Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Makna “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”

Dalam Qawa’id al-Khamsah ada salah satu kaidah yang berbunyi “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki”. Secara harfiah kaidah fiqh ini berarti “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”. Ungkapan dalam kaidah ini ambigu sehingga bila tidak dijelaskan dengan contoh yang tepat bisa berpotensi untuk salah arti.

Sebenarnya kaidah fiqh hanyalah kesimpulan general para ulama fiqh yang diambil dari materi fiqh yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang muncul belakangan dan belum jelas hukumnya dalam nash. Tentunya kaidah fiqh tidak bertentangan dengan nash karena sudah melalui uji kesesuaian dengan substansi ayat-ayat Quran dan hadits nabi, sebelum menjadi kaidah fiqh yang mapan, kendatipun untuk kasus-kasus tertentu ada pengecualian.
Kaidah “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki” (Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan) juga begitu halnya, tidak bertentangan dengan nash, bila dirujuk pada beberapa hadits nabi akan terlihat kesesuaian.
Saya mendapatkan beberapa mahasiswa salah dalam memahami kaidah ini. Ketika saya ajukan pertanyaan yang saya ambil dari sebuah hadits tentang keraguan apakah sudah kentut dalam shalat, jawaban si mahasiswa adalah: “Bila anda ragu ketika sedang sholat apakah sudah buang angin (kentut) atau tidak, maka sebaiknya anda hentikan sholat anda dan berwudhu’lah kembali untuk mengulangi sholat. Karena dari pada anda melanjutkan sholat yang meragukan lebih baik tinggalkan dan mengerjakan sholat sekali lagi yang tidak meragukan. Sesuai dengan hadits “tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”, dan sesuai dengan kaidah “keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”.
Sekilas, jawaban si mahasiswa terasa sudah benar. Padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kaidah “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”. Kaidah ini justru menghendaki agar kita tidak perlu menghentikan sholat karena yang harus kita pedomani adalah keadaan awal kita suci, ada pun keraguan yang datang belakangan sebaiknya diabaikan selama tidak ada yang bisa memastikan bahwa kita memang sudah tidak suci. Kaidah ini sama dengan konsep “praduga tak bersalah”. Selama tidak ada bukti yang pasti yang menunjukkan bahwa kita “kentut”, maka kita tidak bisa menaikkan posisi “ragu sudah kentut” menjadi “pasti sudah kentut”. Sesuai dengan apa yang disabdakan nabi, “Apabila seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian ragu apakah sesuatu telah keluar dari perutnya atau belum, maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sampai ia mendengar bunyinya atau mencium baunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Jawaban mahasiswa tadi menyadarkan saya bahwa kita banyak dipengaruhi oleh sikap Imam Syafi’I yang hati-hati dalam masalah ibadah. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin, sedangkan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan kehati-hatian. Ulama Malikiyah mengatakan,”Seseorang tidak bisa lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakinkan. Shalat yang sah hanya apabila didahului dengan wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang diragukan apakah sah atau tidak”. Dilihat dari sisi kehati-hatian Imam Syafi’I ini maka saya tidak bisa menyalahkan sikap mahasiswa saya tersebut walaupun dalam memahami kaidah fiqh tadi saya anggap masih belum tepat.
Contoh yang sering dipakai untuk kaidah ini biasanya adalah masalah keraguan tentang jumlah rakaat shalat. Apabila ragu apakah sudah shalat 3 atau 4 rakaat maka hilangkan keraguan dan berpedoman pada apa yang meyakinkan. Dalam hal ini 3 rakaat adalah hal yang meyakinkan dan 4 rakaat adalah meragukan. Logikanya apabila anda ragu apakah sudah sholat 4 rakaat, tentunya anda pasti sudah sholat 3 rakaat. Tidak akan mungkin terjadi sebaliknya, anda ragu sudah sholat 3 rakaat tapi yakin sudah sholat 4 rakaat. Sesuai dengan hadits nabi,” Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa rakaat dia telah melakukannya, apakah 3 atau 4 rakaat, maka hilangkanlah keraguannya dan tetaplah dengan apa yang dia yakini.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
Sayangnya contoh masalah keraguan jumlah rakaat sholat ini juga berpotensi untuk disalahpahami. Mahasiswa bukannya memahami masalah yang lebih mendasar tentang mana yang meragukan dan mana yang meyakinkan tapi malah justru terjebak dengan masalah kehati-hatian. Berkeyakinan pada 3 rakaat kesannya adalah lebih hati-hati ketimbang memilih 4 rakaat. Memang perkara yakin-ragu dengan kehati-hatian sangat dekat, tapi ada perbedaannya.
Untuk menghindari kesalahpahaman tadi, maka sebaiknya jangan hanya melihat contoh dalam masalah ibadah saja tapi lihat juga contoh dalam masalah kehidupan yang lain. Contoh dalam masalah hutang piutang bisa juga dipakai. Apabila si A mengklaim bahwa si B berhutang padanya namun disangkal oleh si B maka yang benar adalah perkataan si B. Karena yang pasti, tentunya tidak ada orang yang berhutang sampai ada hal yang meyakinkan bahwa dia memang berhutang.
Contoh lain, saya menuduh si A telah menjatuhkan laptop saya yang kemudian tuduhan ini disangkal oleh si A, maka yang benar adalah perkataan si A. Karena pada asalnya tidak ada orang yang menjatuhkan laptop saya, kecuali ada bukti yang menunjukkan si A menjatuhkan laptop saya.
Dengan memberikan contoh-contoh seperti ini diharapkan mahasiswa bisa lebih mengerti tentang “al-Yaqinu la yuzalu bissyakki”.

0 comments:

Post a Comment