untuk dipertentangkan dan itu sah-sah saja selama tidak ada dalil yang jelas tentang itu. Hal-hal yang dipertentangkan oleh salaf dan khalaf adalah zhanni, walaupun itu menyangkut aqidah. Contoh nash yang termasuk qath'i dilalah adalah "Qul huwallahu ahad". Tidak ada pertentangan dalam nash tersebut karena tidak mempunyai penafsiran lain. Sementara ayat-ayat mutasaybihat semuanya masuk dalam zhanni dilalah karena mempunyai kemungkinan penafsiran yang berbeda-beda, dan berbeda dalam memahami nash yang zhanni dilalah tidak lantas membuat seseorang keluar dari Islam.

read more

MENGHORMATI PENGUASA


Selepas maghrib, seperti biasa kami duduk – duduk di serambi masjid sambil menunggu waktu Isya’ tiba. Sambil duduk – duduk itu biasanya ustadz Abdulloh akan memberikan tambahan ilmu agama kepada kami. Topiknya berganti – ganti. Sesuai dengan kondisi yang ada saat itu. Terkadang ustad Abdulloh menjawab pertanyaan dari kami dan jawaban dari pertanyaan itu terus berkembang bahkan sampai keesokan harinya. Kadang kami membahas berita di televisi dan surat kabar dan ustadz akan mengaitkannya dengan ilmu agama Islam.
Seperti petang ini. Ketika kami duduk – duduk, tiba – tiba dua orang berbicara keras di samping kami. Mereka sedang mencela pemerintah yang menurut mereka tidak sesuai dengan keinginan mereka sebagai rakyat.
Ustadz Abdulloh tidak tinggal diam. Beliau berdiri dan mendekati kedua orang itu. Setelah mengucapkan salam, beliau menanyakan topik pembicaraan mereka barusan. Kembali mereka mengatakan ketidak puasan mereka kepada pemerintah dengan nada mencela.
“Bapak – bapak, tahukah anda berdua bahwa Islam sangat memuliakan penguasa? Umat Islam dilarang untuk mencela, menghina dan merendahkan penguasa. Pernahkah bapak – bapak mendengar hadits ini: “Para penguasa adalah naungan Alloh di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakan penguasa, Alloh akan memuliakannya. Barangsiapa yang menghina penguasa, Alloh akan hinakan dia”. (HR. Baihaqi 17/6, as sunnah ibnu Abi Ashim 2/698.)
“Tapi bagaimana kalau penguasa merugikan kami?”, Kata mereka.
Ustadz Abdulloh terdiam sebentar.

read more

Pilih Jabbariyah, Mu'tazilah atau Asy'ariyah?

Berkenaan dengan "Takdir" Jabbariyah berkeyakinan bahwa takdir manusia sudah ditentukan Tuhan. Manusia tidak mempunyai daya untuk merubah nasibnya. Seseorang melakukan kejahatan bukan karena dirinya melainkan sudah keinginan Tuhan. Keyakinan seperti ini berimplikasi pada peniadaan pahala dan dosa, karenanya surga dan neraka tentu juga jadi tak berguna. Sebaliknya Qadariyah memahami bahwa "Takdir" adalah hasil upaya manusia sendiri. Pemahaman yang sama juga dianut oleh Mu'tazilah. Karena Tuhan itu adil maka tak mungkin Dia menjadikan manusia jahat lalu kemudian menghukumnya. Kejahatan manusia adalah upaya manusia sendiri hingga ia pantas untuk dihukum. Asy'ariyah menolak pemahaman Mu'tazilah dengan menawarkan jalan tengah. Menurut aliran ini "Takdir" manusia sudah ditentukan Tuhan namun aliran ini mempunyai teori kasab, di mana manusia bisa melakukan ikhtiar untuk merubah nasibnya. Sehingga seorang Asy'ariyah akan menjadi Mu'tazilah disaat dia berupaya melakukan sesuatu dan mengambil posisi Jabbariyah ketika mendapatkan hasil usahanya.


Jabbariyah dituduh sebagai "biang kerok" kemunduran Islam. Karena dengan memakai pemahaman Jabbariyah seseorang tidak akan mau berusaha karena apa pun usahanya semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan sehingga usahanya hanya sia-sia belaka. Bagi sementara orang, Mu'tazilah cukup berjasa bagi kemajuan umat Islam, karena dengan pemahaman itu lah manusia akan berusaha melakukan yang terbaik demi kepentingannya di dunia maupun akhirat. Pujian serupa juga sempat keluar dari seorang imam Asy'ari pendiri aliran Asy'ariyah dengan mengatakan bahwa Mu'tazilah telah berjasa pada agama Islam karena telah menyelamatkan pemikiran Islam dari rongrongan filsafat Yunani. Akan tetapi di lain tempat Asy'ari menolak faham Mu'tazilah. Dengan melemparkan sebuah batu beliau mengatakan bahwa saya sudah membuang faham Mu'tazilah dari diri saya sebagaimana saya membuang batu ini. dari sini terlihat bahwa Asy'ari mengalami kebingungan antara pilihan untuk mengadopsi Jabbariyah atau Mu'tazilah. Kebingungan ini juga nampak dari teori "jalan tengah"nya yang sulit dicerna akal.

Secara psikologis sebenarnya pilihan untuk memakai faham Jabbariyah lebih selamat. Di saat seseorang mengalami kegagalan dia tidak akan menyesali dirinya melainkan bisa menerimanya karena sudah ketentuan dari Tuhan. Sementara seorang Mu'tazilah akan mengalami depresi karena menyalahkan dirinya ketika dia mengalami kegagalan. Mengenai kecenderungan untuk maju atau mundur, tak diragukan lagi bahwa Mu'tazilah lebih cenderung untuk maju, walaupun berisiko jantungan atau stroke bila gagal, karena "golongan karya" ini lebih senang memakai otaknya dan tidak akan menunggu takdir untuk mencapai sesuatu. Lalu apakah Jabbariyah cenderung mundur karena dia hidup berangkat dari pemahaman bahwa semuanya sudah ditentukan Tuhan?. Hal ini masih perlu dipertanyakan, karena beranggapan bahwa takdir sudah ditentukan Tuhan tidak menunjukkan bahwa si empunya faham tidak akan berusaha. Atau dengan kata lain kita tidak bisa menuduh seseorang tidak akan melakukan usaha apa-apa kalau dia berkayakinan bahwa takdir di tangan Tuhan. Tidak mungkin kah seorang Jabbariyah melakukan suatu usaha karena sebuah perintah Tuhan untuk berusaha?, tanpa harus mengharapkan hasil dari usahanya, karena hasilnya memang sudah ditentukan oleh Tuhan.

Mungkin kita bisa membuat sebuah perumpamaan seperti berikut ini. Seorang Mu'tazilah belajar untuk mencapai pintar (untuk kepentingan dirinya), dan bila gagal dia akan menyalahkan dirinya. Seorang Asy'ariyah belajar untuk mencapai pintar (untuk kepentingan dirinya), dan bila gagal dia pasrah pada Tuhan. Seorang Jabbariyah belajar karena dia diperintahkan untuk belajar (untuk kepentingan Tuhan), tentunya dia tak peduli bagaimana hasilnya nanti karena hasil sudah ditentukan Tuhan sebelumnya.

Kalau lah benar ketiga golongan itu seperti yang digambarkan di atas, lalu anda pilih pro siapa?. Atau anda sama seperti beberapa teman saya yang pilih "golput" lalu dengan pemikiran yang sederhana memahami ayat Quran apa adanya tanpa harus membuat kesimpulan-kesimpulan. Yang bisa diartikan bahwa anda percaya Takdir di tangan Tuhan, di lain waktu percaya bahwa sebuah kaum tidak akan dirubah Tuhan kalau kaum itu sendiri tidak membuat perubahan.



read more