Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Kampaye Kemiskinan Sang Pemimpin

Berangkat dari faktor keturunan, masalah ekonomi bisa bermetamorfosis dalam sangkar keterpurukan keluarga yang akhirnya mengakar menjadi sebuah kemiskinan yang berkelanjutan. Realita tersebut hampir menjadi faktor utama dari sebab munculnya kemiskinan baru dari beberapa orang yang kampaye bahwa ia miskin.
Kabutuhan ekonomi yang semakin hari melonjak dan ketika minimnya kemampuan untuk mendapatkan atau memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini bisa saja mempengaruhi keadaan psikis dari keluarga miskin. Keterpaksaan menjadi sebuah profesi, semula ‘gepeng’ dengan terpaksa akhirnya dianggap ini sudah biasa. Pada akhirnya kebiasaan inilah yang menjadi harapan untuk memenuhi kebebutuhan hidup sementara. Bahkan bukan sementara bisa saja mereka mengklaim selamanya akan menjadi ‘gepeng’ saja.
Orang miskin jika ditinjau dari aspek lokalitas yakni, pertama para warga miskin yang berada di sekitar kawasan yang dekat dengan perkotaan yang sudah maju atau berkembang. Katakan saja, mereka sebagai orang miskin perkotaan. Hal demikian perlu dieksplorasi kembali sebab-sebab mereka (warga miskin) menjadi miskin. Tidak signifikan sekali jika orang miskin masih ada di kota-kota besar. Bahkan ada sebuah argumen dalam ilmu antropologi dijelaskan bahwa suatu negara bisa dikatakan menjadi negara maju jika tingkat kemiskinan sedikit, pengangguran sedikit, anak balita meninggal berkurang, ibu hamil meninggal berkurang, dan lainnya.
Dengan demikian, jika dalam suatu lingkungan ada sumber daya manusia yang rendah, maka implikasi terbesar adalah adanya kemiskinan besar pula. Untuk itu, kita bisa langsung simpulkan bahwa orang yang miskin bukan sumber daya manusianya sendiri yang lemah tapi juga sumber daya manusia di sekitarnya yang lemah. Sebab, tidak mungkin ada kemiskinan jika dalam satu lingkungan sumber daya manusianya tinggi tapi ada komunitas kecil yang lemah (orang miskin). Sehingga pantas jika di kota-kota besar maupun di negara-negara besar masih banyak penampakan yang berwujud kemiskinan. Hal ini bisa dimungkinkan ketidakpedulian yang egois terhadap sesama manusia yang tidak mau menyeimbangkan sumber daya manusia.
Tidak ada salahnya jika kita mempersalahkan kepada orang-orang yang duduk di level tinggi sumber daya manusianya. Sebab mereka hanya bisa mempertinggi derajatnya, tapi tidak bisa mempertinggi derajat orang lain. Secara jelasnya, orang kaya hanya peduli dengan kekayaannya dan orang berpangkat hanya peduli pada pangkatnya tapi tidak dengan orang yang di sampingnya apalagi di bawahnya. Mungkinkah ini sebagai potret kemiskinan kita saat ini?
Kedua, orang miskin yang berada di daerah yang jauh dari perkotaan. Wajar jika mereka (orang miskin) mejadi miskin, karena ketidakdekatan akses bidang dan sulitnya akses yang mereka terima sehingga minimnya informasi kemajuan yang mereka dapatkan. Tetapi demikian ini juga perlu pencermatan detail. Kita lihat pengenjontan arus teknologi hampir tiap detikan waktu perkembangannya. Perkembangan teknologi memungkinkan hal yang tidak bisa diatasi lebih mudah jadi mungkin.
Derajat Lokalitas
Jika memang di era sekarang suatu kepadatan batu bisa mencair dengan adanya teknologi, kenapa tidak juga dengan kepadatannya ‘kemiskinan’ tidak pula mencair terselesaikan dari problematika dunia. Tidak bisa dipersalahkan jika demikian seperti ini, orang miskin-lah yang menang dalam beralasannya. Tetapi realita alasan bahwa orang miskin hanya menang berharap dan orang kaya menang melihat. Untuk itu, paradigma metafora pemikiran menyatakan bahwa antara orang miskin pingiran dengan orang miskin perkotaan baik yang miskin turunan maupun miskin bukan turunan memiliki derajat lokalitas yang sama. Sebab sudah banyak teknologi yang menghalalkan untuk sampai kepada mereka.
Dalam kanca modern, kemiskinan juga masih menjadi peran utama dalam perbincangan problematika dunia. Hal ini, seraya dengan krisis yang multidimensi Indonesia di antaranya yakni krisis kepemimpinan yang ber-prophetic, artinya pemimpin yang berjiwa partisipatik, karismatik dan prophetic selama ini ada di negara kita.
Pemimpin yang berkarakteristik prophetic dan jiwa partisipatik dalam ikut andil mengangkat derajat umat manusia, jelas mereka miliki demi kesejakteraan bersama. Tetapi kenyataanya, negara Indonesia masih belum menemukan pemimpin yang berkarakteristik prophertic. Pemimpin yang partisipatik, karismatik dan prophetic akan bisa menyelesaikan masalah yang hinggap di negara ini. Untuk itulah, pemimpin adalah yang menjadi penentu suatu negara itu banyak orang miskin atau kaya (makmur).
Negara tidak membutuhkan orang yang pandai berkampanye, pandai berjanji-janji ataupun yang lainnya, tapi negara membutuhkan orang yang penduli partisipatik, karismatik dan prophetic. Sangat cukup sekali, referensi yang kita temukan jika kita ingin mendesain negara sejahtera. Adanya masa lalu (sejarah) juga menjadi rujukan yang cukup. Tapi memang, jika kepedulian kurang ada dan keinginan tidak ada pasti itu semua tidak akan mungkin terjadi adanya.
Sebagai masyarakat yang sadar akan dengan pentingnya pemimpin dalam kesejahteraan bangsa. Langkah awal dalam melangkah adalah merubahnya dari diri sendiri, minimal kita bisa menjadi pemimpin atas diri kita sendiri dan membangun jiwa yang partisipatik, karismatik dan prophetic adalah sebagai kepedulian kita terhadap bangsa kita yang miskin ini. Tidak ada tindakan yang baik, jika hanya berkampanye tidak ada realitanya. Besarnya visi dan misi akan luntur begitu saja, jika tanpa aksi sebagai bukti kongkret.



0 comments:

Post a Comment