Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

BULAN SAMAR DI LANGIT JOGJA

Sebuah senyum rekah di bibir gadis itu. Ia menghela nafas seraya menyandarkan tubuh kurusnya pada sebatang kayu yang menyangga langit-langit kamar. Seketika tarikan wajahnya merenggang, seakan puluhan benang kusut di pikirannya terurai lurus seketika. Ia memejamkan mata, binar-binar di raut mukanya kian purna kala sebentuk wajah hadir di lamunannya.
Yah, badai itu akhirnya tinggal riak kecil saja. Dan sebuah kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya kian dekat. Tinggal menunggu jam, menghitung menit dan detik yang sangat tidak berarti dibanding hari-hari penantiannya selama ini. Dan sesuatu yang ditunggunya itulah yang akan merombak total kehidupannya, sesuatu yang pernah bahkan sering dan selalu didambakannya sebagai seorang wanita. Semuanya tidak lagi hanya angan, sebuah SMS dalam inbox HP di genggamannya adalah bukti semua itu.
Tiba-tiba gadis itu membuka mata dan menegakkan kembali posisi duduknya, ia mengaktifkan HP dan membuka inbox. Ia ingin membaca sekali lagi SMS yang terakhir diterimanya. SMS dari sebuah nama yang mendominasi isi HPnya.


Pri, aku…..
Bukan! Bukan SMS itu yang dicarinya, sebuah SMS lagi.
Mas kangen, Pri….
Bukan juga!
Sedang apa kamu sayang…?
Bukan!
Gadis bernama Pri itu terus menekan tombol gulir. Rupanya banyak sekali SMS yang entah tidak sempat atau tidak ingin ia hapus dari memory HPnya. Ia mulai gelisah setelah tiga SMS yang dibukanya bukanlah SMS yang ia cari. Jangan-jangan yang dibacanya tadi hanyalah sebuah ilusi, atau tadi ia masih terbawa alam mimpinya karena memang ketika itu hari masih terlalu dini.
SMS ke empat belas, SMS terakhir.
Pri, hari ini aku pulang ke Jogja, tunggu aku di rumahmu, aku datang melamar.
Yah, ini dia SMSnya!
Dada gadis bernama Pri itu kian mengembang, seolah menampung ribuan bunga yang tengah bermekaran disana. Herman! Herman! Herman! Hanya nama itu yang mendengung-dengung di seantero batinnya. Seolah ia yakin Herman yang berada berpuluh-puluh kilometer darinya akan mendengar setiap degub jantung, debar hati dan hela nafasnya yang kini berirama bahagia.
Wajah Herman yang matang terpanggang terik matahari tak juga hendak enyah dari matanya. Dan gadis itu menikmatinya. Ia ingin mengenang pangeran pujaan hatinya yang mungkin hanya tampan di matanya. Pangeran yang semenjak empat tahun lalu hadir dalam kehidupannya. Ketika itu Herman secara tidak sengaja mampir ngopi di warung Emaknya. Dan dari pandangan pertama yang terjadi di warung sederhana itu, bermulalah sebuah cinta yang juga sederhana milik Pri. Dan mata Herman yang kala itu juga tengah memandangnya mengisyaratkan ‘ya’ untuk cintanya.
Hingga datanglah masanya hubungan mereka harus dicoba. Setahun setelah purna percintaan di warung kopi itu, Herman datang di suatu pagi, sebuta pagi ini.
“ Pri, aku mau pergi ke Jakarta. Kamu jaga diri baik-baik ya…”
Pri yang tengah menemani Herman menyeduh kopi buatannya itu terlonjak. Ia tidak pernah mengira rencana yang memang sebelumnya tak pernah sama sekali disinggung-singgung Herman padanya.
“ Aku mau cari uang. Aku rasa, sudah saatnya lelaki sepertiku harus merantau.”
Pri diam, ia belum menemukan kata untuk menyela.
“Pri, kamu berdo’a saja, semoga disana aku cepat dapat kerja. Kalau nanti uangku sudah banyak, aku akan pulang dan kita akan menikah!”
Kukuh sekali lelaki itu mengatakan keinginannya, sekukuh tapak tangannya yang erat menggenggam tangan Pri dan membuatnya hanya bisa tertunduk. Sebenarnya ia ingin berkata pada sosok di depannya bahwa ia begitu takut perpisahan, ia takut kehilangan waktu-waktunya yang indah saat menunggu warung bersama pelanggan istimewanya itu, ia juga takut bila di Jakarta nanti akan banyak gadis yang membuat Herman melupakannya. Tapi sayang, semuanya hanya bisa ditelannya sendiri karena seketika itu telinganya menangkap suara sandal jepit yang diseret tertatih mendekatinya. Emak datang, dan ia tidak mau mojoknya bersama Herman mengundang kecurigaan beliau.
Dengan hati yang tak lagi utuh ia berlalu dari tempatnya, meninggalkan separoh hatinya yang dibawa pergi oleh Herman setelah membayar kopi pada Emak.
Kala itu, dari balik pintu yang menyekat warung dan ruang tamu di rumah Pri, setetes air mata jatuh. Menandakan sepotong hati yang terluka oleh duka. Ia tidak berani untuk berteriak memanggil kekasihnya atau berlari menyusul sungguhpun ia sangat ingin melakukannya. Hanya tatapannya yang lepas yang merengek mencegah setiap langkah Herman, tapi kaki kokoh itu tak peduli, ia terus menjauh menciptakan jarak yang kian tak tertempuh.
Dan kedatangan hari ini telah membuktikan kesetiaan Herman yang dirindu-rindukannya. Waktu tiga tahun di tengah hiruk pikuk ibu kota tidak membuatnya lupa pada gadisnya di desa. Hari ini ia akan datang, melamarnya! Oh, betapa ia tak pernah merasa sebahagia ini.
“ Pri! Kok masih mbangkong di situ?” Suara di belakang gadis yang tengah terbuai lamunannya itu nyaris membuatnya terlonjak. Ia buru-buru meletakkan HPnya di bawah bantal dan bangkit dari tempatnya.
“ Kamu itu Pri! sejak dulu Emak nggak setuju kamu beli HP. Bikin males! Buang-buang uang! Eh, la kok Pak Lekmu ngeyel beli HP buatmu! Ya ini akibatnya!”
Pri hanya diam mendengar gerutuan Emak. Dia terlalu bahagia hingga enggan untuk berdebat dengan beliau pagi ini. Ia melangkah ke dapur, mengambil setumpukan piring dan membawanya ke warung di beranda rumah.
Pikirannya masih juga bergentayangan ketika keheningan di warung itu mulai pecah oleh datangnya beberapa pelanggan. Sebenarnya ia sangat ingin membagi perasaannya pada orang-orang itu, pada Emak, juga Bapak. Tapi ia tidak bisa memungkiri keraguan yang mulai menyusup mengganggu bahagianya. Ia khawatir terjadi sesuatu yang membuat menit-menit ke depan yang dinantikannya urung terjadi. Jika Herman membohoginya dan tidak datang untuk melamar, sedang ia telah menceritakan hal itu pada orang lain, maka seumur-umur hidupnya akan habis hanya untuk bersembunyi dari bayangan malu yang mengejar-ngejarnya.
Dan warna-warna perasaan itu akhirnya hanya disimpannya sendiri, dalam diam, dalam setiap gerakan tangan, dalam setiap desah dan resah.
Seorang lelaki rebah pada sandaran kursi di dalam bus sepi penumpang yang melaju cepat membelah pagi yang masih basah berembun. Mata lebarnya yang tajam menerawangi pemandangan di luar jendela bus, pikirannya mengembara ke dunia yang entah dimana. Dunia tanpa nama yang hanya ada bahagia di dalamnya.
Ia datang. Melunasi janjinya pada seseorang.
“ Dengaren kamu mau ngepel rumah, Pri!”
Sapaan Emak tidak mengusik Pri yang tengah mengepel lantai ruang tamu. Gadis itu tetap melanjutkan pekerjaannya.
“ Biasanya kamu paling males bersih-bersih rumah. Makanya sampai sekarang urung payu rabi!”
Gadis itu hanya tersenyum. Terutama untuk tiga kata terakhir Emaknya.
Tunggulah Mak, tunggu sampai hari ini menjawabnya. Aku belum ingin mengatakannya pada Emak. Biar Herman yang melakukannya. Hati sang gadis menjawab tanpa suara.
“ Lo, kok malah senyum-senyum sendiri Pri! Kamu ini memang aneh hari ini! Jangan-jangan kamu kelebon demit!”
Emak menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berlalu. Sayup-sayup masih terdengar omelan perempuan yang hampir berusia setengah abad itu dari dalam kamarnya. Namun Pri tidak sempat mendengar dan memikirkannya. Ia hanya ingin tersenyum tanpa beban apapun hari ini.
Sepi sepeninggal Emak membuat Pri semakin asyik bercengkrama dengan lamunannya. Layaknya seorang perawan yang menunggu masa-masa pinangannya yang telah begitu dekat, hatinya kian dilanda debar yang mendegubkan jantungnya kian kencang. Ia gugup, takut, malu dan entah apalagi nama perasaanya. Ia mengira-ngira apakah kiranya Herman juga merasakan hal yang sama sepertinya. Pri menebak-nebak, seperti apakah wajah pangerannya itu kini setelah enam tahun di tanah orang? Sikapnya, tutur katanya, apakah Herman masih seperti dulu ketika sebelum meninggalkan kampung halamannya? Apakah ia masih memiliki tatap mata tajam yang dulu seakan mampu menembus hatinya dan meninggalkan bekas yang bernama cinta?
Pri jengah menerka-nerka jawaban dari semua pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya. Ia meraba sakunya dan mengintip layar HP yang menyembul dari celah bajunya.
Ia menghela nafas berat sejenak kemudian dan meletakkan kembali benda itu di dasar sakunya.
Ia masih menunggu, dengan segenap sepi dan diamnya, menungu pemenuhan janji seseorang yang telah mencuri hatinya.
Sebuah bus berhenti di pertigaan menjelang pasar. Seorang lelaki berkemaja kotak-kotak turun membawa tas besar. Ia berhenti sejenak memandangi kepergian bus yang tadi ditumpanginya, lantas melanjutkan langkahnya masuk area pasar.
Di sebuah kios pakaian yang paling akhir, lelaki yang tak lain adalah Herman itu berhenti. Sesaat ia membolak-balik tumpukan pakaian di depannya. Pada deretan mukena yang bergantungan, gerakan tangannya melambat. Beberapa mukena yang dipegangnya dibanding-bandingkan. Dan salah satu dari sekian model mukena itu membuatnya tertegun. Sebuah mukena putih berenda biru. Kemudian sebuah wajah berkelebat, wajah Pri yang kian cantik dalam balutan mukena indah itu.
“ Beli mukena, Mas?” penjaga kios itu menghampirinya.
“ Yang ini berapa?”
“ Seratus tujuh puluh Mas. Boleh kurang.”
“ Seratus, Mas.”
“ Wah, belum dapat. Pasnya tambah dua puluh ribu lagi.”
Herman menimbang. Uang di sakunya tak seberapa jumlahnya. Tapi ia teringat sesuatu, sesuatu yang membuatnya mau melakukan apa saja demi mendapatkannya, termasuk kini membuatnya dengan mantap merogoh beberapa lembar uang kertas dari sakunya.
Yah, sebuah cita-citalah yang membuatnya seyakin itu. Siapapun dirinya, apapun yang pernah dilakukannya, profesi apapun yang dilakoninya di ibu kota, berapapun orang yang menganggapnya hina, tak berharga, sampah masyarakat, tapi cita-cita itulah yang masih selalu ia pertahankan mati-matian dalam hidupnya, cita-cita untuk memiliki seorang wanita sholehah untuk menjadi pendamping hidupnya, memperistri seseorang yang akan menerimanya apa adanya. Bukan karena dan untuk apa. Dan pilihannya telah jatuh pada Pri. Pri yang bukan siapa-siapa, Pri yang bukan apa-apa, Pri yang orang biasa, Pri yang bukan sarjana, bukan anak orang berpunya, bukan keturunan raja. Pri yang diharapkannya akan memperbaiki kehidupannya dengan kekuatan cinta.
Herman mengulurkan beberapa lembar uang untuk membayar pilihannya. Dan dengan langkah lebar yang lebih tegap, ia menjinjing bungkusan itu menelusuri jalanan pasar yang hanya tinggal beberapa meter dari warung yang tengah dihuni seorang gadis yang belum lelah menunggunya.
Langkahnya ringan, tanpa beban, penuh harapan. Yah, hari ini ia merasa berada di puncak kebahagiaan. Ia merasa inilah hari yang paling istimewa yang telah begitu lama ia nantikan. Ia tak peduli lalu lalang orang yang berseliweran di depannya, ia tak peduli dengan kebisingan pagi yang tak seperti biasanya, ia tidak menyadari betapa tergesanya langkah orang-orang yang berpapasan dengannya, ia tidak sadar bumi yang yang dipijaknya tengah bergoyang, dan kejadian yang teramat cepat itu juga membuatnya tidak merasa betapa maut tengah datang menyambanginya bersama hantaman tembok beton dari langit-langit pasar berlantai dua yang runtuh menimpa tubuhnya.
Di hari yang belum siang itulah, di bawah puing reruntuhan pasar yang lengang, lelaki itu menghembuskan nafas panjang, perlahan, dan takkan terulang. Lelaki itu pergi kepada Tuhannya membawa hati yang berbunga bahagia.
Seorang gadis berlari kencang setelah berhasil menyelinap memisahkan diri dari gerombolan orang yang berlarian panik ke arah utara. Larinya yang menantang arah membuat heran beberapa orang yang melihatnya. Orang-orang yang meneriakinya teracuhkan. Ia tak peduli. Ada sesuatu yang harus membuatnya kembali ke rumah, sesuatu yang amat berharga yang tak ingin ia tinggalkan.
“ Tsunami!!!”
“ Tsunami!!!
“ Tsunami!!!”
Teriakan kalut itu tak tertangkap gendang telingannya. Getaran bumi yang kembali bergoncang tak juga menggentarkan nyalinya. Ia lupa Tsunami yang pernah disaksikannya di layar kaca. Ia lupa bahwa ia hanya memiliki selembar nyawa. Ia harus pulang, menanti seseorang yang akan datang. Ia tidak boleh pergi. Ia tidak boleh membuat pangerannya kecewa bila ia tak menyambut kedatangannya.
Ia terus berlari, menerobos arus manusia yang juga berlari, ia terjatuh, bangun, berlari kembali, melompati serakan-serakan runtuhan toko di sepanjang jalan, menginjaki puing-puing pasar, menerobos bangunan-bangunan yang tinggal rangka tak utuh. Ia belum sadar, betapa beberapa menit lalu semuanya masih berdiri kokoh. Ia tidak sempat terpana, tidak sempat takjub, tidak sempat bereaksi apapun atas pemandangan yang dilewati matanya. Ia hanya ingin melakukan satu hal. Menunggu. Menunggu seseorang yang akan melunasi hutang janji padanya.
Hari hampir siang. Hari yang tanpa matahari. Ia berhenti di depan tiang listrik dengan coretan cat yang amat ia kenali. Beberapa meter dari tiang itulah, beberapa menit lalu masih berdiri sebuah rumah. Rumah yang ia tuju, rumah yang tidak ingin ia tinggalkan. Rumah yang kini lebur tanpa bentuk.
Mata gadis itu nanar dalam keterpakuannya. Ia baru terkejut menyadari keheningan yang mengepungnya. Ia baru teringat wajah-wajah penuh ketakutan yang tadi di temuinya di sepanjang jalan. Ia baru teringat betapa kuatnya tangan Bapak yang mencengkram lengannya memaksanya untuk ikut berlari. Dan ia juga masih ingat, bahwa hari ini adalah hari yang ditunggunya. Hari yang dicita-citakannya. Hari yang akan mengembalikan Herman padanya.
Ia menyeret kakinya ke depan, mendekati tumpukan genting, tembok, kayu, kaca, bambu dan entah apalagi yang teronggok remuk di depannya.
Tubuhnya limbung. Ia tersungkur bersimpuh dengan tubuh gemetar. Jemarinya meraba semua benda yang terjangkau olehnya.
Hari ini Herman akan datang. Ia tak boleh pergi. Ia akan tetap menunggu lelaki itu bersama segala rasa, jiwa dan raganya. Entah apapun yang terjadi!
Sore datang di Jogja seperti hari kemaren. Beberapa orang juga telah kembali berdatangan setelah isu Tsunami yang menakutkan mereka tidak terjadi. Tiada wajah yang tak bersedih kala itu. Tiada hati yang tak pedih melihat apa yang diperjuangkan seumur hidup mereka kini musnah di depan mata. Ada ibu yang berteriak-teriak mencari anak bayinya, ada ayah yang menemukan anaknya tewas tertimbun dinding rumahnya, ada balita lapar yang tak berhenti menangis di gendongan petugas kemanusiaan, ada nenek tua yang mengerang menahan kakinya yang terjepit runtuhan bata.
Matahari tak hendak menengok Jogja di penghujung musim penghujan itu. Awan berarak pekat di atas sana. Seorang gadis di sisi puing rumahnya terduduk diam. Ia berbicara tanpa kata pada hatinya, menekadkan sesuatu yang harus tetap dilakukannya. Hari hampir berakhir, tapi belum berakhir, masih ada waktu untuk menunggu. Ia yakin Herman tetap akan datang hari itu.
Dan malam yang mulai datang tak mengantarkan juga sosok Herman padanya. Ia tertunduk bersama tangisnya yang pecah. Ia ingin berteriak pada apapun, memeluk siapapun. Sedang di langit pekat, bulan kian samar, gerimis luruh berderai


0 comments:

Post a Comment