Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

DEMI SELEMBAR NYAWA

“ Yah, seperti rusa yang terluka….”
“ Maksudmu?”
“ Aku pernah menyaksikan sebuah film tentang segerombolan rusa yang tengah berlari dikejar seorang pemburu. Seekor di antara rusa-rusa itu berlari sangat kencang. Dialah rusa yang telah terluka oleh senapan sang pemburu. Namun ia belum mau menyerah, ia berlari, terus, terus lurus ke depan, meninggalkan keadaannya. Ia berlari sekencangnya melupakan sakit dan perih yang ia rasa. Berlari tanpa menoleh lagi ke belakang. Hingga ketika sakit dan perih itu tak lagi dirasakannya, ia menemukan dirinya telah berada di barisan terdepan, jauh meninggalkan rusa-rusa lainya. Ia telah menjadi pemenangnya!”

“ Jangan katakana bila aku harus bermimpi…. Aku terlalu takut melakukannya.”
“ Ah, dulu aku bahkan tak berani memimpikan bahwa aku masih hidup esok hari, apalagi memimpikan untuk menjadi diriku hari ini.”
“ Itu kau! Aku tidak akan mampu!”
“ Hanya usaha yang membedakan kita, selebihnya, kita sama.”
“ Tuhan telah mentakdirkan sesuatu yang sangat berbeda antara kau dan aku. Aku tidak akan pernah menjadi seperti dirimu.”
“ Elya, berhentilah untuk berharap menjadi diriku. Aku adalah aku, sedang kau adalah kau! Kalaupun kelak kau bisa mencapai posisiku kali ini, kau tetap tak akan menjadi diriku.”
“ Waktuku terbatas Andini…. Aku hanya tinggal menunggu hari. Untuk menggerakkan tubuhku sendiripun aku perlu orang lain. Tapi bolehkah aku berharap untuk merasa berarti bagi orang lain? meninggalkan namaku di hatinya?”
“ Tidak! Kau tidak boleh berharap! Kau hanya boleh mewujudkannya!”
“ Aku…..”
“ Waktu yang terbatasi adalah cambuk yang melecutmu. Berlarilah Elya! Bila kau hanya berjalan, kau takkan mnjadi pemenang. Kau akan tertinggal dan tergilas oleh waktu.”
“ Andaikan aku bisa menyumbangkan jantung, hati dan limpaku untuk Mayang, aku akan memberikannya. Toh sebelum ataupun setelah dua bulan kematian itu akan datang menjemputku. Tapi sayang, kangker itu telah meracuni semuanya. Aku tak dapat memberikan apapun, aku tak berarti, aku ingin lebih cepat mati…”
“Elya, kau masih punya senjata, penamu! Kau penulis! Dengan tulisanmu kau akan bisa menyembuhkan Mayang!”
“ Itu semua dulu Andini! Aku bukan lagi penulis! Aku bahkan tak dapat mengangkat penaku untuk menulis. Hampir semua ogan tubuhku lumpuh!”
“ Tidak Elya! Kau lebih kuat dari yang kau bayangkan. Bukan tanganmu yang akan menjadikanmu penulis, tapi semangat dalam dirimu. Kau rusa terluka yang tengah berlari Elya, kau harus cepat! Kau tak boleh terkejar waktu!”
“ Aku tidak bisa! Jangan paksa aku!!!”
“ Angkat wajahmu, tatap lurus ke depan, tegakkan posisimu, pusatkan fikiranmu pada titik fokus yang kau tuju, maka kau akan merasa bahwa kau bisa melakukan lebih dari yang kau fikirkan!”
“ Benarkah…?”
“ Berhentilah bertanya. Kau sendiri yang akan menjawab!”
***
Aku harus hidup. Aku tidak boleh berhenti sebelum mengakhiri kisah ini. Demi hidup, demi mati, demi selembar nyawa Mayang, demi pena dan kertas ini, demi huruf, kata, kalimat dan paragraph yang tidak boleh terhenti dan mati, dan demi semangat yang telah terlanjur berkobar dan hampir membakarku.
Aku harus hidup. Aku belum boleh mati. Penyakit dalam tubuhku inilah yang seharusnya mati. Ia yang lebih pantas!
Mayang, tunggulah sayang. Tunggulah sampai lembar-lembar kertas ini menjadi gulungan uang yang akan membayar dokter-dokter itu menyembuhkanmu. Maafkan bila kau harus menunggu tanganku yang selalu bergetar setiap menggenggam dan menggoreskan mata pena ini. Tapi lihatlah sayang, tinta itu tetap tumpah, seperti hujan di luar sana, melahirkan baris-baris yang merangkai kegelisahanku menokohkan semua lakon dalam ceritaku.
Semuanya takkan lama Mayang, percayalah, aku takkan berjalan, aku akan berlari sekencangnya, seperti rusa yang terluka!
Tetaplah mengalir tintaku, sebelum kutuntaskan semuanya, kau tak boleh terputus!
“ Mbak Elya, waktunya minum obat dan istirahat.”
Sial! Kenapa makhluk putih ini datang sekarang? Dia berjalan menuju meja di sampingku, membuka laci dan mengeluarkan bungkusan berisi keping-keping putih. Ah, terkutuklah obat-obat itu! Merekalah yang selalu membuatku terpisah dengan dunia yang kuhidupkan dalam kisahku. Tunggulah, aku akan menyelesaikannya.
“ Ini obat-obatnya Mbak, silahkan…”
Perawat itu menyerahkan beberapa keping bulatan kecil ke telapak tanganku, serta segelas air.
“ Mbak Elya tidak membutuhkan apa-apa lagi?”
Aku menggeleng. Ia mengalihkan matanya dari tatapanku yang mungkin menakutkannya.
“ Saya permisi…”
Aku enggan mengangguk. Perawat itu pergi. Susah payah kugeser posisiku untuk meletakkan kembali gelas yang terasa sangat berat bagiku. Gelas itu hampir oleng oleh getaran tanganku yang tak terkendali. Aku sadar, tenagaku kini kian melemah. Bahkan hanya untuk segelas air yang dulu bebannya tak kurasakan.
Akhirnya gelas itu berhasil kuletakkan di tepi meja. Dan kini sebelah tanganku yang lain bergerak menyisipkan butir-butir kecil dalam genggamanku jauh ke dalam sarung bantal, menyusul butir-butir lain yang terdahulu.
Tidak! Aku tidak akan menelannya. Aku tidak akan menghilangkan waktu singkatku hanya untuk melenakan diri akibat efek yang ditimbulkannya.
***
Aku belum mati. Sepotong hari baru telah datang. Entah hari ini akan utuh hingga datangnya malam nanti, atau hanya akan berhenti kala siang, sejam mendatang atau entah kapan. Dan penaku tak boleh berjalan. Ia harus berlari kencang. Sekencang rusa yang terluka.
Tapi tanganku…., ah, mengapa tak hendak bergerak? Tolong, jangan sekarang! Kalaupun tubuh usang ini telah letih dan enggan bergerak, kumohon jangan tangan ini. Hanya ia yang selama ini membantuku merasa tetap hidup, ada, berada di dunia ini. Ada selembar nyawa yang harus dihidupinya, milik Mayang!
Syaraf otakku menegang, meronta, tak ingin terkalahkan oleh ketidaksadaran. Ia tidak ingin tertidur. Seserpih detikpun!
Penglihatanku kian samar, semuanya seperti menjelma bayang, bahkan selimut yang menutupi tubuhku tak ku kenali keberadaannya, aku hanya dapat merasakannya tanpa melihat, telingaku berdenggung, dadaku terasa hampa dari udara, aku tak dapat bernafas. Dan jemariku begitu kaku saat meraba mencari pulpen yang biasanya ku letakkan disisi bantal. Syaraf-syaraf di kepalaku berdenyut hebat, sakit tak terkata, tubuhku seakan tersengat aliran listrik hingga menegang menyakitkan. Allah..............aku masih tak inggin mati ..........
Beberapa tangan menyentuhku, menimbulkan sensasi sakit maha dahsyat tak terkira, tapi aku tak dapat mengaduh, energiku terlalu lemah untuk membuka mulut. Tak sedikitpun organku yang tak merasakan sakit. Oh, inikah sakaratul maut........? Benarkah dua bulan sisa waktuku untuk menikmati dunia ini telah selesai? Apakah kangker dalam tubuhku ini yang akan menjadi pemenang atas ragaku yang akan direngutnya? Oh, aku lupa menghitung sisa hariku. Tolong aku, aku tak ingin berhutang atas alur hidup ceritaku. Aku tak ingin semua tokoh yang ku hidupkan kelak menuntutku dan menggentanyangi kuburku. Mayang, lukiskan wajahmu di penglihatanku! Biar aku memandangmu hingga waktu hidupku sedikit lebih panjang. Allah, kali ini saja, jangan hukum aku karena hendak melawan batas waktumu! Aku harus hidup Allah! Jangan dulu ambil nyawaku. Aku yakin hanya Kau yang berhak menambah episode kehidupanku.
Ahh! Jemariku meraih sesuatu! Aku merasakannya, benda kecil panjang yang selalu ku genggam bergetar bila mataku terbuka. Penaku!
Terima kasih Allah! Kau kirim kembali senjataku, dengan pena ini aku akan melawan semuanya. Ini kuasaMu Allah!
Oh, aku dapat merasakannya, ada keributan di telingaku, aku kembali mendengar! Aku menang!
“Sus, ini kelalaian anda, rupanya obat-obat kita telah beberapa hari tidak dikonsumsi pasien ini. Seharusnya anda benar-benar mengawasinya, Dewan Kesenian telah mengansuransikan banyak dana untuk penyembuhannya“.
Allah! Itu suara! Aku benar-benar dapat mendengarnya!
Silau! Ada cahaya yang kulihat. Mayang itukah kau ......
Ah!!!
Gelap yang pekat.
***
Aku tersadar, tapi aku begitu takut membuka mataku. Kali ini, akankah alamku telah berubah? Apakah semuanya telah berakhir.....? Apakah duniaku telah terpisah dari pena, kertas, dan sehamparan imajinasiku? Apakah seuntai asaku untuk sempat berguna bagi orang lain sebelum mati hanyalah tinggal puing yang mengenangnya saja aku akan merana kecewa? Mayang, telah adakah orang yang lebih kuat dariku yang tengah mempertahankan nyawamu?
Ya Allah! Apa ini? Benda ini? Pena! Apakah dokter dan perawat-perawat itu telah menguburkan benda ini bersamaku? Oh, betapa ringannya kini tanganku meraihnya. Aku tidak merasakan getaran yang baisanya mengakrabi tangan dan jemariku kala menggenggamnya.
Sedikit keberanianku timbul, kugerak-gerakkan anggota tubuhku yang lain. Semuanya memang telah tiada, rasa sakit yang selama ini merejamku, rasa kaku yang mendera itu, semuanya telah lenyap. Kini bahkan aku merasa menikmati kematian yang selama ini kutakutkan.
Tidak, kurasa aku tidak takut mati, aku hanya terlalu ingin berbuat sesuatu untuk orang lain sebelum matiku. Dengan segala keterbatasanku.
Suara langkah! Aku mendengar suara langkah! Pasti bukan perawat itu yang datang! Kali ini malaikat, malaikat yang akan mengintrogasikulah yang datang.
“ Ini sebuah keajaiban.“ Suara dokter! “ setelah seminggu koma, kanker itu telah lenyap dari pasien ini, nyaris tanpa meninggalkan bekas apapun.“
Oh, siapakah pasiennya yang beruntung itu? Mengapa bukan aku yang mendapat keajaiban itu?
“ Benar Dok, sebelumnya saya memang telah yakin, ia akan sembuh. Semangatnya yang telah mengalahkan keganasan penyakitnya.“
Itu suara Andini!
“ Anda benar, ketika koma, ia terus mengigau, menyebut-nyebut nama Mayang. Ia juga kerap berkatakata tentang sebuah.....entahlah, menurut saya seperti sebuah alur kisah. Ia menyebut banyak nama dalam igauannya.“
“ Bukan igauan. Ia seorang penulis. Penulis memang akan berumur lebih panjang selama masih ada sesuatu yang bisa ditulisnya. Terlebih untuk orang lain.“
“ Subhanallah...., sungguh keajaiban yang menakjubkan.“
“ Dok! Lihatlah! Tangannya bergerak memegang pena itu! Berikan kertasnya! Ia telah kembali! Rusa yang terluka itu telah melupakan sakitnya, ia hampir menang!“
Kuberanikan diriku membuka mata dengan segenap tenagaku. Sebuah kertas terulur menyambut. Aku tak sempat melihat tangan siapa yang memberikannya. Kertas putih itu kulihat begitu haus akan tinta penaku. Pun jutaan huruf, kata dan kalimat mendesak ingin dimuntahkan dari mulut penaku.
Aku tidak boleh berjalan!
Aku harus berlari seperti rusa yang terluka!
Demi selembar nyawa milik Mayang!


0 comments:

Post a Comment