Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

DAN…TAK…TAK…TAK…

Dan…
Tak…tak…tak…
Suara itu…
Dia datang!
Lantai putih yang dipijaknya mulai melagukan sebuah irama. Lagu tanpa kata indah dan musik merdu yang justru selalu dinanti-nantikannya penuh harap. Ia tertegun menikmatinya. Gendang telinganya menajam, seolah ia berharap ada suara yang lebih dari tak…tak…tak…yang mengalun panjang itu.
Dan suara itu kian dekat, kian lekat menghentak-hentak, seolah suara itu bukan menapak pada jengkal-jengkal yang dilaluinya, namun memekak jauh di dasar lubang telinganya. Ia sangat ingin mendongak kala itu, tapi inginnya patah dengan ketakutannya untuk mengangkat wajah. Dan iapun tinggal memiliki pasrah yang tak pernah jengah menghantui desah demi desah.

Dan sepasang benda putih itupun muncul dari ujung yang diterkanya, persis secantik ketika ia melihatnya pertama kali. Seluruh perhatiannya seketika terpusat tanpa dapat tercegah. Bola matanya seolah lekat pada kemolekan benda panjang melangsing itu. Pandangannya nyala dengan binar. Ia ingin lupa menjadi dirinya setiap kali saat-saat itu terjadi dan terjadi, sampai ia nyaris tak sadar bahwa pandangannya telah merayap jauh menelusuri putih pualam yang menggonjang ganjing detak jantungnya itu, memaksa berbutir-butir keringat menerobosi pori-porinya. Bajunya basah sepagi itu. Desah-desahnya terhenti, degub-degub dalam rongga dadanya dipaksanya pula. Ia khawatir suara-suara yang hanya dapat didengarnya sendiri itu mengusik romansa yang dihangatkannya dalam pandangan itu.
Dan…
Tak…tak…tak…itu menjatuhkaan satu lagi butiran keringat di kening. Lelaki itu semakin kerepotan menahan ujung-ujung syaraf kulitnya yang tiba-tiba saja bergetaran. Ia ingin beralih, tapi ia juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk sepasang putih panjang melangsing itu.
Dan…
Tak…tak…tak…itu membelok, bergerak satu-satu denga irama tetap ke arahnya berdiri. Ia semakin blingsatan. Putih pualam itu sangat gencar menggodanya, mengundang syaraf kelakiannya untuk berdiri tegap menegang seperti sepasukan tentara ketika pemeriksaan barisan oleh komandan. Teringat ia kala mengalami hal yang hampir serupa dengan keadaannya itu. Ketika setahun lalu ia berkeringat dalam dingin malam yang sangat. Kendali sekujur tubuhnya tak dikuasainya lagi, bahkan ia merasa tak menginjak lantai saat itu. Ia ingin menghentikan semuanya, tapi ia juga teramat sayang untuk melewatkannya.
Dan malam itu pertama kali ia melihat seorang wanita berada dalam kamarnya. Wanita yang sesiang tadi menjadi pengantinnya. Wanita yang akan menjadi alas tidurnya.
Wajah perawan itu pucat, matanya memendam ketakutan saat melihat kedatangannya. Ia seolah berprasangka bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk atas dirinya malam itu. Tidur telentangnya gelisah, bahkan perawan itu nyaris bangun dengan gugup kala ia duduk di sisi pembaringannya.
Dan…
Tak…tak…tak…
Putih pualam itu membangun memorinya lebih tinggi. Malam itu ia merasa matanya kian liar menjarah apa saja yang menjadi bagian dari pengantinnya. Ia meraih pundak perawan di depannya, mengelusnya dan perlahan mendorongnya dengan halus kembali dalam posisi telentangnya semula. Ia tidak tahu harus melakukan apa, kesadarannya menyuruh untuk mengikuti instruksi nalurinya.
Dan…
Tak…tak…tak…
Sepasang putih pualam itu kali ini menantangnya. Ia menggigit bibir, tapi sakit yang ditimbulkannya tak membuat isi otaknya yang menggelegak terusik. Mata itu terbelalak berkilatan. Air liurnya hampir menetes. Telinganya mendengung-dengung seakan ingin menghalangi hati nuraninya yang berteriak-teriak mengingatkan bahwa ia bukan penjahat, ia orang baik, ia tidak layak memperturutkan naluri kehewanan yang selama ini berhasil didamaikan dengan hati dan otaknya. Hati nurani itu juga berteriak mengingatkan tentang perut buncit istrinya yang mengandung benih darah dagingnya, tapi dengung-dengung di telinganya tak memperdengarkan itu semua. Ia benar-benar tuli, ia hanya merasakan desir darahnya mendidih, isi celananya yang basah dan matanya sendiri yang buas. Ia haus, ia lapar, ia letih, ia bosan menahan puasa batinnya yang hampir delapan bulan semenjak perawan yang diperistrinya tengah mengandung di rumahnya.
Dan…
Tak…tak…tak…
Ia panik. Kepalanya menoleh kanan dan kiri dengan gusar. Koridor itu rupanya hanya milik mereka berdua. Dinding dan lantai yang mengepung keduanya seolah telah bersiap memejamkan mata, menyumpal telinga dan membekap mulut demi mempersilahkannya. Ia merasa nafas panasnya menyembur garang, kulitnya sendiri yang dilewati hawa itu bergidik. Matanya melebar, detak-detak jantungnya mengalami percepatan yang menyebabkan nafasnya tersengal. Tak ada apapun selain putih pualam di atas sepasang putih panjang penyebab tak…tak…tak…itu yang memenuhi kepalanya. Ia lupa dimana meletakkan Tuhan, ia lupa sepasang malaikat yang selalu mengawalnya, ia lupa ada surga yang diinginkannya seperti ia lupa ada neraka yang sangat ditakutinya. Ia lupa mati, diri, juga janji-janji untuk sang istri. Ia hanya haus, lapar, letih.
Dan…
Tak…tak…tak…
Entah mengapa rangkakan detik-detik itu menjadi lamban, ataukah mungkin lantai koridor di depannyalah yang kian memanjang, ataukah mungkin pula tak…tak…tak… itu hanya berjalan ditempat? Lelaki itu kian resah. Tangan kanannya bermain kasar pada sebuah gagang kayu berujung kain yang sejak tadi tak lepas dari tangannya, sedang sebelah tangannya lagi memainkan ujung seragam biru bertanda pengenal yang setiap hari dikenakannya.
Sebenarnya banyak hal yang harus ia kerjakan setiap kali seragam itu melekat ditubuhnya. Pekerjaan yang sungguh merupakan rutinitas yang melelahkan raga dan jiwanya. Tapi apatah dikata, dari mana lagi ia mendapat uang untuk makan bila ia tidak melakukannya. Ia sadar profesi yang harus dijalaninya itupun telah merengut sebagian harga dirinya, bahkan mungkin bukan lagi sebagian , keseluruhan, hanya ada dua pilihan yang disodorkan untuknya, mati kelaparan atau merelakan diri untuk sebuah pekerjaan yang tidak pernah menjadi cita-cita orang. Yah, memang belum pernah ada orang yang bercita-cita ingin menjadi cleaning servise, ditempat semegah apapun. Pastilah yang dicita-citakan adalah menjadi manager, direktur atau bahkan pemilik tempat-tempat megah itu. Setiap hari ia harus bangun lebih pagi dari para pegawai dan pekerja-pekerja lain, berseragam rapi, bersepatu, kemudian mulai menyapu, mengepel, dan membersihkan kamar mandi sampai waktu kerja datang membawa para pegawai dan karyawan yang berduyun-duyun menginjak-nginjak hasil kerjanya dengan sepatu-sepatu mahal mereka. Dan ia hanya boleh diam, tanpa protes atau menegur, kehadirannya hanya seperti bayangan yang tak pernah mendapat posisi dan nilai dari orang-orang sekitarnya. Jangankan mendapat senyum atau tegur sapa, lirikanpun bahkan ia rasakan sebagai sebentuk pelecehan baginya, karena mata-mata itu tak pernah memberi harga pada kediriannya.
Raganya lelah, pun jiwanya sangat-sangat lelah
Dan…
Sudah seminggu sejak ia mendapat shift pagi, tak…tak…tak… itu mulai berkenalan dengannya, ia bernama Stiletto, berkulit putih dengan tinggi tumit sekitar 20 cm. Bentuk panjanganya yang langsing menjadi sangat indah dimatanya. Diatasnya, sepasang benda cantik lain berdiri menjulang tinggi laksana menara, tanpa penghalang selembar benangpun yang membalutnya. Ia berada bebas merdeka memamerkan diri dengan seluruh warna dan pesonanya, di ujung teratas, sehelai kain terjuntai ringan mengangguk-angguk menggiring ayunan demi ayunan dibawahnya. Masih ada belahan yang dapat dilihat lelaki itu bila putih pualam itu membelakanginya, sebuah celah kecil diantara kain yang melilit itu, celah yang menggemaskan, celah yang membuatnya begetaran, celah yang membuat angannya melayang-layang penasaran, celah yang sering mendorong hasratnya untuk mengulurkan tangan menyingkap sehelai kain itu dan melihat apa yang disembunyikan dibaliknya.
Dan… tak…tak…tak…itu hanya dikenalnya sebatas itu, karena ia tak pernah mengangkat matanya untuk melihat lain-lain di atas kain kecil itu, yang dipastikannya, di atas sana akan ada sebentuk biola yang mengundangnya untuk memeluk, sepasang bukit untuk diraba dan sebentuk wajah dan rambut tersisir yang mewujudkan sosok nyata pemilik tak…tak…tak…itu sebagai manusia. Wanita tepatnya, petugas receptionist yang selau datang ketika ia melakukan aktivitasnya di pagi buta, orang yang selalu pertama kali menginjak-injak hasil karyanya, wanita yang selalu muncul dengan tak…tak…tak…sepatunya yang khas, yang tak…tak…tak…itu seolah menyuruhnya melihat, mendekat dan menghentikannya. tak…tak…tak… yang menawarkan kesempatan untuk mengobatinya dari haus lapar yang tak ia temui di rumah sang istri.
Dan…
Tak…tak…tak…itu tak lagi jauh darinya. Ia telah dekat dan kian dekat. Ia melihat lenggangan di atas Stiletto itu seperti adegan replay di televisi, amat lambat, amat perlahan. Putih pualam itu memenuhi pandangannya, ia tak dapat berpaling. Putih pualam itu justru ia rasakan menuju padanya, melenggok menyediakan apa yang ia inginkan. Ia tak meminta, tapi putih pualam itu memahami gejolaknya. Ia laksana bidadari yang dihadiahkan untuk hidangan buka puasa batinnya. Ia merasa tidak meminta, sungguh, tidak meminta, ia hanya menerima, ia hanya disuguhi, hanya dipersilahkan.
Dan…
tak…tak…tak… itu menyuruhnya meletakkan gagang kayu berujung kain pel di tangannya. Dan…. tak…tak…tak…itu menyuruhnya mulai melangkah menyambut kedatangannya, dan… tak…tak…tak…itu menyuruhnya melupakan hati dan akalnya.
Dan…
Satu satu lelaki itu mengayunkan langkahnya, dan tujuannya telah tiba, ia sampai tepat di hadapan putih pualam dan tak…tak…tak… itu.
Dan…
Tak…tak…tak…itu diam. Lelaki itupun diam. Tingal selangkah lagi dua anak manusia itu akan bertubrukan. Semuanya hening. Tak…tak…tak…itu tak berbekas. Sang lelaki masih lekat matanya pada putih pualam di depannya. Stiletto itu semakin jelas dikenalinya, begitu anggun menopang betis indah di atasnya. Detik-detik menggelisahkan isi kepala, lelaki petugas cleanng service itu belum berhasil memutuskan harus memulai dari mana. Ia baru sadar bahwa apa yang sedang dan akan dilakukannya sangatlah tidak terencana. Ia tdak pernah berniat melakukan apapun selain menikmati suara tak…tak…tak… itu. Sama sekali tidak. Semuanya serba spontan, semuanya serba kebetulan, semua hanya lantaran kesempatan dan penawaran sang tak…tak…tak…yang mungkin sama sekali tidak sadar telah mencuri perhatiannya, meracuni otak dan hatinya serta menantang kelaki-lakiannya.
Resah lelaki itu memuncak. Kekhawatirannya membengkak. Ia nyaris terlonjak kala sebuah getar meronta-ronta di kantong bajunya.
“ Tit tilit tit tililililit……..”
Suara itu menguap pula dari HP tua di kantnognya. Fokus perhatiannya pada putih pualam itu buyar seketika. Tangan berototnya menyelinap cepat meraih benda yang telah berhasil mengusiknya. Ia tidak menyaksikan ketika pemilik tak…tak…tak…di depannya mengerutkan kening mempertanyakan tingkahnya dalam diam.
Sebuah pesan.
Mas Narto, istri sampeyan sudah melahirkan. Cepat pulang setelah kerja.
Sang lelaki terpana. Ia takjub dengan hal yang serba tiba-tiba itu. Jarinya diam, ia tak memiliki bahasa untuk membalas pesan singkat itu.
“ Maaf, anda menghalangi jalan saya.”
Suara itu memecah keterpakuan sang lelaki. Ia mendongak mengangkat wajah, mendobrak ketakutan yang selama ini mengungkungnya. Ditatapnya wajah di depannya lurus-lurus. Wajah bertopeng bedak dengan merah yang rekah di bibirnya. Juga ranum kemerahan di pipinya.
Ia cantik. Sungguh terlalu cantik dari apa yang dibayangkannya, juga lebih cantik dari wanita yang telah diperistrinya.
Sebuah getaran di tangan lelaki itu kembali menghentakkannya. Disusul nada dering khusus yang mengabarkan bahwa entah di seberang mana HP sang istri sedang memanggilnya.
Ia tahu harus memilih, ia tahu harus memutuskan, ia tahu ia yang akan menentukan lanjutan kisahnya hari ini. Ia hendak maju menuntaskan kegelisahannya, namun HP di tangannya terus berteriak-teriak dan meronta-ronta menuntutnya. Langkahnya yang hendak melangkah surut ke belakang. Ia mundur beberapa jenak dan menekan tombol terima untuk menghentikan keramaian di HPnya.
“ Mas…”
Suara pelan berbisik lewat HP yang menempel di telinganya. Suara itu lemah, lelah.
Dan….
Tak…tak…tak…itu membelah sunyi. Tak…tak…tak…itu memulai lagi iramanya. Tak…tak…tak…itu kembali berayun meningggalkannya. Dan… tak…tak…tak… itu meninggalkan hening di hatinya.


0 comments:

Post a Comment