Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Laskar Pelangi Memang Sebuah Fenomena

Laskar Pelangi memang sebuah fenomena. Setelah bukunya terjual beribu-ribu eksemplar dan dilanjutkan dengan sekuel Sang Pemimpi dan Edensor. Versi film-nya pun tidak ketinggalan menyedot perhatian orang-orang.
Andrea Hirata memang sangat pantas menerima pujian. Kisah yang disajikan baik di buku dan di Film tidak kehilangan esensinya. Meskipun tidak sama persis. Walau kadang ekspektasi pembaca terhadap sebuah adaptasi dari Novel ke film sangat tinggi tapi rupanya Miles dan Riri Riza tidak harus mematuhi segala yang tercetak di buku Laskar Pelangi akan tetapi mengambil esensi dari cerita tersebut.
Sangat jelas, yaitu tentang potret dunia pendidikan yang terpuruk di tengah kaya rayanya daerah Belitong, serta sebuah ironi, kalau tidak punya uang sepintar apapun orang dia tidak bisa melanjutkan sekolah dan cita-citanya, seperti yang dialami oleh Lintang. Hal itulah yang sepertinya ingin diketuk oleh Andrea Hirata, supaya tidak ada lagi orang-orang genius seperti Lintang yang hidupnya terpuruk. Perlu adanya kepedulian baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang peduli untuk mengentasnya.
Jika di buku, semua yang dikisahkan Andrea begitu menyentuh, juga terasa sangat seru seperti saat diadakan karnaval atas ide dari Mahar untuk melakukan karnaval versi orang orang Afrika dan akhirnya bisa memboyong piala kemenangan untuk sekolah Muhammadiyah. Juga saat Lintang dengan gampangnya membabat habis soal-soal yang diajukan di acara Cerdas Cermat yang juga memboyong Piala kemenangan.
Di Film, kisah penceritaan Lintang lebih ‘membumi’ dan menyentuh tanpa kehilangan kecemerlangannya. Saat Cerdas Cermat, Lintang tidak mendebat Guru muda SD PN untuk soal Fisika, tapi yang ditampikan adalah soal Matematika. Pemilihan materi matematika ini saya pikir cukup masuk akal supaya bisa lebih diterima di masyarakat dibanding jika yang diperdebatkan adalah ilmu Fisika yang mungkin lebih rumit dan terasa di awang-awang jika disodorkan pada penonton yang sangat hiterogen di Indonesia ini. Ilmu matematika kenapa lebih ‘membumi’?, karena sangat gampang ditemui dalam kehidupan sehari-hari,baik di pasar, di Mall, di rumah. Misalnya saja kalkulasi harga telor, harga cabai dll. Secara sederhana matematika sebenarnya adalah ‘Ilmu sehari-hari’.
Untuk tokoh Mahar, yang ditampilkan di Film dia tidak menyanyikan lagu barat Tennesse Waltz seperti yang diceritakan Andrea di buku akan tetapi Mahar menyanyikan lagu melayu yang sudah sangat akrab ditelinga yaitu Seroja Salah satu hal yang lain adalah di perlihatkannya adegan Pak Harfan wafat yang di buku tidak ada. Moment itu sangat menyentuh dan membuat sebagian besar penonton menitikkan air mata, apalagi saat Bu Mus kembali mengajar dan masuk kelas lalu di rubung oleh murid-muridnya.
Itulah barangkali beberapa hal yang ada di Laskar Pelangi antar di buku dan di Film.
Menikmati keduanya, baik buku maupun Film-nya adalah sensasi yang berbeda. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Ibarat menikmati Strawberry jika di hidangkan sebagai minuman jus dan yang di letakkan di atas kue tart, tentu berbeda kan sensasinya meskipun sama-sama strawberry?
Saat membaca bukunya, yang bergerak adalah imajinasi dan perenungan saya. Saat menonton Film-nya yang berperan adalah penglihatan dan logika sederhana serta sepercik keinginan untuk mencari hiburan. Tidak perlu mengharap sesuai dengan imajinasi yang bekerja saat menonton Filmnya, nikmati saja karena makna yang terkandung menurut saya tidak meleset terlalu jauh dari apa yang Andrea Hirata sampaikan. Yang perlu diresapi adalah sesudah membaca dan menonton film ini, sudah terketukkah hati?



0 comments:

Post a Comment