Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

HISTORIOGRAFI PESANTREN: PERSPEKTIF METODOLOGIS Antara Ada dan Tiada

Historiografi berarti penulisan sejarah atau sejarah penulisan sejarah. Jadi historiografi pesantren dapat dipahami sebagai sebagai penulisan sejarah pesantren. Dalam konteks ini jika sejarah diartikan sebagai kisah masa lalu, maka historiografi pesantren dapat dipahami sebagai penulisan kisah masa lalu pesantren. Tulisan yang berisi masa lalu pesantren begitu berserak dalam berbagai bentuk. Terlepas memenuhi kriteria sebagai historiografi atau tidak, kisah tentang keberadaan pesantren sejak awal berdirinya sudah dapat diketahui. Pesantren dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada masa Hindu (Moestopo, 2001: 150; Sutjiatining & Kutoyo: 1986:51). Mandala adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama siwa yang terletak di tengah-tengah hutan yang dipinpin oleh seorang dewa guru. Tetapi ada yang berpendapat bahwa kawikuan merupakan prototype pondok pesantren yang sekarang (Sutjiatiningsih & Kutoyo, 1986: 67). Ampeldenta di Surabaya dianggap sebagai bentuk pesantren yang telah ada sejak kwartal tiga abad 15 (Sofwan, Wasit, Mundiri, 2000). Pesantren juga ada yang mengidentikkan dengan tanah perdikan (Fokkens, 1908) Dewasa ini dikenal istilah pondok pesantren. Dari segi istilah pondok pesantren berasal dari kata funduq yang berarti asrama, dan shastri yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dengan demikian pondok pesantren berarti asrama orang-orang yang tahu buku-buku suci (Sayono, 2001). Dalam arti seperti ini pondok pesantren tidak berbeda dengan pesantren. Dalam khasanah historiografi tradisional. situasi dan kondisi pesantren telah mendapat tempat dalam berbagai karya walaupun belum menjadi unit kajian tersendiri Demikian pula dengan historiografi Kolonial, pesantren masih digambarkan secara sepotong-sepotong. Satu hal yang menarik tentang pesantren pada historiografi kolonial adalah adanya pandangan bahwa pesantren sebagai tempat berkembangnya gerakan antikolonial dan sekaligus sebagai bentuk pendidikan alternatif bagi rakyat. Berkembangnya historiografi modern Indonesia melahirkan banyak tulisan tentang pesantren, bahkan telah memfokuskan pada komponen tertentu saja dari pesantren, artinya penulisan tentang pesantren telah berkembang dengan pesat. Sebuah persoalan yang mendasar bagi para sejarawan adalah apakah penulisan tentang pesantren yang begitu beragamnya dapat dikategorikan sebagai historiografi pesantren ? Jawaban persoalan ini dapat menjadi bahan diskusi atau bahkan perdebatan, karena penulisan suatu kisah masa lalu yang lepas dari metodologi sejarah dapatkah disebut sejarah. Dalam konteks historiografi pesantren, dapatkah tulisan yang tidak menggunakan metodologi sejarah dapat dikategorikan historigrafi pesantren. Makalah ini adalah upaya menelusuri historiografi pesantren dan metodologinya, serta kemungkinan pengembangan metodologi bagi historiografi pesantren di masa yang akan datang.



Pesantren Dalam Khasanah Historiografi Tradisional

Kisah tentang pesantren dalam bingkai historiografi tradisional memberikan gambaran bahwa pesantren adalah institusi pendidikan keagamaan. Pesantren dideskripsikan sebagai tempat pendidikan yang menjadi rujukan mengembangkan nilai-nilai kesalehan berdasar Islam. Lulusan pesantren diharapkan menjadi orang yang memilikiki kesalehan iman dan kesalehan sosial yang pada saatnya setelah kembali ke masyarakat diharapkan dapat menjadi contoh dan sekaligus kader dakwah. Dalam Serat Centhini Jilid I (Pakubuwana V, 1991: 5) gambaran tentang pesantren tidaklah banyak. Disebutkan kondisi Giri (Ampel dan Giri diangap sebagai pemula model pesantren) sebagai wilayah yang ditempati oleh orang-orang Islam dipimpin oleh Sunan Giri Ada beberapa petunjuk yang disebutkan antara lain masyarakat sudah beriman, menjalankan syariat nabi, membaca Al Qur’an, dan juga mendirikan masjid. Dalam Babad Tanah Jawa (Santosa, 1970:99) hanya disebutkan adanya pesantren di Ampeldenta dengan pimpinan Sunan Ampel yang sudah memiliki banyak santri. Informasi yang lain adalah dari kitab Cebolek, yakni tentang adanya beberapa pesantren di pesisir utara Jawa Timur (Moestopo, 2001: 154-163), antara lain Surawuti di Lamongan dan Sidaresmo di Surabaya. Moestopo menjelaskan

bahwa kehidupan di pesantren mirip dengan kehidupan di mandala pada masa Hindu/Budha. Gambaran tentang pesantren yang lebih lengkap dapat dijumpai pada Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi R. Ng. Ronggowarsito (KomitRonggowarsito, 1979: 64-65), pesantren milik Kyai Imam Besari di Ponorogo digambarkan sebagai lingkungan pendidikan bagi santri dari berbagai daerah yang ingin menimba ilmu agama Islam. Kegiatan santri yang utama adalah belajar agama (ngaji), namun santri juga melakukan kegiatan lain bersama dengan masyarakat sekitar. Santri juga harus menyiapkan berbagai kebutuhan sehari-hari dengan mandiri (bandingkan dengan Purwadi & Mahmudi, 2004).

Historiografi tradisional telah membuka informasi tentang pesantren walaupun masih sangat terbatas. Dalam perkembangannya pesantren telah menjadi bagian penting dalam penyebaran Islam di Jawa dan bahkan juga Indonesia. Pesantren dianggap sebagai sarana penting yang dipergunakan untuk Islamisasi (lihat SNI Jilid III). Dalam proses tersebut terdapat gambaran bahwa pesantren adalah penyeimbang kekuasaan politis dari penguasa.



Pesantren dalam Khasanah Historiografi Kolonial

Untuk mengetahui kondisi pendidikan rakyat, pemerintah Kolonial mengadakan survey tentang keberadaan pendidikan tradisional. Dari kegiatan tersebut diketahui bahwa pesantren memang sudah ada tetapi bentuknya masih sederhana dan belum sebagaimana pesantren sekarang. Jumlah pesantren sudah cukup banyak hingga mencapai kurang lebih 300 buah (Berg, 1882). Tulisan yang menyangkut pesantren antara lain L.W.C. Berg, “De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijk Goederen or Java en Madoera” dalam TBG Deel XXVII, 1882. Dalam tulisan ini Berg memberikan gambaran tentang pendidikan islam tradisional di Jawa dan Madura. Gambaran tentang pesantren dalam historiografi kolonial lebih beragam, beberapa penulis lain (lihat Sayono, 2001) yang membicarakan pesantren antara lain, J.F.G. Brugmun, 1857. Het Volksonderwijs onder de Javanen; F Fokkens,”De Piresterschool te Tegalsari” dalam TBG Deel XXIV, 1878. Pigeaud, de Graaf, Guillot, Van der Chjis (lihat van Bruinessen, 1999), Snouck Hurgronye,”Een Belangrijk document betreffende den Heilegen Oorlog van den Islam (1914) en Eene Officieele Correctie” dalam TBG Deel 73 , 1917, dan Achmad Djajadiningrat, “ Het Leven in een Pesantren” dalam TBB XXXIV, 1908. Tentang Materi pelajaran atau kitab yang dipelajari di Pesantren dapat dilacak dalam Berg, “ Het Mohammedaansche Godsdienstonderwijs op Java en Madoera en de Daarbij Gebruikte Arabsche Boekken” dalam TBB Deel XXXI, 1886. Gambaran tentang Kyai terdapat dalam tulisan Drewes (1925), Drie Javansche Goeroe”s. Kuantitas pesantren telah digambarkan oleh Berg, proses berdirinya pesantren digambarkan oleh Guillot dan Snouck Hurgronye, dan proses pendidikan dilakukan di pesantren digambarkan oleh Achmad Djajadiningrat. Proses berdirinya sebuah pesantren dimulai tatkala seseorang yang memiliki ilmu agama Islam membuka pengajian (pelajaran agama) di rumahnya, seiring dengan perjalanan waktu banyak orang yang belajar agama kemudian tinggal di tempat tersebut. Dari proses inilah kemudian berdiri sebuah pondok pesantren. Kegiatan sehari-hari di pesantren antara lain membaca dan melagukan ayat-ayat suci, murid secara bergantian menghadap guru untuk diperiksa hafalannya (Hurgronye, 1991). Metode pendidikan di pesantren sebagaimana dimaksud dikenal sebagai system sorogan. Deskripsi tentang pesantren dalam historiografi kolonial tetap tidak lepas dari masa historiografi tradisional yakni sebagai melihat pesantren lembaga pendidikan agama. Pada mulanya kolonial Belanda memandang bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang rendah dan tidak membawa kemajuan bagi para muridnya, namun pandangan ini berubah setelah menjelang akhir sampai awal abad 20 yang menunjukkan bahwa pesantren potensial untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Dalam historigrafi kolonial juga menunjukkan bahwa pesantren berkembang pesat setelah perang Jawa usai, dan bahkan semakin menguat padsa akhir abad 19 dan awal abad 20 karena banyaknya orang yang menunaikan ibadah Haji. Di antara para haji ada yang kemudian membuka pesantren dan menjadi kyai. Diamati dalam beberapa tulisan mengenai Kyai, sebagai unsure terpenting keberadaan pesantren, tidak hanya dikaitkan dengan aspek pendidikan tetapi juga aspek politik, yakni sebagai salah satu agen penentang koloniaslisme. Meletusnya peristiwa di Cilegon pada tahun 1888 membuat pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk mengawasi guru agama (Kyai). Bukti kebijakan tersebut adalah pada tulisan Snouck Hurgronye yang menyebutkan bahwa Kyai Krapyak beserta jumlah muridnya telah terdata pada beberapa laporan residen Yogyakarta. Tulisan Van der Plas (lihat catatan kaki 193 pada Suminto: 1985) menunjukkan bahwa pemerintah Kolonial memandang guru agama adalah sosok yang berbahaya. Banyaknya gejolak politik yang disebabkan oleh para guru agama atau kyai memang tampak dari beberapa laporan residen (ANRI, 1981). Walau demikian historiografi kolonial lebih berkesan sebagai pemetaan keberadaan pesantren untuk kepentingan kolonial.



Pesantren dalam Khasanah Historiografi Modern Indonesia

Perlu ditegaskan bahwa pengertian sejarah sebagai kisah, akan membawa dampak yang sangat luas pada historiografi pesantren. Salah satunya adalah sulitya membatasi apakah sebuah kisah tentang pesantren termasuk dalam kategori historigrafi pesantren atau tidak. Banyak penulis asing atau Indonesia yang menulis tentang pesantren, tapi yang menulis dari disiplin ilmu sejarah sangat terbatas. Ada pendapat bahwa historiografi

modern Indonesia dimulai ketika Husein Djajadiningrat menulis sebuah karya berjudul Tinjauan Kritis Sejarah Banten pada tahun 1913, atau tahun 1958 ketika seminar sejarah nasional I berlangsung. Dalam makalah ini digunakan moment proklamasi kemerdekaan untuk mengawali temporal historiografi modern Indonesia, Sejak proklamasi historiografi pesantren (kisah tentang pesantren) begitu beragamnya. Makalah ini tentu saja tidak akan dapat menjangkau seluruh tulisan yang ada, hanya beberapa tulisan yang akan dibahas untuk menunjukan perkembangan historiografi pesantren dari dulu hingga beberapa tahun belakangan ini. Buku pertama yang layak disebut adalah Direktori Pesantren I, diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Buku ini sangat memandu bagi pemula yang ingin mengenal pesantren. Tidak kurang 255 pesantren dituliskan secara singkat, sejak berdirinya, Kyai pendiri, santri, sarana, hingga kurikulum yang dikembangkan sekarang. Buku ini dapat digolongkan yang menulis pesantren secara menyeluruh tetapi tidak detail. P3 M sebelumnya menerbitkan buku tulisan Hiroko Horikoshi yang berjudul tentang Kyai dan Perubahan Sosial, isinya mengupas tentang peranan Kyai dalam menggerakan perubahan masyarakat di sekitarnya. Bingkai metodologi yang dikembangkan penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan datanya melalui observasi dan wawancara. Kerangaka teori yang dipakai untuk mendasari kerja penelitiannya adalah mediator dan cultural broker. Teori Cultural broker pernah dipergunakan oleh Geertz dalam artikelnya berjudul The Javaneese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker, tetapi penelitian Horikoshi menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian tentang Kyai yang kemudian diterbitkan dilakukan oleh Zamakhsyari Dhofier dengan judul Tradisi Pesantren Studi tentang pandangan Hidup Kyai. Buku ini memberikan gambaran yang cukup tentang pesantren dengan berbagai tipe, dan juga menyajikan pembahasan tentang lima komponen pesantren yakni Kyai, pondok, santri, kitab kuning, dan Masjid. Sebagaimana dinyatakan penulisnya buku ini menggunakan pendekatan sosiologis dalam bentuk penelitian deskriptif analisis. Masih banyak lagi buku yang membahas tentang Kyai, antara lain: Iik Arifin Mansurnoor. 1990. Islam in an Indonesian worl ulama of Madura; Saifulah Ma’sum (ed). 1994. Menapak Jejak Mengenal Watak; Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama; Pradjarta Dirdjosanjoto. 1999, Memelihara Umat Kiai Pesantren –Kiai Langgar Di Jawa; Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren; Abdul Jamil. 2001. Perlawanan Kiai Desa; Mohammad Iskandar. 2001. Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950; Zainul Milal Bizawie. 2002. Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran dan Paham Keagamaan Sjekh Ahmad Al- Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740); Endang Turmudi. 2003. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan; Abdurrahman Mas’ud. 2004. Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi; dan puluhan buku biografi Kyai yang diterbitkan oleh generasi penerus pesantren masingmasing. Beberapa buku yang membahas pesantren secara umum antara lain: Mustofa Syarif. 1980. Administrasi Pesantren; M. Dawam Rahardjo (ed). 1985. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah; Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Kajian tentang Unsurndan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren; Kareel A Steenbrink. 1995. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurum Modern; Said Agil Sirajd.1999. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Tranformasi; M Dawam Rahardjo(ed).1995. Pesantren dan Pembaharuan; dan M. Affan Hasyim et.al.2003. Menggagas Pesantren Masa Depan. Bahkan ada buku membahas sesuatu seolah-olah sebuah ironi dari dunia pesantren,

buku ini tulisan Hamdan Farchan dan Syarifuddin berjudul Titik Tengkar Pesantren. Model pendidikan yang dikembangkan juga telah dijadikan kajian tersendiri, hal ini tampak antara lain pada karya: Ali Yafii,” Kitab Kuning, Produk Peradaban Islam” dalam Pesantren, 1989.Chotibul Imam, dkk. 1998. Spesifikasi Studi Agama Islam di Beberapa Pesantren Jawa Timur. Lemlit IAIN Jakarta; dan Martin Van Bruinessen. 1999. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Dalam konteks model pendidikan, tarekat sebagai salah satu muatan pedididikan pesantren juga sudah dikaji tersendiri. Karya yang membahas tarekat antara lain karya Martin Van Bruinessen sebagaimana telah disebut sebelumnya, Bruinessen juga menulis tentang karya lain yang berjudul Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Karya lain adalah tulisan Mahmud Suyuthi berjudul Politik Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Jombang. Santri sebagai salah satu komponen pesantren juga telah mendapat perhatian untuk dikaji hal ini tampak antara lain pada karya A Wahid Zaini, 1995. Dunia Pemikiran Kaum Santri; Abdul Kadir Djaelani.1994. Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia; Mark R. Woodward.1999. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan. Tulisan yang membahas kisah dunia pesantren dewasa ini sudah begitu banyak. Disamping yang telah dipaparkan sebelumnya, banyak tulisan tentang pesantren dan komponennya tersebsar di berbagai media, baik yang berupa artikel atau karya ilmiah popular tersebar di berbagai majalah ilmiah, berkala, jurnal, bulletin, dan surat kabar. Pertanyaanya adalah bagaimanakah

penempatannya dalam historiografi pesantren?



Historiografi Pesantren dalam Perspektif Metodologis

Historiografi secara umum dikelompokkan dalam dua bentuk yakni deskritif naratif dan deskritif analitis. Deskriptif naratif untuk menunjuk bentuk penulisan sejarah konvensional, dan deskriptif analisis untuk menunjukan penulisan sejarah baru atau sejarah kritis. Sebagaimana diketahui bahwa penulisan sejarah yang bentuknya deskriptif naratif dan deskritif analisis mengandung konsekuensi metodologi yang berbeda. Deskritif naratif tidak banyak memerlukan metodologi yang canggih, walaupun tetap saja harus memegang kaidah penulisan sejarah. Deskriptrif analisis adalah bentuk penulisan sejarah yang memerlukan metodologi yang tepat dengan berbagai konsep dan teori dari berbagai ilmu bantu, sehingga dapat memperoleh penjelasan yang memadai dalam merekonstruksi sebuah peristiwa masa lalu. Dalam bahasa sederhana deskriptif naratif hanya memakai seleksi berdasar common sense dan tidak membutuhkan teori dan konsep-konsep ilmu sosial, sebaliknya deskriptif analitis sejak awal penulisannya menuntut alatalat analitis, dalam hal ini misalnya dari konsep dan teori ilmu social (Kartodirdjo, 1992).Tentu saja uraian ini tidak bermaksud menyederhanakan pengertian metodologi, tetapi hanya untuk memberikan sebuah gambaran. Dalam kaitan dengan historiografi pesantren ada pendapat yang menarik dari Taufik Abdullah ( 1987), ia memberikan kerangka berpikir yang dapat dianggap sebagai metodologi. Taufik Abdullah menyatakan untuk menulis tentang pesantren setidaknya dilihat dari tiga aspek yakni pertama aspek internal pesantren; kedua, aspek jalinan mata rantai pesantren, dan ketiga, aspek hubungan dunia pesantren dengan lingkungan sekitar. Jika kita perhatikan bahwa pendapat Taufik Abdullah sudah menyentuh seluruh aspek kehidupan dunia pesantren, langkah selanjutnya adalah bagaimana cara menuliskannya menjadi sebuah historiografi (penulisan sejarah), ini menjadi tantangan tersendiri. Dari sekian banyak tulisan tentang pesantren dari historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern Indonesia. hanya

beberapa tulisan ( di luar biografi kyai dan direktori pesantren) yang dengan tegas menggunakan metodologi sejarah. Beberapa tulisan tentang pesantren pada historiografi tradisional dan historiografi kolonial, untuk masuk kategori penulisan sejarah deskriptif naratif saja belum memenuhi. Dalam babad dan serat, pesantren disajikan tidak menggunakan alur sejarah yang jelas. Beberpa tulisan historiografi kolonial memang sudah terdapat tulisan tentang pesantren yang dapat dikategorikan sudah menggunakan alur berpikir sejarah, misal tulisan Fokkens tentang pesantren Tegalsari, tulisan Drewes tentang tiga orang Kyai. dan tulisan Berg tentang kitab-kitab yang dipelajari di pesantren. Demikian pula pada masa historiografi modern banyak tulisan tentang pesantren yang tidak menggunakan metodologi sejarah, tetapi menggunakan metodologi ilmu sosial lain seperti antropologi, sosiologi atau bahkan politik. Tulisan tentang pesantren yang sejak awal menggunakan metodologi sejarah, kiranya perlu dipaparkan di sini untuk mengkaji perspektif metodologinya. Buku karya Mohammad Iskandar (2001) berjudul Para Pengemban Amanah Pergulatan Kyai dan Ulama di Jawa Barat, 1900 – 1950 adalah pengembangan tesis S2 yang kemudian diterbitkan. Dapat diketahui bahwa ebagai karya kampus buku ini tidak diragukan lagi menggunakan endekatan ilmiah, artinya menggunakan perangkat metodologi dengan baik. al ini tampak pada alasan dipilihnya subtansi materi yang berkaitan dengan iri-ciri keilmuan sejarah. Pemilihan subtansi penelitian misalnya jelas sangat emperhatikan unsur change, dan growth. Demikian juga ciri sejarah yang ain yakni pemilihan spasial dan temporal penelitian, kedua hal ini telah iberikan alasan yang akademis. Dalam pengumpulan sumber, penulis elakukan studi kepustakaan (termasuk kearsipan) dan lapangan. eberhasilannya menemukan dan memanfaatkan sumber primer yang erupa Dokumen dan Arsip, menempatkan buku ini sebagai karya sejarah ang memadai. Dalam akhir kata pengantarnya Taufik Abdullah menyatakan skandar berhasil menulis sejarah lokal yang dapat memberikan kearifan kademis yang bersifat umum. Bukankah hal ini termasuk tujuan utama enulisan sejarah?.

Buku lain adalah karya Abdul Jamil (2001) berjudul Perlawanan Kiai esa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifai Kalisasak. Buku ini erasal ari disertasi pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sejak awal enulisnya menyatakan bahwa buku ini adalah sejarah intelektual dan ejarah sosial, dan hasil dari sebuah penelitian sejarah. Tujuan penelitian ang dilakukan dalah untuk merekontruksi pemikiran dan gerakan Islam dari okoh KH Ahmad Rifai. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan osiologis yang melihat anatomi gerakan KH Ahmat Rifai melalui pemikiran, indakan, an persekutuan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif ang ertumpu pada hermenuetika dan fenomenologi. Sebagaimana karya skandar, karya Abdul Jamil juga menggunakan sumber primer sebagai titik olak pengembangan penelitiannya. Pada kesimpulan akhir ditunjukan ebuah tipologi gerakan kebudayaan yang disebutnya sebagai regionaltraditional-movement dengan tiga ciri yakni loyalitas lokal, ubungan

kekerabatan, dan hubungan berdasar status tradisional. Abdul Jamil pgembangkan sebuah metodologi tertentu untuk mendukung kerjanya alam kerangka sejarah intelektual dan sejarah sosial, setidaknya hal ini nampak pada digunakan analisis yang berbasis pada hermeneutika dan fenomenologi. Buku yang mirip dengan karya Abdul Jamil adalah tulisan Zainul Milal Bizawie (2002) yang berjudul Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi. Buku ini diakui penulisnya sebagai sejarah pemikiran dan merupakan kajian tentang peta pergumulan Islam Jawa. Zainul dalam studinya menggunakan metodologi yang ditawarkan oleh Mohammed Al Jabiri yang meliputi pendekatan strukturalis, sejarah, dan kritik ideologi. Secara menyeluruh Zainul mengembangkan pendekatan multidisipliner sebagaimana disarankan oleh Sartono Kartodirdjo. Jika dikaitkan dengan historiografi pesantren, apa yang dilakukan oleh Zainul (dan juga Abdul Jamil) adalah sebuah khasanah baru. Kajian tentang teks dari komunitas pesantren dengan segala implikasinya dalam kerangka studi sejarah merupakan hal yang menggembirakan. Kemampuan dalam menggunakan metodologi untuk menghasilkan sebuah sejarah pemikiran dari komunitas pesantren perlu mendapat perhatian. Buku ini memperkuat barisan historiografi pesantren yang telah menggunakan metodologi sejarah dalam penulisannya. Satu buku lagi yang perlu mendapat perhatian adalah karya Abdurrahman Mas’ud yang berjudul Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Buku ini walaupun tidak secara eksplisit menyatakan sebagai buku sejarah, tetapi layak untuk disebut karya sejarah. Isinya lebih mirip dengan kumpulan biografi para kyai besar pengembang pesantren di Jawa, namun deskripsinya lebih menarik karena menggunakan metodologi dengan baik. Karya seperti ini mungkin dapat disebut prosopography. Kerangka yang digunakan untuk melakukan pengkajian adalah socio-intelectual history, hal

ini memang sesuai dengan tuntutan metodologi dalam prosopography. Penggunaan teori kharisma dari Weber dan prinsip sosiologi pendidikan Durkheim dalam menjelaskan berbagai fakta, telah menempatkan buku ini pada kategori penulisan sejarah yang menggunakan metodologi, meskipun tidak semata-mata metodologi sejarah. Empat buku yang dibahas terakhir adalah buku-buku yang relative masih baru karena terbit pasca reformasi. Apakah hal ini dapat dipahami sebagai era kebangkitan historiografi pesantren ? Banyak historiografi pesantren yang menggunakan metodologi sejarah tidak diterbitkan dan hanya menjadi koleksi perpustakaan perguruan tinggi. Artinya, secara riil ada upaya untuk mengembangkan historiografi pesantren yang memiliki kualifikasi sebagai “historiografi” yang secara keilmuan dapat dipertanggungjawabkan. Barangkali dengan berdasar pada kerangka berpikir yang disodorkan Taufik Abdullah, tiga aspek yang menjadi fokus kajian tentang pesantren dapat dirumuskan metodologinya. Aspek internal pesantren yang meliputi Kyai, keluarga besar kyai, sistem pendidikan pesantren, perubahan dan perkembangan pesantren baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dan juga konflik di pesantren, dapat dirumuskan metodologinya. Misalnya tentang Kyai, sebagaimana yang sudah dipaparkan dapat dikembangkan sebuah tulisan sejarah berbentuk biografi prosopography, sejarah intelektual/sejarah pemikiran, dan sejarah mentalitas. Pemilihan bentuk tulisan tentu saja akan berpengaruh pada metodologinya. Untuk sejarah pemikiran dapat dilakukan dengan tiga pendekatan antara lain kajian teks, kajian konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya (Kuntowijoyo, 2003:191). Demikian pula dengan aspek jalinan mata rantai pesantren, dapat dikembangkan tulisan sejarah lokal atau sejarah agama. Aspek hubungan dunia pesantren dengan llingkungan sekitarnya dapat dikembangkan menjadi tulisan sejarah sosial atau sejarah lisan.



Penutup

Jika pengertian historiografi dipahami sederhana sebagai penulisan sejarah pesantren dalam arti kisah tentang pesantren, maka semua tulisan

yang menyangkut pesantren baik pada masa historiografi tradisional, colonial dan modern dapat dimasukan dalam historiografi pesantren. Tetapi jika historiografi diartikan sebagai sejarah penulisan sejarah, sehingga pengertian historigrafi pesantren adalah sejarah penulisan sejarah pesantren, maka tidak semua tulisan sejarah dapat dikategorikan sebagai historiografi pesantren. Barangkali memang perlu dibedakan dengan tegas antara referensi tentang pesantren dan historiografi pesantren. Pengertian referensi tentang pesantren mempunyai cakupan lebih luas, tulisan berbentuk apa saja yang berisi tentang pesaantren masuk di dalamnya. Ketika berbicara tentang historiografi pesantren, maka ada kriteria-kriteria tertentu yang menjadi patokan, misalnya tentang metodologi dan metodenya. Akhirnya perlu mendapat perhatian tambahan dari para sejarawan yang berminat untuk mendalami pesantren, bahwa masih banyak sisi dunia pesantren yang perlu dikaji dalan kaitannya dengan perjalanan sejarah Indonesia umumnya, dan sejarah perkembangan Islam di tanah air pada khususnya. Rekonstruksi yang dibekali dengan metodologi yang baik akan memberikan pencerahan pemahaman terhadap pesantren dan komunitas “kaum sarungan” yang telah terbukti mampu bertahan sejak abad XV hingga sekarang. Historiografi pesantren yang benar-benar seperti ini akan dapat memberikan sumbangsih nyata bagi siapa saja yang membacanya.



DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survey histories, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1992.

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.

Bizawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Pemikiran dan Paham Keagamaan Syeh Ahmad Al-Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645-1740), Yogyakarta: Samha, 2002.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994.

Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999.

Djamil, Abdul, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifai Kalisalak, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Farchan, Handan & Syarifuddi, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Gobee, E & C. Anriaanse, Nasihat-nasihat C. Smouck Hurgronye Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 – 1936,Jilid V, Jakarta: INIS, 1991.

Hasyim, Affan, et.al., Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakrta: Qirtas, 2003.

Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987.

Iskandar, Mohammad, Para Pengemban Amanah Pergulatan Pemikiran Kiai an Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001.



Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Komiten Ronggowarsito & Sudibjo, Babad Cariyos Lelampahannipun Suwargi R.Ng. Raonggowarsito. Jakarta: Depdikbud, 1979.

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003.

Manurnoor, Iik Arifin, Islam in an Indonesia World Ulama of Madura, Yogyakarta: UGM Press, 1990.

Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS.2004.

Moestopo, M.Habib, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan, Yogyakarta: Jendela, 2001.

Paku Buwana III, Serat Centhini (Suluk Tambangraras)Jilid I + IV,

Kalatinaken dening Kamajaya. Yogyakarta: Yayasan Centhini, 1988..

Purwadi & Mahmudi, Hidup, Cinta dan Kematian Ronggowarsito, Yogyakarta: Pion Harapan. 2004.

Sayono, Joko, “Perkembangan Pesantren di Jawa Timur”, Tesis PPS UGM Yogyakarta, 2001.

Santosa, Soewito, Babad Tanah Jawi (Galuh Mataram). Sala: Tanpa Penerbit, 1970.

Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985.

Sutjiatiningsih, Sri & Slamet Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur,

Surabaya: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah, 1986.

Suyuti, Mahmud, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Jombang: Hubungan Agama, Negara dan Masyarakat,Yogyakarta: galang Press. 2001.

Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah. Sekolah: pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994.

Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES. 1987.

Woodward, Mark R, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 2004.

Zaini, A. Wahid. Dunia Pemikiran Kaum Santri, Yogyakarta: LKPSM, 1995.

0 comments:

Post a Comment