Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

IMPLEMENTASI STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PESANTREN

BAB I PENDAHULUAN

Konsep pemikiran dan operasionalisasi menejemen pendidikan terpadu akan banyak ditentukan oleh tujuan dan arah keterpaduan, yang menyatakan bahwa arah pendidikan di Pondok Pesantren saat ini adalah dalam pembinaan IMTAQ, IPTEK dan Skill fungsional atas dasar kebutuhan. Keterpaduan akan ditekankan dalam menata manajemen dan implementasinya yang untuk saat ini harus dimiliki oleh lembaga pendidikan pesantren dengan strategi pengembangan pendidikan yang telah dirumuskan.

Atas dasar beberapa pemikiran di atas, pembahasan kita berfokus pada masalah Implementasi dari stategi pendidikan pesantren. Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan, maupun nilai, dan sikap.[1]

Pada akhirnya akan membentuk pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok serta, sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan.

Di samping itu, sistem pendidikan pesantren melestarikan ciri-ciri khas dalam interaksi sosialnya, yaitu: 1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan Kyai serta taat dan hormatnya para santri kepada Kyai yang merupakan figur kharismatik dan menjadi contoh yang baik; 2) Semangat menolong diri sendiri dan mencintai diri sendiri dengan kewiraswastaannya; 3) Jiwa dan sikap tolong-menolong, kesetiakawanan, dan suasana kebersamaan dan persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren; 4) Disiplin waktu dalam melaksanakan pendidikan dan beribadah; 5) Hidup hemat dan sederhana; 6) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan, seperti tirakat, shalat tahajud diwaktu malam, i’tikaf di masjid untuk merenungkan kebesaran dan kesucian Allah SWT) Merintis sikap jujur dalam setiap ucapan dan perbuatan.


BAB II PEMBAHASAN


A. Pengembangan progam


Ketika arus global sudah merambah masyarakat secara menyeluruh, pendidikan pesantren dituntut menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap, sehingga saat ini banyak pesantren selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.[2]

Dalam pengembangan program pendidikan di pesantren ada hal-hal yang harus di perhatikan oleh pengelola pesantren, yaitu, munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para ustadz pembimbing.

Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para ustadz. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua sebagaimana pesantren.[3]

Pengembangan progam pendidikan meliputi program jangka pendek. Tahun ke-1 sampai ke-3, menengah. Tahun ke-4 sampai ke-6, dan jangka panjang. Tahun ke-7 sampai ke-10. dalam implementasinya program tersebut bisa di jelaskan sebagai berikut:

1. Kurikulum

a) Jangka pendek. Yaitu, Penerapan kurikulum dengan prosentase yang proposional, yaitu 80 persen disusun oleh pusat, dan 20 persen di susun di tingkat daerah atau disesuaikan dengan muatan lokal.

b) Jangka menengah. Yaitu pesantren atau sekolah memiliki kelenturan dalam menentukan waktu serta pesantren bisa merubah beberapa pelajaran yang diangap penting

c) Jangka panjang. Yaitu pembentukan standart inti kompetisi untuk menjaga kualitas pendidikan dan menngfokuskan semua pelajaran untuk menjaga kesatuan bangsa dan negara

2. sarana dan prasarana.

a) Pengadaan sarana dan prasarana ditentukan dengan kebutuhan yang ada di pesantren atas kerjasama antara pesantren dan pemerintah, baik pusat maupun daerah

3. tenaga pendidikan.

a) kepala sekolah atau pengelola pesantren

Ø pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip kependidikan secara umum secara bertahap.

Ø Memiliki keluasan dalam pengelolaan manajemen pesantren.

Ø Memiliki kemandirian serta kebijakan yang luas, jauh dari intervensi

b) ustadz atau asatidz

Ø seleksi yang disesuaikan dengan kemampuan ustadz yang mengikuti standart pemerintah dan pesantren

Ø pengangkatan dan penempatan

Ø penghargaan

c) pengawas atau komite pesantren

Ø pelatihan-pelatihan tentang prinsip-prinsip pendidikan dan kepengawasan

Ø menumbuhkan profesionalitas pengawasan[4]

B. Pengembangan Anggaran


Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas 2003. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.[5]

Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Dalam implementasi angaran pesantren hal yang paling mendasar adalah memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

a) Dana pembangunan, pengeluaran dana ini diatur dan digunakan untuk pembangunan dan pembenahan sarana fisik lembaga, dana ini di sesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah ustadz serta peserta didik yang ada di lembaga pendidikan tersebut.[6]

b) Dana rutin, dana rutin adalah dana yang digunakan untuk biaya operasional satu tahun anggaran. Dana rutin pengunaanya meliputi pelaksanaan progam belajar mengajar, pembayaran gaji ustadz maupun personil, serta pemeliharaan dan perawatan sarana prasarana lembaga pendidikan.

Dari kedua prinsip ini dapat di jabarkan sebagai berikut:
Membangun unit belajar/ruang kelas baru berikut sarana – prasarananya termasuk sarana olahraga, yang ditempuh baik melalui anggaran pemerintah (pusat dan daerah) maupun melalui pemberdayaan pertisipasi masyarakat dengan pengelolaan yang efisien dan kontrol yang semakin ketat.
Mengembangkan model –model alternatif layanan pendidikan yang efisien dan relevan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung, baik kerena persoalan ketidakmampuan biaya maupun persoalan konflik sosial politik, untuk selanjutya dioperasionalkan oleh pengelola pendidikan daerah.
Memberikan beasiswa kepada keluarga miskin dan kepada siswa yang berprestasi dan bagi siswa yang secara sosial ekonomis tidak beruntung, yang bersumber dari pemerintah dan/atau masyarakat dengan memperhatikan prinsip pemberdayaan, kesempatan, pemerataan dan keadilan.
berkerjasama denga lembaga-lembaga lain. Baik negeri maupun swasta dalam bentuk imbal swadaya, sehingga lebih berdaya dalam mengelola pendidikan serta memacu partisipasi yang semakin meluas dari instansi lainnya.[7]

C. Prosedur

Dalam implementasinya pengembangan pendidikan pesantren harus mengacu pada UU yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.

Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.

Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

untuk sampai pada kemampuan mengatur penyelenggaraan dan pendidikan dengan baik di setiap satuan pendidikan tidak terkecuali pesantren diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ” capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur . Ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk kegiatan tersebut . Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap tersebut adalah, Tahap Pra format, ialah tahap dimana satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya. Tahap Formalitas, ialah pesantren yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi ustadz, juimlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta jumlah kualitas pendidikan lainnya. Dengan capasity building pesantren dapat meningkatkan kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transisional. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah umum yang telah ada dan dikorelasikan dengan pendidikan pesantren, terutama menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah. Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan kreativitan ustadz , pendayagunaan perpustakaan, sekolah secara optimal.Tahap otonomi, pada tahap ini dapat dikatakan pesantren sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu. Satuan pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.[8] Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:

1. Melaksanakan program menjadi merumuskan/melaksanakan program.

2. Keputusan terpusat menjadi keputusan bersama/partisipatif.

3. Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak fleksibel.

4. Sentralistik menjadi desentralistik.

5. Individual menjadi kerjasama

6. Basis birokratik menjadi basis profesional

7. Diatur menjadi mandiri

8. Malregulasi menjadi deregulasi

9. Informasi terbatas menjadi informasi terbuka

10. Boros menjadi efisien

11. Pendelegasian menjadi pemberdayaan

12. Organisasi vertical menjadi organisasi horizontal


D. Studi Kasus


studi kasus ini dilakukan di Pondok Pesantren Putra-Putri an-Nahdliyah di jalan raya karangploso, kepuharjo Malang. Bentuk dari pesantren ini adalah pesantren kholaf yang mengabungkan antara model pendidikan pesantren klasik dan modern.

1. Sejarah Berdirinya

Pondok Pesantren an-Nahdliyah didirikan oleh Yayasan sunan kalijogo tahun 1988. Sebelum mendirikan pesantren, yayasan sudah memiliki sejumlah kegiatan, antara lain mendirikan pengajian di Masjid kampung-kampung, Selain itu yayasan juga memiliki majelis taklim, Studi Islam, yayasan kemudian mendirikan panti asuhan untuk menampung anak yatim piatu dan anak dari orang tua tidak mampu. Selain itu, mereka membangun gedung sekolah yang diproyeksikan untuk menampung anak-anak yatim piatu tersebut. Pada perkembangan berikutnya, gedung sekolah itu menjadi cikal bakal Pondok Pesantren an-Nahdliyah.

diketuai KH M manshur, Pesantren tersebut dalam perkembangannya maju pesat, sehingga dibangunlah asrama untuk menampung santri.. semua amal usaha berada di bawah pengelolaan Yayasan sunan kalijogo. Yayasan berfungsi sebagai induk, sedangkan amal usaha sebagai pelaksana kegiatan. Yayasan tak ubahnya dengan organisasi papan nama, sehingga amal usaha yang ada berjalan sendiri-sendiri. Karena mereka memiliki otonomi penuh dari yayasan.

2. Kondisi Santri dan Ustadz/Guru

Pondok Pesantren mekanisme kerjanya diatur oleh yayasan. Pondok ini memiliki pengasuh pesantren. Di bawah pengasuh terdapat kepala-kepala sekolah, ketua-ketua seksi, wali kelas, pembina, dewan guru, dan OPPA (Organisasi Pelajar Pesantren an-Nahdliyah). Pengasuh pesantren berperan sebagai penanggung jawab umum, yang membawahi kepala-kepala sekolah, sekretaris, bendahara dan seluruh seksi. Pengurus ini setiap bulan melakukan pertemuan sekali untuk mengevaluasi hasil kerja, melakukan perbaikan, memecahkan kasus dan berbagai persoalan.

3. Penyelenggaraan Pendidikan

Pondok Pesantren An-Nahdliyah menyelenggarakan pendidikan secara variatif. Disamping menyelenggarakan pendidikan pesantren juga menyelenggarakan pendidikan sekolah, antara lain : Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah. Dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah tersebut pesantren mengacu pada kurikulum Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Namun kepada siswa juga diberlakukan kurikulum pesantren dan kegiatan ekstra kurikuler. Secara umum kurikulum dari pemerintah, meliputi :

a) Pendidikan agama meliputi akidah, akhlak, fiqih, Qur’an, hadits, dan sejarah kebudayaan Islam.

b) PPKN

c) Bahasa Indonesia

d) Bahasa Inggris

e) Bahasa Arab

f) Ilmu Pengetahuan Alam

g) Ilmu Pengetahuan Sosial

h) Matematika

Sedangkan kurikulum Pondok Pesantren meliputi : Al-Qur’an dan Tajwid, Tafsir- ilmu Tafsir, Hadits dan ilmu Hadits, Tauhid, Fiqih dan Ushul Fiqih, Akhlak, Siroh dan Sejarah Islam dan Tsaqofah (Peradaban Islam).

Sementara itu, kegiatan ekstra kurikuler meliputi pendidikan jasmani dan kesehatan, olahraga, komputer, tata boga, menjahit, kesenian (qasidah dan drumb band) dan muhadhoroh (latihan pidato tiga bahasa). Kegiatan santri Pondok Pesantren dimulai dari pukul 04.00 pagi. Mereka bangun tidur, kemudian menjalankan shalat subuh di masjid. Setelah selesai mengikuti pengajian Al-Quran secara kolektif di bawah bimbingan seorang ustadz/ustadzah atau salah seorang santri senior yang di anggap memiliki kecakapan membaca kalam Allahi ini. Bimbingan baca Al-qur’an berlangsung selama kurang lebih 15 menit dan setelah itu disambung dengan kegiatan kebersihan umum di lingkungan komplek pesantren dengan pembagian tugas berdasarkan kelompok kerja. Kegiatan ini berlangsung kira-kira 10 sampai 15 menit. Selesai kerja bakti seluruh santri menuju kamar mandi dengan air yang sudah tersedia di kolam atau melalui keran-keran yang dialirkan dari bak penampungan yang cukup besar. Aktivitas ini dilanjutkan dengan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah dengan terlebih dahulu sarapan pagi.

Pondok Pesantren an-Nahdliyah dari tahun ketahun semakin berkembang dan kredibilitasnya terus meningkat di mata masyarakat. Hal ini terbukti baik secara kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas banyak lulusan di terima masuk ke berbagai perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, bahkan ada yang memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Sedangkan secara kuantitas jumlah santri terus bertambah dari tahun ke tahun.

Meningkatnya prestasi akademik dan makin bertambahnya jumlah santri di dukung beberapa faktor. Pertama, implementasi dari progam-progam yang terencana dengan baik, sarana dan prasarana yang dimiliki pesantren cukup lengkap. Kedua, proses pengelolaan sosialisasi keberadaan pesantren yang dilakukan secara gencar melalui media elektronika, media massa maupun dengan memperkenalkan produk pesantren melalui penampilan drumb band, kebolehan santri tampil berpidato dan berceramah pada bulan Ramadhan, seni qasidah dan pidato tiga bahasa yang disiarkan secara luas di Televisi.



BAB III SIMPULAN

pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, melainkan lembaga sosial yang hidup. Supaya pesantren betul-betul bisa menapaki tangga menuju cita-cita mulia itu, memerlukan beberapa langkah yang antara lain: 1) Penyelenggaraan program pendidikan pesantren yang lebih bercorak sosial, tanpa meninggalkan corak keagamaan. 2) Memberikan kesempatan pada para santri untuk memperoleh pengalaman-pengalaman kemasyarakatan dan sekaligus memanfaatkan mereka bagi pekerjaan-pekerjaan kemasyarakatan. 3) Pesantren hendaknya menjadi pusat penerang pemikiran baru keagamaan dan memperkenalkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru bagi usaha membangun dan memodernisir masyarakat. 4) Memanfaatkan semaksimal mungkin sumbangan pihak luar, pemerintah atau instansi, sehingga dampaknya dapat dirasakan masyarakat luas. 5) Proyek bersama antar pesantren dan madrasah agar dapat maju bersama dengan pekerjaan dan identitas masing-masing. 6) Mencari kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi atau tempat dan usaha lain untuk latihan kerja dan pendidikan kejujuran.

0 comments:

Post a Comment