Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Ja’a Jutek: Belajar Solidaritas dari Bilik Santri

Solidaritas dan kesetiakawanan bisa jadi merupakan barang antik di tengah situasi sosial Indonesia yang semakin tak bersahabat. Pertikaian, kerusuhan, dan berbagai bentuk konflik yang terjadi di masyarakat seolah tak kunjung usai. Semua melegitimasikan diri atas nama demokrasi. Demokrasi yang tidak lagi dimengerti sebagai pemahaman atas perbedaan, penghargaan atas hak-hak orang lain sebagai manusia, dan proses pencapaian kesepakatan mufakat berdasar solidaritas dan kepentingan bersama. Demokrasi justru menjadi legitimasi yang dipaksakan agar bagaimana yang kuat bisa mengalahkan dan semena-mena pada yang lemah demi tercapainya kepentingan segelintir orang atau golongan.
Namun, jika Anda coba melongok sejenak ke dalam bilik kehidupan para santri di pesantren, Anda akan menemukan bahwa solidaritas dalam kebersamaan dan kesetiakawanan justru menjadi ruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. Solidaritas bukan lagi barang antik di pesantren, sebuah dunia yang sering kali dianggap sebagai dunia “yang lain” karena ia memiliki tradisi, nilai, dan peraturan yang disepakati sendiri.

Ja’a Jutek adalah novel remaja yang coba menggambarkan bagaimana solidaritas dan kebersamaan adalah kebiasaan yang berlaku di pesantren. Talitha Aniq, atau biasa disapa Ita merupakan tokoh antagonis yang merepresentasikan segelintir orang yang enggan untuk berbagi dan menghargai kebersamaan. Orang yang cenderung individualis dan mabuk fasilitas dan kekuasaan. Dalam novel ini, Ita mandapat dukungan dari Ning, atau puteri sang kiai sehingga bisa arogan dengan sikapnya itu, dan harus berhadapan dengan tokoh-tokoh protagonis yang dimainkan oleh Veda dan teman-teman satu kamar Ita.

Pesantren adalah miniatur sebuah masyarakat yang multikultur. Karena para santri datang dengan karakter dan dari latar belakang yang tidak sama. Status dan strata sosial mereka juga beragam. Tujuan dan orientasi juga bermacam-macam. Dari niatan menuntut ilmu, menuruti orang tua, pengabdian pada sang kiai, sampai sebatas menunggu datangnya hari pernikahan atau jodoh. Barangkali hanya satu hal yang sama bahwa di KTP mereka tertuliskan beragama Islam.

Di kamar Zaitun 3, Ita tinggal bersama kesepuluh santri yang lain. Salah seorang yang bernama Faiz diangkat sebagai ketua kamar yang bertanggung jawab ke dalam, yaitu menjaga keharmonisan antarpenghuni, dan bertanggung jawab ke luar sebagai bagian dari struktur besar organisasi santri, di bawah tanggung jawab lurah pondok dan Kiai/Nyai. Biasanya ada banyak kesepakatan yang dibuat bersama untuk menjaga keharmonisan itu. Kesepakatan itu lalu menjadi sebuah peraturan untuk ditaati dan dijalankan secara sukarela dan atas nama kepentingan bersama. Salah satu contoh dalam novel ini adalah bagi setiap penghuni kamar bebas menyimpan snack atau roti jenis apa pun ke dalam kotak makanan, di luar camilan yang memang dimaksudkan untuk dinikmati bersama. Dengan catatan, tidak boleh lebih dari dua minggu, jika melebihi waktu yang ditentukan, makanan itu secara otomatis halal untuk dijadikan santapan bersama. Itulah kenapa setiap bungkusan jenis apa pun yang ada di dalam kotak harus dilabeli nama pemilik dan tanggal masuk kotak.

Solidaritas ala kamar Zaitun 3 bisa jadi memang sangat sederhana dan remeh. Namun, justru dari remeh temeh tepo sliro, penghargaan, dan kepedulian pada kawan semacam itu solidaritas mustinya dibangun dan dibiasakan. Oleh anak-anak, remaja, bahkan oleh orang tua yang lebih dewasa dan bisa bijak dalam berpikir dan bersikap. Ja’a Jutek memang hanya berkisah tentang pengalaman sederhana kehidupan santri, namun ia tetaplah karya sastra yang bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk penanaman nilai-nilai moral. Dan, lewat sastra siapa pun bisa belajar tanpa harus merasa digurui.




0 comments:

Post a Comment